Membedah Sejarah Syi’ah di Nusantara (5)

syiah belanda


PENULISAN sejarah Islam di nusantara yang berkaitan dengan Syi’ah pun terkadang tidak hanya bersandar pada kesimpulan yang gegabah soal tradisi, namun juga berdiri diatas sumber tulisan yang rapuh. Hal ini dapat kita temui seperti pada buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan. Buku Tuanku Rao memuat beberapa pendapat tentang sejarah Syia’h di Indonesia. Seperti misalnya, menurut Parlindungan Syi’ah Qaramithah (Parlindungan secara keliru menyebutnya Karamtiyah) pernah berdiri tegak di Minangkabau selama 300 tahun. Dianut masyarakat, hingga kerajaan Pagaruyung. Sebelum akhirnya ditumpas oleh gerakan Paderi. Tuduhan ini ditimpakan pula oleh Parlindungan kepada Syekh Burhanuddin Ulakan.[i]

Pendapat Parlindungan dari bukunya Tuanku Rao sebenarnya (dan sudah seharusnya) dianggap selesai, karena Parlindungan tidak dapat memberikan sumber yang jelas. Semua sumber tulisan, dikatakan Parlindungan telah dibakar oleh ayahnya. Bahkan sumber ‘Naskah Poortman’ dari seorang pegawai kolonial, – yang disebut Parlindungan berasal dari Residen Poortman- pun sesungguhnya tidak pernah ada, baik di Ruang Arsip Istana Merdeka Jakarta, Museum Granada di Spanyol, atau Den Haag.[ii]

Tuanku Rao pernah menjadi topik hangat dan akhirnya dibahas secara ilmiah di Seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Minangkabau,” bulan Juli 1969. Kala itu, Parlindungan tak mampu mempertahankan argumennya setelah dikritik secara meyakinkan oleh Buya Hamka. Tak ada bantahan oleh Parlindungan saat itu. Kritik Buya Hamka terhadap buku Tuanku Rao kemudian hadir dalam sebuah buku berjudul “Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.” Buya Hamka kemudian menyimpulkan, “Setelah saya pelajari buku itu berbulan-bulan dengan sangat seksama, maka saya simpulkan: +/- 80% dari isi buku itu adalah tidak benar, dan secara agak kasar boleh disebut dusta.”[iii]

Selain tak jelasnya sumber, Parlindungan juga mendasarkan pendapatnya yang lemah pada perayaan Tabut di pariaman, Sumatera Barat. Perayaan tabut awalnya di Bengkulu, dan dan di Pariaman sesungguhnya berasal dari tentara Sepoy (India) yang berdiam di sana sejak zaman penjajahan Inggris. Tentara Sepoy penganut Syi’ah itu mengadakan perayaan setiap 10 Muharram.[iv] Menurut Buya Hamka, Tentara Sepoy awalnya membujuk orang kampung sekitar yang awam sekitar untuk membantu mereka menyiapkan perayaan. Dibangkitkan oleh para Sepoy tersebut perasaan tentang tragedi Karbala. Lalu seorang penyair, Bagindo Malin kemudian menyusun Syair Hasan-Husin dan dinyanyikan. Namun perayaan Tabut tak pernah membuat masyarakat Pariaman menjadi pengikut Syi’ah.[v] Masyarakat yang awam, menganggap Tabut hanya bagian dari keramaian masyarakat, bukan persoalan keagamaan.

Perayaan Tabut pun mengalami pasang surut. Tidak selamanya berjalan meriah. Semasa gencarnya dakwah Muhammadiyah dan Permi di tahun 1930-an perayaan Tabut di Pariaman dapat dihilangkan. Namun setelah Indonesia merdeka, perayaan tersebut marak kembali, karena menurut Buya Hamka terdapat faktor lemahnya segi agama, dan yang terutama pertimbangan Tabut sebagai sektor pariwisata.[vi] Maka tidak mengherankan, perayaan tabut dimodifikasi oleh pemerintah khususnya oleh pemerintah Orde Baru sesuai dengan kebutuhan pariwisata.[vii]

Berdiri diatas kepingan fakta-fakta di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bahwa ‘keberadaan Syiah di Nusantara pada masa lalu sejauh ini masih disandarkan pada (1) fakta yang meragukan dan tidak kokoh, (2) misinterpretasi atau kekurangtelitian dalam menafsirkan fakta sejarah yang ada, atau (3) pada jejak-jejak tradisi lahiriah, yang dipengaruhi budaya Syiah dari luar, tetapi tanpa diikuti dengan keyakinan keagamaan (Syiah). Secara umum, kalaupun ada jejak-jejak masuknya Syiah di Nusantara pada masa lalu, maka keberadaannya tidaklah signifikan.

Jejak-jejak Syi’ah di Nusantara tak tergambar jelas, kecuali dalam beberapa hal yang mungkin melebur dalam tradisi masyarakat di nusantara, sebagai buah dari interaksi masyarakat di nusantara dengan segelintir pemeluk Syi’ah. Itu pun hanya sekedar keramaian rakyat atau tradisi belaka, bukan penerimaan secara keagamaan. Bukan mustahil pengaruh-pengaruh diatas yang dianggap ‘berbau Syi’ah’ di Nusantara adalah pengaruh dari Syi’ah Zaidiyah. Namun, hal itu memerlukan penelitian lebih mendalam lagi. Kita harus cermat dengan tidak mudah menganggapnya sebagai Zaidiyah, mengingat Zaidiyah memiliki perbedaan tegas pula dengan Muslim Sunni di nusantara, seperti dalam hal imamah dan kedudukan Abu Bakar dan Umar Ra sebagai khalifah, pandangan kepada para sahabat[viii] serta kecondongan Zaidiyah kepada Mu’tazilah.[ix] Sedangkan dalam dakwah Islam di Indonesia, jelas tercermin Islam di Nusantara adalah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya mahzab Syafi’i.

Kita tidak bisa menyangkal, kemungkinan adanya penyebar ajaran atau penganut Syi’ah Rafidhi di Nusantara. Mengingat Nusantara adalah negeri-negeri yang terbuka, dan beriinteraksi dengan banyak pihak. Namun, kalaupun pernah hadir penyebar ajaran Syi’ah di nusantara, nampaknya ajaran Syi’ah tak mendapat sambutan yang hangat. Pengaruh Persia di Nusantara, apalagi sebelum berdirinya Dinasti Safawi, tak bisa serta merta disebut sebagai pengaruh Syi’ah.

BERSAMBUNG

[i] Hamka. 2008.

[ii] Hasyim, Umar . 1983. Sunan Muria. Antara Fakta dan Legenda. Kudus: Penerbit Menara Kudus.

[iii] Hamka. 2008

[iv] Feener, R. Michael. 1999. Tabut: Muharram Observances in History of Bengkulu. Studia Islamika Vol. VI No. 2. Dan Buya Hamka, 2008.

[v] Hamka.2008.

[vi] Ibid.

[vii] Feener, R. Michael. 1999.

[viii] Kohlberg, Etan. 1976. Some Zaydi Views on the Companions of the Prophet. Buletin of the School of the Oriental and African Studies Vol. 39 No. 1.

[ix] Thiele, Jan. 2010. Propagating Mu’tazilisim in the VIth/XIIth Century Zaydiyya: The Role of Hasan al-Rasas. Arabica No. 57. Lihat pula Etan Kohlberg (1976).

Beggy R., Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

No comments: