Cinta Sang Kakak di Kamp Auschwitz

Dirangkum dari kisah persaudaraan Rena dan Danka Kornreich dari buku karya Heather Dune Macadam berjudul sama.
Cinta Sang Kakak di Kamp AuschwitzRena (kiri) dan Danka Kornreich (kanan). (Gelissen family, via National Geographic)
“Kamu akan bertahan hidup. Sedangkan aku—sepertinya aku tidak akan bertahan. Aku akan mati di kamar gas. Aku takut.”
Bayangkan kata-kata itu keluar dari mulut adik kandung Anda sendiri.
Bagi sahabat yang memiliki adik kandung, baik perempuan maupun laki-laki, pasti pernah merasakan bagaimana susahnya menjaga, menghibur, melindungi mereka dari bahaya, dan bagaimana menjadi sosok yang dapat menjadi teladan bagi mereka.
Bayangkan untuk melakukan semua itu sekaligus di lingkungan kamp konsentrasi NAZI.
 Getir, itulah yang dirasakan Rena Kornreich, gadis Yahudi asal Polandia berusia 17 tahun yang terdaftar sebagai “sukarelawan” pembantu di kamp konsentrasi Aushwitz, area kamp konsentrasi NAZI di Polandia, setelah mendengar ucapan putus asa adiknya.
Pada  tahun 1942 di Poprad, Slovakia, tepatnya tanggal 26 Maret, Rena Kornreich turun dari sebuah kereta yang membawa sebanyak 998 perempuan ke Aushwitz. Dua hari setelahnya, Danka, adik kandung Rena, juga tiba. Sejak saat itu, kehidupan penuh teror mereka dimulai.
Rena bersama saudarinya Danka, tinggal di sebuah desa kecil bernama Desa Tylicz, yang letaknya di perbatasan antara Polandia dan Slovakia. Disana, kaum Yahudi dan Gentile hidup berdampingan dengan rukun. Di lingkungan asalnya itu, Rena ditangkap dan dibawa ke Slovakia. Ia diselamatkan oleh suatu keluarga baik hati yang berani mengambil risiko untuk menyembunyikan Rena di rumah mereka.
Tidak ingin membahayakan keluarga asuhnya, Rena mendaftar sebagai sukarelawan untuk bekerja di kamp pekerja—yang tentunya nama samara untuk kamp kematian.
Disanalah tugasnya menjaga sang adik dari bahaya yang bukan lagi mengancam kesehatan, tapi juga nyawa sang adik dari kekejaman NAZI di kamp tersebut.
Lolos dari Kamar Gas
Suatu hari diceritakan, Rena melakukan satu pelanggaran yang membuatnya mendapat hukaman berupa pukulan bertubi-tubi oleh petugas. Sang petugas kemudian menyatukan Rena ke dalam antrian wanita yang akan dimasukkan ke dalam kamar gas.
Saat itu, seorang wanita pelayan bernama kapo Emma, menyamar menjadi petugas penjaga kamar gas dan berakting mengusir Rena dari antrian. Ia menukar nyawa Rena dengan nyawanya sendiri.
Lolos dari Maut Kedua
Tiga tahun berada di kamp konsentrasi NAZI mengasah kemampuan menalar bahaya Rena. Ia bisa menerka kapan dan dimana bahaya akan menjemput ia dan adiknya.
Suatu ketika, keduanya dipilih untuk masuk antrian penugasan kerja oleh Dr. Mengele. Mengharap penugasan itu akan meringankan beban kerja mereka, Rena malah mendapati bahwa antrian tersebut adalah untuk eksperimen sterilisasi (Holocaust). Ia lalu mengajak adiknya kabur keluar dari antrian dan mereka sekali lagi lolos dari maut.
(Difa Restiasari. Sumber: National Geographic

No comments: