Membedah Sejarah Syi’ah di Nusantara (4)

syiah ahlul bait
FAKTOR-faktor lain seperti kebudayaan dan sastra menjadi argumen yang menyebut pengaruh Syi’ah di Nusantara. Penjelasan mengenai kedua hal tersebut mudah-mudahan dapat dibahas pada tulisan tersendiri. Namun yang perlu digarisbawahi adalah perlunya kriteria yang baku dan ketat untuk menyebutkan pengaruh Syi’ah atau menyimpulkan sebagai jejak Syi’ah pada suatu masalah. Kriteria yang baku dan ketat untuk menyimpulkan pengaruh Syi’ah atau bahkan menyebut sebagai Syiah, dibutuhkan agar tidak terjebak pada kesimpulan yang gegabah.

Pertama, Syi’ah yang dimaksud adalah Syi’ah mayoritas yang sekarang amat berpengaruh dan sedang menjadi kontroversi besar. Yaitu Syi’ah Rafidhi (Ithna ‘Ashariyah atau imam 12 atau Imamiyah) yang sekarang berporos di Iran. Kedua, untuk menyebut suatu hal sebagai pengaruh atau bagian dari Syi’ah harus menyinggung ajaran imam 12 dan atau penolakan (termasuk didalamnya caci maki) terhadap para sahabat seperti Abu Bakar, Umar dan Usman Ra.[i]

Amat gegabah jika ada suatu fakta yang mengunggulkan Ali dan Fatimah, dan perasaan duka pada tragedi Karbala, lantas langsung menggolongkannya sebagai Syi’ah. Karena pengunggulan atau kecondongan terhadap Ali ra dalam membaca fakta sejarah bukan serta merta berarti penganut Syi’ah. Selama tidak terdapat ajaran imam 12 ataupun caci maki dan penolakan terhadap sahabat, tidaklah bisa serta merta kita simpulkan sebagai Syi’ah. Harus diingat bahwa, awal mula persoalan Syi’ah sejatinya adalah soal politik tanpa embel-embel teologis. Maka ketika kita bertemu fakta sejarah di nusantara yang condong kepada Ali Ra (dan keluarganya) bisa jadi itu hanyalah kecondongan politik atau kecintaan pada Ali dan Keluarganya (Ahlul Bayt). Istilah Ahlul Bayt sendiri sebenarnya tidak hanya Ali dan keturunannya, tetapi berarti keluarga Rasulullah, yang mencakup istri-istri beliau, anak cucu dan kerabat dekat beliau dari marga Bani Hashim dan Bani Muttalib.[ii] Oleh sebab itu sebagai Muslim, kita harus mencintai Ahlul Bayt.[iii] Dalam hal inilah banyak penulis terperosok pada kesimpulan yang menggampangkan dan gegabah.

Jejak Syi’ah di Nusantara?

Sebuah contoh yang dapat kita telaah adalah kecerobohan dalam menyebut pengaruh Syi’ah pada tradisi yang dilakukan oleh muslim nusantara. Padahal tradisi muslim nusantara, seperti maulid, pembacaan barzanji, diba’an, justru banyak memberikan puji-pujian kepada sahabat Rasulullah. Dalam tradisi-tradisi tersebut tidak ditemukan ajaran-ajaran Syi’ah. Justru sebaliknya, tradisi tersebut justru membentengi Ahlusunnah dari ajaran Syi’ah, diantaranya melalui lafal pujian terhadap para sahabat Rasululllah.[iv]

Tradisi muslim nusantara nampaknya mendapat banyak pengaruh dari Golongan Bani Alawi (keturunan Abdullah Bin Alawi Al Hadad yang merupakan keturunan Ahmad bin Isa al-Muhajir yang juga keturunan Ali bin Abi Thalib Ra.) yang menetap di Hadramaut (Yaman) dan dikenal sebagai penyebar Islam di Nusantara. Gelombang besar Bani Alawi ini datang pada abad ke 18-19, meski tampaknya sudah hadir di Nusantara sejak abad-abad sebelumnya (setidaknya dari abad ke 10).[v] Mereka sebagai Ahlul Bayt seringkali diduga sebagai pembawa ajaran Syi’ah.[vi] Generalisasi semacam ini cenderung keliru. Karena Muslim di Hadramaut, termasuk Bani Alawi dikenal sebagai pemegang mahzab Syafi’i.[vii] Lagipula, Sebagai keturunan Ali Bin Abi thalib, amat wajar jika mereka memiliki kecintaan kepada Ahlul Bayt dan condong kepada Ali Bin Abi Thalib Ra. Memang tak bisa dipungkiri, sekelompok dari penganut ajaran Syi’ah di Nusantara (kemudian Indonesia) adalah dari Bani Alawi. Namun hal itu tidak berarti Bani Alawi adalah penyebar Syi’ah di Nusantara. Malah penolakan terhadap Syi’ah di Nusantara (Indonesia) juga dipelopori keturunan Bani Alawi, seperti yang akan dibahas berikutnya.

Berbagai contoh di Nusantara seringkali dikaitkan dengan Syi’ah. Islam di Jawa, misalnya, seringkali dikaitkan dengan Syi’ah. Tak hanya dalam hal tradisi, tetapi juga dalam hal penulisan sejarah Walisongo, sebagai penyebar Islam di tanah Jawa yang sangat berpengaruh. Salah satu yang diduga membawa pengaruh tradisi yang terkait dengan Syi’ah oleh sebagian pihak adalah Sunan Ampel dan Sunan Gresik. Argumen ini dilandaskan pada asal mula datangnya Sunan Ampel dan Sunan Gresik yang berasal dari Champa. Champa disebut sebagai daerah yang beraliran Syiah terutama Zaidiyah. Pendapat semacam ini kemudian ditambahkan pula pada kesamaan tradisi antara Muslim di Champa dengan muslim di nusantara. Diantara tradisi tersebut adalah tradisi memperingati kematian seseorang di hari ke-3, ke-7, ke 40, ke-100, dan ke-1000. Kesamaan tradisi lainnya misalnya, Maulid Nabi.[viii]

Hal ini perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebab Muslim Champa terdiri dari 2 kelompok, yaitu Bani Islam (Champa Annam) dan Muslim Sunni. Etnis Cham yang di kelompokkan sebagai Muslim Sunni lebih banyak terpengaruh orang-orang melayu. Mereka dikenal sebagai penganut mahzab Syafi’i. Di lain pihak, Islam yang dianut oleh Bani Islam lebih tepat untuk disebut sebagai Islam yang amat terpengaruh oleh Brahmanisme dan agama primitif lokal.[ix] Dalam banyak hal pemahaman dan pengamalan di Bani Islam terlihat jauh berbeda dari Islam pada umumnya. Seperti misalnya, tidak semua rukun iman dianggap wajib bagi muslim Bani Islam. Sebagian kewajiban didelegasikan kepada pemimpin mereka yang disebut ‘Acar.’ Begitu pula pada bulan Ramadhan. Pada bulan ini, masyarakat Bani Islam tidak berpuasa. Kewajiban berpuasa hanya dilakukan oleh pemimpin mereka.[x] Beberapa peneliti seperti Durand dan Cabaton menyebut Bani Islam terkait dengan Syi’ah.[xi] Namun jika dilihat lebih lanjut, praktek yang dilakukan Bani Cham pun tak serupa dengan Syi’ah. Kewajiban berpuasa, dan sholat yang dilakukan Syi’ah, tak diwajibkan oleh Bani Islam.[xii]

Terlepas dari kemungkinan Bani Islam bagian Syi’ah ataupun bukan, banyak peneliti percaya orang-orang pribumi Cham memeluk Islam baru marak setelah tahun 1471.[xiii] Hal ini menarik untuk membandingkan bahwa tahun 1406 atau 1479[xiv], Sunan Ampel telah wafat di Nusantara.[xv] Melihat jeda waktu antara Islamisasi di Cham dengan tahun wafatnya Sunan Ampel tersebut, sulit untuk menyimpulkan bahwa tradisi-tradisi di nusantara yang disebut mirip dengan Bani Islam di Cham, dibawa oleh mereka. Apalagi jika kita menilik lebih dalam pemahaman dan pengamalan Islam dari Bani Islam di Cham. Pemahaman dan pengamalan muslim di Jawa amat berbeda dengan Bani Islam. Muslim di nusantara diwajibkan untuk berpuasa, sholat lima waktu dan lainnya.

Rukun Islam diterapkan secara keseluruhan oleh muslim di Jawa. Hanya ada beberapa kesamaan tradisi Muslim di Jawa dengan Bani Islam, seperti Maulid, memperingati kematian, Haul, Talqin, dan sebagainya.[xvi] Seperti misalnya Haul. Tradisi ini tak bisa serta merta dianggap sebagai tradisi Syi’ah. Tradisi Haul di nusantara (Indonesia) lebih condong dibawa oleh para Sayid dari Hadramaut dan memiliki konsep tersendiri.[xvii] Lagipula, Bani Islam tidak dikenal sebagai muslim yang hijrah ke Melayu, tetapi justru muslim Cham Sunni-lah yang dikenal sebagai perantau ke kepulauan Melayu. Bahkan disebutkan Muslim Sunni dari Cham ini berpartisipasi dalam perang Demak melawan Portugis di Jawa.[xviii]

Kesamaan tradisi atau penempatan Ahlul Bayt pada posisi yang dominan juga membuat beberapa kalangan dianggap sebagai Syi’ah. Seperti yang disebut pada Muslim di Cikoang, Sulawesi Selatan. Tak bisa dipungkiri, memang terdapat sekelompok Syi’ah di sana. Namun apakah kehadiran mereka terkait dengan ulama asal Aceh penyebar Islam di Cikoang, yaitu Sayid Jalaluddin Al Aidid? Atau mereka hadir jauh setelah beliau?

Sayid Jalaluddin Al Aidid disebutkan hadir di awal abad ke 17. Kehadiran beliau begitu dihormati di Cikoang. Beberapa tradisi yang dilestarikan turun temurun masyarakat Cikoang, dianggap sebagai terpengaruh ajaran Syi;ah. Namun penelaahan lebih lanjut menjelaskan ajaran Sayid Jalaluddin Al Aidid lebih tepat disebut tasawuf, yaitu tarekat Bahar Al Nur, ketimbang Syi’ah.[xix] Dan menarik untuk mengamati nama dari keturunan Sayid Jalaluddin Al Aidid, yaitu putra pertamanya bernama Umar.[xx] Sulit diterima bagi seorang Syi’ah untuk memberi nama putranya Umar, seorang sahabat Nabi Muhammad yang begitu dibenci oleh kaum Syi’ah. []

BERSAMBUNG

[i] Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (ed). 2014. Teologi dan Ajaran Syi’ah. Jakarta: INSISTS.

[ii] Ibid.

[iii] Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (ed). 2014. Lihat pula Hamka. 2008. Tuanku Rao: Antara Fakta dan Khayal. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

[iv] Hasib, Kholili. 2015. Tradisi Muslim Nusantara Menyanggah Syi’ah. http://jejakislam.net/?p=641. Diunduh pada 4 April 2015.

[v] Jacobsen, Frode F. 2009. Hadrami Arabs in Present-day Indonesia, An Indonesia-oriented group with an Arab Signature. New York. Routledge Contemporary Southeast Asia Series.

[vi] Alatas, Syed Farid. The Tariqat Al Alawiyyah and The Emergence of The Shi’I School in Indonesia and Malaysia. Oriente Moderno, Nuova Serie Anno 18 (79).

[vii] Jacobsen, Frode F. 2009

[viii] Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIMan.

[ix] Durand, R.P. 1903. Le Champs Bani. Bulletin Francaises d’Extreme-Orient, Tome 3.

[x] Phu, Ba Trung. 2008. Bani Islam Cham in Vietnam dalam Islam at The Margins: The Muslim of Indochina. CIAS Discussion Paper No. 3, Center for Integrated Area Studies, Kyoto University.

[xi] Durand, R.P. 1903.

[xii] Phu, Ba Trung. 2008.

[xiii] Nakamura, Rie. 2000. The Coming of Islam to Champa. Journal of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society Vol. 73 No. 1.

[xiv] Meskipun angka ini tidak ada yang bisa memastikan, setidaknya kita bisa mengambil rentang waktu tersebut sebagai perkiraan. Lihat Agus Sunyoto (2012).

[xv] Sunyoto, Agus. 2012.

[xvi] Ibid.

[xvii] Alatas, Ismail F. 2007. The Upsurge of Memory In The Case of Haul: A Problem of Islamic Historiography in Indonesia. Journal of Indonesian Islam Vol. 1 No. 02, December 2007.

[xviii] Nakamura, Rie. 2000.

[xix] Adlin Sila, Muhammad. 2001. The Festivity of Maulid Nabi in Cikoang, South Sulawesi: Between Remembering and Exaggerating The Spirit of The Prophet. Studia Islamika Vol. 8 No. 3

[xx] Hisyam, Muhammad. 2014. Sayyid: The Stranger King, Religion and Tradition, The Case of Cikoang. Heritage of Nusantara Vol. 3 No. 2

No comments: