Ulama-Umara dalam Sejarah Daulah Utsmani

Kesultanan Turki Utsmani, sejak pemimpinnya yang awal, menjadikan Islam sebagai landasan utama pemerintahannya. Para pemimpinnya dikenal sebagai ghazi (pejuang, mujahid) Ulama-Umara dalam Sejarah Daulah Utsmani
elnida.com
Syeikh Aq Syamsuddin (bawah) sebagai guru spiritual Sultan Muhammad al-Fatih (Ilustrasi)


SEORANG pemuda tertidur saat berkunjung ke sebuah zawiyah, pusat kegiatan sufi, yang terletak di kawasan Bilecik, Asia Minor (kini Turki). Zawiyah ini dipimpin oleh Syeikh Edebali (w. 1326/7), seorang ulama penting di wilayah itu. Ini bukan pertama kalinya ia mengunjungi tempat itu, tetapi kini ada hal berbeda yang dialaminya.

Dalam tidurnya pemuda itu bermimpi, yang kelak menjadi kisah dan tutur kata masyarakat selama beberapa generasi. Di dalam mimpinya, ia melihat bulan keluar dari dada Syeikh Edebali dan masuk ke perutnya. Kemudian dari perut pemuda itu keluar sebuah pohon yang tumbuh besar. Dahan dan cabangnya menjulang ke langit, menaungi belahan dunia. Di bawah naungan pohon itu, pegunungan berdiri tegak dan sungai-sungai mengalir jauh.

Pemuda itu terbangun, dan beberapa waktu kemudian menceritakan mimpinya itu pada Syeikh Edebali. Sang Syeikh menjelaskan makna mimpi tersebut. “Allah Yang Maha Kuasa akan menganugerahkan kesultanan kepadamu dan kepada anak keturunanmu. Semoga ia diberkati! Dan puteri saya akan menjadi istrimu” (Akgunduz, 2011: 45; Rosenwein, 2014: 451)

Syeikh Edebali kemudian menikahkan puterinya dengan pemuda itu. Ia memang bukan pemuda biasa. Ia adalah seorang emir (pangeran atau pejabat) di kawasan itu. Sang pemuda nantinya benar-benar menjadi seorang pendiri kesultanan baru, kesultanan yang bukan hanya memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, tetapi juga melewati rentang waktu yang sangat panjang, hingga lebih dari enam abad. Kesultanan itu nantinya dikenal sebagai Turki Utsmani, dan pemuda itu bernama Utsman (Osman), atau kadang disebut juga sebagai Utsman Ghazi.

Mimpi Utsman (w. 1326) mungkin lebih bersifat legenda ketimbang sejarah, karena kisahnya baru ditulis jauh setelah kejadiannya (sebelumnya hanya bersifat oral atau cerita lisan). Terlepas dari itu, Kesultanan Utsmani kemudian memang tumbuh besar dan kuat, bahkan menjadi sebuah Kekhalifahan Islam. Pada masa puncaknya, ia menaungi dunia Islam dari Barat hingga ke Timur, dari Afrika Utara dan sebagian Eropa, hingga ke Syam, Hijaz, dan Iraq. Bahkan Kesultanan Aceh yang jauh di Timur dikatakan pernah juga menerima bantuan dari Turki Utsmani.

Pemerintahan Turki Utsmani baru berakhir beberapa tahun setelah Perang Dunia I. Stanley Lane-Poole (w. 1931), dalam bukunya Turkey (1941: 9)  yang diterbitkan pertama kali tahun 1888, menulis, “Mulai dari Ertoghrul [ayah Utsman, pen.] hingga Sultan Turki yang sekarang, tiga puluh lima pangeran dari jalur lelaki telah memerintah Kekaisaran Utsmani tanpa adanya selaan dalam pergantian kekuasaan. Tidak ada contoh kesinambungan kekuasaan semacam itu dari satu keluarga tunggal di dalam sejarah Eropa.”

Kesultanan Turki Utsmani, sejak pemimpinnya yang awal, menjadikan Islam sebagai landasan utama pemerintahannya. Para pemimpinnya dikenal sebagai ghazi (pejuang, mujahid) dan kesultanannya kadang disebut di dalam buku-buku Sejarah sebagai ghazi-state karena menjadikan jihad sebagai tonggak penting pemerintahan.

Menjelang wafatnya, Utsman memberikan nasihat kepada puteranya, Orhan (w. 1360), “Jangan pernah menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah (SWT). Berkonsultasilah pada para ulama dalam hal-hal yang tidak engkau ketahui” (Maksudoglu, 1993: 42). Nasihat ini jauh dari sekadar basa-basi, karena telah dicontohkan oleh Utsman sendiri yang sering berhimpun dengan para ulama dan melibatkan mereka dalam urusan pemerintahan (Sallabi, 2001: 27). Maka hal ini juga dipegang kuat oleh para penerus Utsman dan menjadi dasar yang mewarnai kebijakan pemerintahan mereka seterusnya.

Para pemimpin Utsmani memiliki hubungan yang sangat baik dengan para ulama dan guru-guru tasawuf. Pengangkatan Orhan sebagai sultan kedua Turki Utsmani dilakukan di sebuah zawiyah yang dikelola oleh kaum sufi (Kia, 2008: 3). Dalam proses penaklukkan Konstantinopel, kita juga membaca besarnya peranan Syeikh Aq Syamsuddin (Aksemseddin) sebagai guru spiritual Muhammad al-Fatih (w. 1481). Syeikh Aq Syamsuddin juga yang diminta oleh al-Fatih untuk mencari makam Abu Ayyub al-Ansari, Sahabat Nabi yang syahid dan dimakamkan di dekat tembok Konstantinopel. Lantas makam itu dirapikan dan disebelahnya dibangun masjid. Sejak saat itu, para Sultan Turki Utsmani menyebut Sahabat Nabi ini sebagai Sultan Ayyub (Eyup Sultan) dan mereka berziarah ke makamnya setiap kali hendak pergi berjihad (Maksudoglu, 1993: 10-11).* (Bersambung)

Alwi Alatas adalah penulis buku-buku sejarah perjuangan Islam

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar
 

No comments: