Al-Afghani: Pembangkit Kesadaran Politik Umat

Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani
 
Dalam tradisi al-Isrâqîyah yang dipelihara dan dikembangkan Mulla Sadra, pada abad ke-19 M (ke-13 H) tumbuh seorang pemikir dan pejuang Muslim modernis pertama dalam sejarah, yaitu al-Afghani (Jamaluddin al-Afghani, 1255-1315 H/1835-1897 M).

Jamaluddin lahir di kota Asadabad di Afghanistan (maka disebutlah al-Afghani), tapi penelitian para sarjana menunjukkan ia sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (Asadabad) di Iran, bukan di Afghanistan.

Ini menyebabkan banyak orang, khususnya dari Iran, lebih suka menyebut pemikir-pejuang Muslim modernis itu al-Asadabadi, bukan al-Afghani, walaupun dunia terlanjur mengenalnya, sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan al-Afghani.

Namun, lepas dari kontroversi itu, Jamaluddin bersama dengan keluarganya memang pindah meninggalkan kota kelahirannya, dan menetap di Teheran untuk menuntut ilmu pada seorang alim Syiah yang terkenal di sana, Aqashid Shadiq.

Kemudian ia melanjutkan belajar ke al-Najaf di Irak, pusat perguruan Syiah, dan selama beberapa tahun menjadi murid seorang sarjana Syiah yang terkenal, Murtada al-Anshari.

Letak kebesaran al-Afghani bukanlah dia sebagai pemikir, meskipun dalam pemikiran itu ia tetap sangat penting karena ia menunjukkan pandangan masa depan yang jauh dan daya baca zaman yang tajam.

Kebesaran al-Afghani terletak terutama dalam peranannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat menghadapi Barat, dan pemberi jalan bagaimana menghadapi arus modernisasi dunia.
Kegiatan politiknya membawa al-Afghani ke banyak negeri, Islam dan bukan-Islam, sejak dari Hijaz, Mesir, Yaman, Turki, Rusia, Inggris, Prancis, dan lain-lain.

Di antara sekian banyak perjalanannya itu yang sangat berkesan baginya ialah ketika ia pada tahun 1871 mendatangi Mesir.
Untuk kedua kalinya al-Afghani mengunjungi Mesir dan menetap di sana selama delapan tahun, saat pengaruh intelektual dan politiknya yang luar biasa mulai menunjukkan hasil.

Di antara beberapa murid al-Afghani yang paling terkenal dan yang kemudian sangat berpengaruh di seluruh dunia Islam ialah Muhammad Abduh (Syaikh Muhammad Abduh, 1261-1323 H/1845-1905 M).

Bersama Muhammad Abduh, al-Afghani karena sesuatu hal pergi ke Prancis. Di sana mereka berdua menerbitkan majalah dalam bahasa Arab, al-‘Urwah al-Wutsqâ (Tali yang Kukuh), media mereka untuk reformasi dan modernisasi umat.

Di Prancis itu al-Afghani bertemu dengan Ernest Renan, failasuf dan sejarawan terkenal, yang salah satu bidang kajiannya ialah falsafah Ibn Rusyd. Konon Renan mendapati kepribadian dan ide-ide yang amat menarik pada diri al-Afghani.

Sebagai ahli falsafah, ia mengatakan merasa seperti sudah kenal sebelumnya. Sebab baginya al-Afghani terdengar suaranya seperti suara Ibn Sina dan Ibn Rusyd yang menyeru umat kepada rasionalisme dan kebebasan berpikir.


Di kalangan kaum Syiah yang mempunyai tradisi penyerasian antara falsafah dan dogma yang lebih kuat, rasionalisme dan kebebasan berpikir al-Afghani tentunya tidak terlalu mengejutkan.

Tetapi, di kalangan kaum Sunni, seruan al-Afghani menimbulkan kegegeran. Ditambah dengan radikalisme politiknya menghadapi Barat dan pemerintahan Islam reaksioner, seruannya kepada umat itulah yang dari semula telah menyebabkannya hidup berpindah-pindah tak menentu.

Selain untuk menghindari reaksi fanatik sebagian ulama dan penindasan para penguasa tertentu, al-Afghani mengembara adalah juga guna menyebarkan pikiran-pikiran perjuangannya dan mencari pendengar yang paham dan lebih simpatik.

Pandangan pokok al-Afghani bahwa untuk berhasil mengembalikan kejayaannya yang lalu dan sekaligus guna menghadapi abad modern, umat harus kembali menjadi pemeluk Islam yang lebih murni.

Karena pemahaman serta pengamalan umat akan agamanya seperti yang ia saksikan terbukti membawa kekalahan terhadap bangsa-bangsa bukan-Muslim. Al-Afghani memastikan tentang adanya sesuatu yang salah dalam pemahaman dan pengamalan agama, dan tentang adanya suatu bentuk semangat keislaman yang lebih murni, yang kini hilang atau melemah.

Al-Afghani berpendapat semangat itu terletak pada apa yang menjadi salah satu tema pokok seruannya di atas, yaitu berpikir rasional dan bebas. Sebagai seorang aktivis politik, tampaknya al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan (pidato) daripada dalam tulisan.

Sekalipun begitu, karya tulisnya tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman modern, seperti bisa dilihat pada sebuah makalah pendek.
Makalah itu bernada pidato yang amat bersemangat, menggambarkan penilaian al-Afghani tentang betapa mundurnya umat Islam dibanding dengan bangsa-bangsa Eropa yang pernah ia saksikan.

Al-Afghani menyerukan agar kaum Muslim kembali mendapatkan semangat agamanya yang hilang, yang dulu membuat mereka jaya.

Al-Afghani adalah seorang revolusioner yang diilhami oleh dorongan keagamaan yang menyala-nyala untuk mengangkat derajat dan memajukan umat, seorang pejuang-pelopor dengan magnetisme pribadinya yang amat memikat.

Pikiran-pikirannya berhasil mengelektrifisir sentimen umat, dan sepak terjang perjuangannya telah mengilhami berbagai gerakan  revolusioner Islam melawan penjajahan dan penindasan Barat.
Karena pada dasarnya ia adalah seorang revolusioner politik, al-Afghani mengemukakan ide-idenya hanya dalam garis besar, berupa kalimat-kalimat bersemangat dan rumusan-rumusan kunci, tanpa elaborasi intelektual yang lebih jauh.

Reporter : c24 Redaktur : Damanhuri Zuhri

No comments: