Membedah Sejarah Syi’ah di Nusantara (6)

syiah-indonesia-asyuro


KEHADIRAN Dinasti Safawi dalam peta politik di dunia, tak banyak berpengaruh di Nusantara, karena kokohnya keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah. Meskipun ke beberapa wilayah, seperti Thailand, Dinasti Safawi menjalin hubungan resmi dengan mengirim delegasi, namun di Nusantara, sejauh ini tak dapat kita temukan upaya tersebut.[1] Selain faktor kokohnya keyakinan Sunni di nusantara, sangat mungkin bagi kita saat ini untuk meneropong dari peta politik dunia Islam saat itu.

Posisi Dinasti Safawi yang berseteru dengan Kekhalifahan Usmaniyah, membuat mereka Sulit untuk melebarkan pengaruh (Syi’ah)-nya di nusantara. Kerajaan Aceh yang mendeklarasikan diri dibawah kekhalifahan Usmaniyah, memperkecil peluang tersebut.[2] Apalagi Dinasti Safawi pernah pula bergandeng tangan dengan penjajah Portugis, turut memerangi Kekhalifahan Usmaniyah.[3] Maka jejak Syi’ah di Nusantara hanya terlihat samar-samar, tanpa pengaruh yang membekas dalam dada umat Islam di Nusantara.

Hingga menjelang abad ke 20, Syi’ah di Nusantara, yang kemudian menjadi Indonesia, tak jelas menampakkan dirinya.[4] Segelintir keturunan Bani Alawi yang terpengaruh Syi’ah, mendapat tentangan keras, termasuk justru dari kalangan Bani Alawi itu sendiri. Penolakan terhadap ajaran Syi’ah dari kalangan Bani Alawi ditunjukkan misalnya oleh, Sayid Uthman bin Abdullah bin Aqil Bin Yahya (1911) dan Hasan bin Alwi bin Sahab (1908).[5]

Menyanggah Syi’ah dalam lembaran Sejarah

Dari kenyataan yang terjadi, kita dapat bercermin, meskipun Syi’ah tak berpengaruh signifikan di Nusantara, namun ulama-ulama Nusantara sejak lampau telah mengingatkan penyimpangan Syi’ah. Sejak era Hamzah Fansuri yang mengingatkan melalui syairnya yang telah disinggung di atas, kemudian Nurrudin Ar Raniry pun turut mengecam perbuat Syi’ah yang melaknat para sahabat.

Di tahun 1832 Syekh Daud, seorang ulama dari Pariaman yang menetap di Mekkah melukiskan penyimpangan ajaran Syi’ah melalui syairnya, yaitu Syair Mekkah dan Madinah.[6] Di awal abad ke 20 pun Sayid Usman dari Batavia menolak paham Syiah. Penolakan atas Syi’ah kembali dapat kita temui, salah satunya dari Pendiri Nadhlatul Ulama, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Dalam kitabnya, Risalah Al Bid’ah wa Al Sunnah, beliau menjelaskan, “Sebagian dari golongan tersebut adalah Rafidhiyyun, yaitu golongan yang mencaci maki sahabat Abu Bakar ra dan Umar ibn Khattab ra, mereka jugam membenci sahabat lainnya namun mereka sangat berlebihan dalam mencintai Sayyidina ‘Ali ra dan keluarganya. Menurut Sayyid Muhammad dalam Syarh al-Qomus mengatakan bahwa sebagian dari kelompok tersebut ada yang termasuk kategori kafir dan zindiq.”[7]

Satu hal yang menarik, dari Hamzah Fansuri hingga hingga KH Hasyim Asy’ari di abad ke 20, dalam menjelaskan Syi’ah, mereka menggunakan istilah ‘Rafidhah.’ istilah Rafidhah ini dipakai akibat dari penolakan kaum Syiah terhadap kedudukan para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar Ra. Istilah ini memiliki makna mendalam dengan menyebut Rafidhah, para ulama menggolongkan Syi’ah sebagai kaum yang menyimpang secara akidah, bukan dalam konflik politik antara Ali Ra. dengan Muawiyah.

Penting untuk dicatat, penolakan para ulama terhadap paham Syi’ah bukanlah sumber konfilk. Konfilk Sunni-Syiah tak merebak dalam sejarah Nusantara, meskipun para ulama telah menjelaskan penyimpangan kaum Syi’ah sejak beratus tahun yang lalu. Konflik antara Sunni dengan Syi’ah justru mulai merebak ke permukaan tatkala Iran dengan ideologi Syi’ah-nya, mengekspor revolusi (dan paham) Syi’ah ke berbagai wilayah termasuk ke Indonesia pasca tahun 1979.[8] Upaya mempengaruhi akidah Ahlussunnah Wal Jamaa’ah mendapat reaksi berupa tentangan dari umat Islam di Indonesia.[9] Kedamaian muslim Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang terjaga lebih dari seribu tahun sejak datangnya Islam ke Nusantara terkoyak, justru akibat upaya-upaya yang hendak meruntuhkan kokohnya Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

HABIS

[1] Marcinkowski, Ismail M. 2002. Thailand – Iran Relations. Encyclopaedia Iranica. http://www.iranicaonline.org/articles/thailand-iran-relations diunduh pada 5 April 2015.

[2] Goksoy, Ismail Hakki. 2011. Hubungan Turki Usmani-Aceh yang Terekam dalam Sumber-Sumber Turki dalam Memetakan Masa lalu Aceh. Bali & Jakarta : Pustaka Larasan & KITLV Jakarta.

[3] Mathee, Rudi. 2011. Distant Allies: Diplomatic Contacts Between Portugal and Iran in The Reign of Shah Tahmasb, 1524-1576 dalam Portugal, The Persian Gulf and The Safavid Persia. Iran Heritage Foundation, Peeters.

[4] Zulkifli. 2013. The Struggle of Shi’is In Indonesia. Canberra: ANU E Press.

[5] Ibid.

[6] Suryadi. 2013. Syair Mekkah dan Madinah dalam Naik Haji di Masa Silam, Tahun 1482 – 1890 Jilid I. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

[7] Asy’ari, KH. Hasyim. 2008. Risalah Al Bid’ah wa Al Sunnah (Risalah Bid’ah dan Sunnah). Bekasi: Subulus Salam Indonesia.

[8] Ramazani, R.K. 1990. Iran’s Export of the Revolution, Politics, Ends and Means dalam The Iranian Revolution: It’s Global Impact. (ed: John L. Esposito). Miami: Florida International University Press.

[9] Zulkifli. 2013.

Beggy R., Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

No comments: