Membedah Sejarah Syi’ah di Nusantara

syiah-indonesia-asyuro
kerajaan Peurlak


MEMBICARAKAN sejarah Syiah di Nusantara, tak bisa lepas dari pembahasan masuknya Islam ke Nusantara. Sebuah perjalanan panjang merentang hingga lebih dari seribu tahun silam. Silang pendapat diantara para peneliti, mewarnai penulisan sejarah masuknya Islam ke nusantara.

Silang pendapat ini bahkan dibumbui oleh motif-motif politis dibalik penulisan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Pembahasan tidak hanya berhenti disitu, setelah meninjau masuknya Islam ke Nusantara, persoalan kemudian bergeser, dari ‘masuk’, menuju ‘siapa’ yang membawa Islam ke Nusantara? Lalu bergerak lagi mengenai bagaimana berkembangnya Islam di Nusantara. Dari sini lalu bercabang pertanyaan menuju kepada Kerajaan Islam apakah yang pertama berdiri di nusantara?

Masuknya Islam ke Nusantara.

Sejumlah teori mewarnai tentang masuknya Islam ke Nusantara. Teori Anak Benua India merupakan yang digaungkan oleh Pijnappel dan Hurgronje. Pijnappel berpendapat bahwa Gujarat dan Malabar menjadi asal mula penyebar Islam di Nusantara. Sedangkan Snouck Hurgronje menyatakan bahwa penyebaran Islam di nusantara dilakukan oleh muslim Deccan. Namun Hurgronje tidak menyebut pasti bagian selatan India yang ia maksud. Mereka adalah para pedagang yang menyebarkan Islam di abad ke 12. Kesamaan mahzab Syafi’I menjadi salah satu penguat argumen mereka.[i]

Teori Gujarat ini juga di dukung oleh Moquette yang mendasarkan pendapatnya dari sebuah nisan Malik Al Shalih di Pasai (Aceh), khususnya yang bertanggal 27 September 1297 M. Moquette berpendapat bahwa batu nisan ini mirip dengan batu nisan lain di Jawa, seperti di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822/1419). Ia menyatakan bahwa batu nisan ini diimpor dari Gujarat. Namun pendapat ini dibantah oleh S.Q Fatimi. Menurutnya,batu nisan Malik Al Shalih berbeda dengan batu nisan asal Gujarat yang ditemukan ditempat lain di Sumatera dan Jawa. Batu nisan Malik Al Shalih lebih condong kepada batu nisan di Bengal. Dan Fatimi pun mengkritik teori batu nisan yang sepertinya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah di Leran, Jawa Timur, yang bertanggal lebih tua, yaitu (475 H/ 1082 M). Namun Fatimi yang menyatakan Muslim Bengal sebagai asal mula penyebar Islam tampaknya melewatkan faktor mahzab. Faktanya, di Bengal mayortias muslimnya bermahzab Hanafi. Bagaimanapun teori Gujarat di yakini oleh banyak peneliti, seperti Winstedt, Vlekke, dan Schrieke.[ii] Pendapat ini juga mengabaikan bukti-bukti adanya lalu lintas perdagangan sebelum abad ke 13 di nusantara dari negeri-negeri Islam.[iii]

Keabsahan teori Gujarat semakin goyah dengan kritik yang Marrison. Menurutnya, meski batu-batu nisan tersebut diimpor dari Bengal, atau Gujarat, bukan berarti tempat tersebut menjadi asal mula penyebar Islam di nusantara. Marrison menggoyahkan teori ini dengan merujuk pada fakta bahwa, ketika makam Raja Pasai, Malik As Shalih yang berangka tahun 1297, menunjukkan bahwa Islamisasi di Nusantara telah berjalan. Sementara di benua India, baru setahun kemudian (1298) Cambay (Gujarat), ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Maka Marrison justru menyebut Islam di nusantara berasal dari Pantai Coromandel pada akhir abad k-13.[iv]

Teori Coromandel ini didukung oleh Thomas W. Arnold dalam bukunya Preaching of Islam. Menurutnya kesamaan mahzab Syafi’I dan arus perdagangan Malabar dan Pantai Coromandel mendukung pendapat ini. Namun patut ditekankan, Arnold menyatakan bahwa Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya asal mula penyebaran Islam di nusantara, melainkan Arabia. Menurutnya pedagang asal arab telah mengenal nusantara sejak abad ke 7 dan ke 8 Masehi.[v]

Buya Hamka menjelaskan dengan menarik, bahwa Coromandel dan Pantai Malabar adalah tempat-tempat persinggahan dari para Pedangang Arab. Orang Arab itu kemudian menetap di Malabar, mengislamkan penduduk, dan melestarikan bahasa Arab. Sebutan Malabar sendiri menurut Buya Hamka, berasal dari bahasa arab Ma’bar, yang berarti ‘tempat lalu’. Tempat singgah orang-orang arab tersebut. Dan bukan saja tempat singgah khusus orang arab, tetapi juga orang-orang dari Nusantara. Di sana, menurut Buya Hamka mengutip Al Mas’udi, diabad ke 10 telah hadir 10 ribu orang yang berasal dari Arab, berbahasa Arab dan memiliki keturunan bergenerasi. Bahkan hingga abad ke 20, orang-orang Malabar tetap mengakui diri mereka orang Arab.[vi]

Orang-orang Nusantara memang tampaknya sudah dikenal orang-orang Arab bahkan sejak masa pra-Islam di Arab. Daerah Fansur di pantai barat Sumatera sebagai penghasil Kapur Barus, dikenal oleh orang-orang Arab. Kata Kapur sendiri oleh orang Arab dikenal dengan ‘Kafur.’[vii]

Bukti-bukti perkenalan Arab dan orang Nusantara lebih kukuh jika kita menyatukan pula pendapat-pendapat dari sumber lain mengenai kehadiran Arab ini. Dalam kitab Ajaib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar tahun 397H/1000M ini, mengisyaratkan eksistensi komunitas muslim lokal di Kerjaaan Hindu-Budha Zabaj (Sriwijaya). Ia meriwayatkan kedatangan pedagang muslim ke Kerajaan Zabaj. Ia menyebut para pedagang Muslim tersebut harus duduk ‘bersila’ ketika menghadap raja. Kata ‘bersila’ menurut Azyumardi Azra pastilah sedikit dari bahasa melayu yang pernah digunakan dalam teks Timur Tengah. Riwayat ini juga mengisyaratkan adanya sejumlah penganut Islam di Kerjaan Zabaj.[viii] Kehadiran komunitas Muslim di Nusantara adalah sesuatu yang lumrah. Mengingat komunitas Muslim sudah berinteraksi dengan Dinasti Cina sejak masa Dinasti Umayyah. Pada masa Dinasti Umayyah sendiri setidaknya terdapat 17 duta Muslim yang dikirim ke Istana Cina. Tentu saja para pedagang Muslim timur tengah ini telah mengetahui pelabuhan-pelabuhan tertentu di Nusantara sebagai tempat persinggahan.


[i] Drewes, G. 1968. New Light on the Coming of Islam to Indonesia? Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 124 No. 4.

[ii] Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama timur tengah dan kepulauan nusantara abad XVII dan XVIII. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

[iii] Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

[iv] Azra, Azyumardi. 2013.

[v] Arnold, Thomas W. 1913. The Preaching of Islam, A History of the Propagation of the Muslim Faith. London: Constable & Company Ltd.

[vi] Hamka. 1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam No. 31.

[vii] Al Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011. Historical Fact and Fiction. Johor Bahru: University Teknologi Malaysia Press.

[viii] Azra, Azyumardi. 2013.

CATATAN-catatan mengenai hal ini dapat kita lihat dari catatan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara CIna. Ia dari Kanton menuju ke Pelabuhan muara sungai Bhoga (atau Sribhoga) yang sekarang dikenal dengan Sungai Musi di Palembang. Ia menuju ke Ibukota kerajaan Sriwijaya itu dengan menumpang kapal Arab dan Persia. Ada pula Yuantchao, dalam Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou yang ditulis pada awal abad ke-9, menyatakan bahwa pada 99H/717M sekitar 35 kapal persia sampai di Palembang.

Seusai kerusuhan di Kanton, banyak Muslim Arab dan Persia – yang diusir dari Kanton – menuju Palembang untuk menemukan wilayah perlindungan yang aman. Sumber-sumber Cina lain banyak menyatakan kehadiran Muslim Arab atau Persia di Palembang (Sriwijaya). Bahkan yang menarik Abu Abdullah (yang oleh sumber Cina disebut P’u-ya-t’o-lohsieh) muncul secara resmi sebagai duta Arabia (Ta-shih) pada tahun 995 dan 999M. Tak hanya di Sriwijaya, di Borneo, sebuah kerajaan mengirimkan seorang duta bernama P’u A-li ke Istana Cina dibawah kekuasaan Dinasti Sung. Duta ini sepertinya seorang pedagang Arab yang kapalnya berlabuh di muara sungai Kerjaan Borneo Barat, dan kemudian diminta raja untuk memimpin delegasi duta-dutanya ke Cina. [i]

Berita-berita di atas menandakan Sriwijaya telah memiliki hubungan erat dengan Muslim Arab atau Persia sejak lama. Namun yang paling meyakinkan tentu saja surat-menyurat antara para Khalifah di TImur Tengah dengan Maharaja Sriwijaya. Surat Maharaja pertama tercatat tahun 41H/661M kepada Khalifah Muawiyah. Surat ini disebutkan oleh Al Jahizh dalam Kitab Al Hayawan. Surat kedua adalah surat Maharaja Sriwijaya yang ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Surat ini terdapat dalam karya Ibnu Abdurabbih dalam karyanya Al-iqd al-Farid. Sang Maharaja menyampaikan sebuah tanda persahabatan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan ia meminta untuk dikirimkan seseorang yang dapat mengajarkan kepadanya tentang Islam (dalam versi lain disebutkan menjelaskan tentang Islam). SQ Fatimi memperkirakan surat itu diterima Khalfiah Umar bin Abdul Aziz pada 99H/718 M.[ii]

Kerajaan Sriwijaya yang memiliki intesnitas persentuhan dalam Islam setidaknya sejak abad ke 7 atau 8, terus berjalan, seiring banyaknya padagang Arab yang mulai menetap di Sumatera. Membentuk komunitasnya, membaur dan menikahi penduduk setempat.

hadirnya dan Interaksi muslim di nusantara, telah nyata tercatat sejak lama. Pendapat ini di sepakati dalam Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara pada tahun 1980, termasuk Prof. Uka Tjandrasasmita pun sepakat Islam yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7 M adalah muslim dari Arab.[iii] Namun pertanyaanya, kini berayun menuju kepada Kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Kerajaan Peurlak adalah Syi’ah?

Salah satu pendapat yang mendapat perhatian adalah pendapat ulama dan budayawan Aceh,Prof. Ali Hasjmy. Beliau menyatakan bahwa Peurlak adalah kerajaan pertama Islam di Nusantara dan penganut Syi’ah. Menurutnya, kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Perlak yang didirikan pada 1 Muharram 225H (840M), dengan Rajanya yaitu Sulthan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Shah. Kerajaan Perlak awalnya berdiri setelah kedatangan Angkatan Dakwah sebanyak 100 orang dibawah pimpinan Nahkoda Khalifah dari Teluk Kambay di Gujarat pada 173H. Angkatan Dakwah yang menurut Hasjmy keturunan Bani Khalifah itu adalah para Amir dari Bahrain dan Qatar. Mereka adalah kaum Syi’ah yang memberontak terhadap Khalifah Makmun di Baghdad. Rombongan itu terdiri dari berbagai etnis seperti Arab, Persia dan Hindi. Angkatan Dakwah itu kemudian diterima dengan baik oleh Meurah (Raja) Perlak. Bahkan salah satu anggota Angkatan Dakwah itu, Ali bin Muhammad bin Jakfar Shiddiq, seorang keturunan Ali bin Abi Thalib RA, kemudian menikahi putri istana, sehingga lahirlah putra campuran pertama bernama Saiyid Abdul Aziz. Beliaulah kemudian yang menjadi raja pertama Kerajaan Islam Perlak.[iv]

Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah (225-249H/840-864M) inilah yang disebut raja pertama dan beraliran Syiah. Hingga kemudian dilanjutkan dua penerusnya, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (249-285H/864-888M) dan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300H/888-913M). Pada masa dinasti Syed Maulana Abdul Aziz Shah, masuk pula Ahlussunnah Wal Jamaah, sehingga masa akhir pemerintahan Abbas Shah terjadi pergolakan Sunni dan Syiah yang menyebabkan kekosongan kekuasaan. Di masa berikutnya, Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughayat Shah terjadi kembali pergolakan dan dimenangkan oleh Sunni dan mengangkat sultan dari golongan mereka, yaitu Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (306-310H/928-932 M). Dinasti Makhdum ini berakhir di masa Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (334-362H/956-983M). Saat itu terjadi pemberontakan oleh Syiah. Maka Kerajaan Perlak dibagi dua, yaitu Perlak Pesisir bagi aliran Syi’ah. Dan Perlak pedalaman bagi Ahlussunnah.[v]

Masih berdasarkan pendapat Prof. Ali Hasjmy, Kerajaan Perlak Pesisir dibawah Sultan Alaiddin Syed Maulana Mahmud Shah tahun 986 diserang oleh Sriwijaya hingga luluh lantak. Maka Kerajaan Perlak kemudian seluruhnya dikuasai Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahaim Shah Johan Berdaulat yang berasal dari Perlak Pedalaman. Sejak itulah berakhir kekuasaan Syiah di Nusantara. Kerajaan Perlak kemudian menjadi Kerajaan Sunni. Kerajaan Perlak kemudian berakhir di setelah wafatnya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Shah Johan Berdaulat (662-692H/12631292M). Setelah wafat beliau, Sultan Muhammad Malik Al Dhahir menggabungkan Perlak dengan Kerajaan Samudera Pasai.

Selain Ali Hasjmy, M. Junus Djamil adalah penulis yang mengungkapkan kisah yang hampir serupa. Baik Djamil maupun Prof. Ali Hasjmy utamanya menggunakan sebuah manuskrip lama, halaman lepas dari sebuah kitab yang disebut berjudul Idzharul Haq fi Mamlakatil Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Makarani Al Fasy. Selain manuskrip lama, Prof. Ali Hasjmy menyebutkan bukti-bukti fisik berupa mata uang yang disebutnya dari Kerajaan Perlak.[vi]

Hadirnya komunitas Islam di Perlak memang memungkinkan. Meskipun demikian, umumnya Samudra Pasai dianggap sebagai kerajaan Islam pertama. Catatan perjalanan Marco Polo menguatkan kehadiran komunitas muslim di Perlak. Marco Polo yang berkunjung ke pantai Sumatera tahun 1292, mengatakan penduduk Perlak telah menganut agama Islam. Eskavasi bukti arkeologis di pantai timur sumatera, yaitu Kota Cina (Medan) dan Barus menurut Hasan Ma’arif Ambary juga menguatkan akan hadirnya artefak yang berasal dari Timur Tengah, menunjukkan data kronologi tertua abad ke 9M.[vii] Di Barus, Ludvik Kalus juga menemukan artefak yang diperkirakan berasal dari abad ke 9M.[viii]

[i] Ibid

[ii] Fatimi, S. Q. 1963. Two Letters From the Maharaja To The Khalifah, A Study in The Early History of Islam in The East. Islamic Studies. Vol. 2., No.1 . pp 121-140.

[iii] Tjandrasasmita, Uka. 1993. Proses Kedatangan dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Peny. Prof Ali Hasymy. Al Ma’arif.

[iv] Hasymy, Ali. 1993. Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tenggara dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Peny. Prof Ali Hasymy. Al Ma’arif. Lihat pula, Hasjmy, A. 1983. Syi’ah dan Ahlussunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

[v] Ibid

[vi] Ibid

[vii] Ambary, Hasan Ma’arif. 1993. Sejarah Masuknya Islam di Negeri Perlak Ditinjau dengan Pendekatan Arkeologi dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Peny. Prof Ali Hasymy. Bandung: Al Ma’arif.

[viii] Kalus, Ludvik. 2008. Prasasti Islam yang Tertua di Dunia Melayu dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

ADANYA bukti-bukti keberadaan komunitas Islam di Perlak, bukan berarti membenarkan adanya kerajaan seperti pendapat Prof. Hasjmy dan M. Junus Djamil. Kedua pendapat diatas harus ditelaah dengan cermat. Baik pendapat Prof. Hasjmy maupun Djamil dikritik, terutama karena mereka hanya menyandarkan pada sumber (yang disebut sebagai manuskrip tua), namun amat perlu diverifikasi lagi keabsahannya. Menurut Hasan Maarif Ambary, melihat dari gaya penulisannya, manuskrip Idharul Haq tampaknya justru berasal tak lebih dari abad ke 18-19 M.[i] Naskah Idharul Haq tampaknya sulit untuk dipercayai. Keberadaan naskah tersebut pun tampaknya tak jelas. Bahkan peneliti sejarah dan kebudayaan Aceh, Drs. Nab Bahany As, yang berupaya menelusuri naskah tersebut, akhirnya menyatakan bahwa kitab tersebut tidak ada. Kajian arkeologi di Peurlak pun akhirnya tak menemukan bukti kerajaan tersebut. Bukti fisik berupa mata uang yang disebut oleh Prof. Hasjmy pun perlu diperiksa keabsahannya, mengingat hal itu tidak disebut-sebut oleh peneliti lain hingga saat ini.[ii]

Azyumardi Azra juga menyatakan bahwa dalam memperlakukan sumber lokal (Idharhul Haq) perlu dibandingkan dengan sumber lain, baik sumber lokal maupun asing. Kemudian Azra menolak pendapat ini karena menurutnya, dikaitkan dengan konteks dunia Islam saat itu, konfilk Sunni dan Syi’ah Rafidhi (Ithna ‘Ashariyah) belumlah menjelma menjadi persaingan idelogi dalam politik internasional. Konflik semacam ini baru terlihat setelah Dinasti Safawi berkuasa di Persia di abad ke 15.[iii]

Jejak Ahlussunnah Wal Jama’ah di Nusantara

Bukti-bukti yang ada justru menguatkan kedudukan Ahlus Sunnah wal Jamaah di nusantara termasuk kala munculnya kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kehadiran Kesultanan Samudra Pasai, yang oleh sebagian besar kalangan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama, menunjukkan bahwa akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah benar-benar dipegang oleh masyarakat muslim di nusantara.

Berdasarkan catatan perjalanan Ibnu Battutah yang mengunjungi Kesultanan Samudera Pasai pada 1345, kita mendapatkan informasi bahwa Samudra Pasai, bertahta seorang raja yang alim, yaitu Sultan Malik Al Zahir yang bermahzab Syafi’i. Bahkan menurut Ibn Battutah, Raja Pasai itu menurutnya memiliki minat besar dalam perbincangan mengenai agama. Dan dapat kita simpulkan ketika Ibn Battutah berbicara dengan Al Malikus Zhahir, Sang Sultan berbicara dengan bahasa Arab[iv].

Tidak hanya itu, Ibnu Battutah juga menyatakan bahwa ia bertemu dengan ulama terkenal Samudera Pasai, yaitu Amir Dawlasa dari Delhi (India), Kadi Amir Sayyid dari Syiraz dan Tajuddin berasal dari Isfahan (Persia).[v] Samudra Pasai kala itu memang menjadi pusat keilmuan Islam. Dari Samudra Pasai orang-orang, baik dari nusantara maupun dari luar nusantara berdatangan. Bahkan dari Pasai-lah Fatahillah, berasal sebelum ia akhirnya melakukan dakwah ke pulau Jawa dan mendirikan kesultanan di sana[vi]

Umumnya para peneliti baik asing maupun Indonesia berpendapat Samudra Pasai hadir setidaknya sejak abad ke 13. Pendapat ini bersandar pada Sebuah nisan dari makam Malik As Shalih, berinskripsi 1297. Di sisi lain, kita dapat sebuah fakta menarik, bahwa raja-raja Pasai menggunakan gelar Malik (Raja Pasai berikutnya adalah Malikuzh Zahir). Gelar Malikush Shalih serupa dengan gelar seorang penguasa di Damaskus, Malikush Shalih Ismail (1237-1238) dan gelar Malikuz Zahir serupa dengan gelar Sultan yang menguasai Mesir, yaitu Al Malikuzh Zhahir Baibars (1227). Suatu gelar yang menurut Buya Hamka menunjukkan kuatnya hubungan Islam di Nusantara dengan mahzab Syafi’I. Hal ini membuktikan pula hubungan internasional muslim Nusantara dengan Arab dan Mesir[vii].

Amat penting untuk diperhatikan pula pendapat Syed Naquib Al Attas yang dengan argument meyakinkan berpendapat bahwa para pendiri Kesultanan Samudra Pasai merupakan Ahlul Bayt[viii] (keturunan Ali bin Abi Thalib Ra) yang berakidah Ahlussunnah setidaknya telah hadir di nusantara sejak abad ke 9M.[ix] Dari Samudra Pasai inilah kemudian pengaruhnya yang luas merambah ke Malaka, Kerajaan Aceh hingga daerah-daerah lainnya di Nusantara.

Akidah Ahlussunnah wal Jamaah yang didakwahkan oleh para Ulama Pasai ke berbagai daerah menjadi bukti betapa kukuhnya Sunni di Nusantara. Aceh, yang kemudian dikenal menjadi serambi Mekah menjadi bukti berpusatnya akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Ulama-ulama aceh semacam Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, hingga Abdurauf Sinkili, Ar Raniry menjadi ulama-ulama yang meneruskan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dugaan – Dugaan Gegabah

Sayangnya seringkali para ulama tasawuf aceh semacam Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai diduga memegang ajaran Syi’ah.[x] Dugaan ini tak berdasar, karena Hamzah Fansuri sendiri pernah menolak ajaran Syi’ah dengan menyebut Syi’ah sebagai kafir. Dalam Asrar Al Arifin, ia menulis,

“Sebab inilah maka pada hukum syariat, Kalam [Allah] tiada makhluq. Adapun [kepada] mazhab Mu’tazilah, Rafidi (Syi’ah Rafidah, pen.) dan Zindiq, Kalam Allah (itu) makhluq. Pada hukum syiriatnya, barangsiapa yang mengata[kan] Kalam Allah makhluq, iaitu kafir –naudzubillahi minha!. Kalam Allah peri Zat; Qadim sama-sama dengan sekalian sedia ketujuh sifatnya…. Ini pun kata Qadim dengan kata isyarat juga, bukan dengan lidah dan suara. Jikalau dengan lidah dan suara, dapat dikatakan makhluq. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala Mahasuci, KalamNya pun Mahasuci dari lidah dan suara.” [xi]

Begitu pula dengan pengikutnya, Syamsuddin Pasai. Kerap diduga Syamsuddin Pasai

adalah pemeluk Syiah, hanya karena mengikuti tasawuf Hamzah Fansuri. Tentu saja pendapat ini tertolak, karena kedudukan Syamsuddin Pasai sebagai ulama yang berpengaruh di Aceh jelas tidak memungkinkan dugaan tersebut. Menganggap pengaruh Syi’ah yang signifikan di Aceh nampaknya mustahil, mengingat pendapat Nurrudin Ar Raniry, yang mengatakan ulama Aceh mufakat menolak ajaran Syi’ah yang mencaci sahabat dan mengkafirkan Mu’awiyah.[xii]

Seringkali kekeliruan mengandaikan Syiah terjadi karena menyamakan antara Persia dengan Syi’ah. Seperti yng sudah disebutkan diatas, Persia dipaksa ‘menjadi’ Syi’ah baru ketika Dinasti Safawi berkuasa disana. Saat Dinasti tersebut memaksa Syi’ah menjadi ideologi dan agama resmi negara, lalu dilakukan penindasan terhadap muslim Sunni.[xiii] Hingga ulama-ulama Sunni keluar dari wilayah tersebut. Maka pengaruh Persia harus kita sikapi secara cermat dan menghindari kesimpulan ceroboh yang menyamakan dengan Syi’ah.

Pengaruh Persia di Nusantara

Sebuah contoh menarik, yaitu dengan menilai raja-raja Malaka yang memakai gelar ‘Syah’ Beberapa pendapat dengan gegabah menyimpulkan pengaruh Persia Syi’ah pada kerjaan Malaka, karena pemakaian gelar syah. Tentu saja pendapat ini menyesatkan. Gelar Syah bukan (saja) milik Persia dan bukan berarti Syi’ah, meskipun jika berasal dari Persia. Jauh sebelum Raja Dinasti Safawi, Syah Ismail, memakai gelar Syah, Kerajaan Khuwarazmia (berdiri 304H/995M) rajanya disebut Syah.[xiv] Kerajaan Khuwarazmia adalah keturunan Seljuk Turki dan bermahzab Hanafi. Di India, gelar Syah bukan semata gelar kerajaan, namun juga gelar untuk ulama seperti Syah Waliullah Dhilawi. Bahkan Raja-raja Malaka lebih dahulu memakai gelar Syah dibanding Dinasti Safawi. Buya Hamka bahkan menyindir kesimpulan ceroboh macam ini, “…kalau sekiranya saya seorang ‘chauvinis’ niscaya saya akan berkata bahwa Raja-raja Shafawi itulah yang meniru raja-raja Melayu Malaka, bukan Malaka yang menirut Persia, sebab Kerajaan Safawi itu kemudian berdirinya baru daripada Malaka 100 tahun?”[xv]

Pengaruh politik Persia yang membekas di Nusantara, khususnya Kerajaan Malaka memang dapat dikenali, dari kaitannya dalam Sejarah Melayu yang menyebut Iskandar Zulkarnain sebagai leluhur Kerajaan Melayu. Begitu pula ketika Sejarah Melayu menyebut Bendahara Malaka, Mani Purindan sebagai keturunan ‘Nizam Al Mulk Akar Syah, dari negeri di Benua Keling. Tentu saja Nizam Al Mulk sebenarnya bukan berasal dari sebuah negeri di Benua Keling, tetapi Wazir dari Dinasti Saljuk Persia (wafat 1092), yang amat berjasa mendirikan madrasah Nizamiyah Sunni yang amat berpengaruh. Rujukan kepada Nizam Al Mulk ini juga tercermin dari kitab Melayu berjudul Taj As-Salatin (1603). Sebuah kitab panduan bagi penguasa, yang sebenarnya banyak merujuk pada sebuah kitab asal Persia, yaitu Siyasat Al Mulk, karya Nizam Al Mulk.[xvi]

Pengaruh Persia lainnya adalah pandangan penguasa Melayu tentang diri dan kekuasannya, yang mencerminkan raja sebagai ‘Khalifah Allah di muka Bumi (Khalifah Allah fi Al –Ardh) atau bayangan Tuhan di muka Bumi (Zill Allah fi Al-Ardh). Namun pandangan itu bukan pandangan Syi’ah, tetapi pemikiran Sunni dari Arab yang telah mengalami pengaruh Persia.[xvii] Pengaruh-pengaruh Persia (bukan Syi’ah) tersebut memang nyata di Nusantara, namun ketika Dinasti Safawi menguasai Persia, Dinasti Safawi (Syi’ah) nyatanya tidak serta merta menjadi rujukan pula bagi umat Islam di Nusantara. Alih-alih, menurut Marrison pengaruh Hadramaut-lah yang kemudian menggantikan pengaruh Persia di Nusantara.[xviii]

Pengaruh Persia di Nusantara, terlihat pula dalam hal tasawuf, bahasa dan sastra. Seringkali tasawuf di Nusantara secara gegabah dipersepsikan sebagai pengaruh Syi’ah.

Seperti sudah kita ketahui, Para sufi termasuk kelompok yang menyebarkan Islam di Nusantara. Menurut AH Johns, merebaknya intensitas Islamisasi di Nusantara selepas abad ke-12, tak lepas dari peran para sufi. Ketika jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol, mengakibatkan berpencarnya umat Islam (termasuk para sufi) ke berbagai wilayah, termasuk ke Nusantara.[xix] Menurut Azyumardi Azra, tasawuf justru lebih berakar dalam tradisi Sunni ketimbang Syi’ah. Meskipun ada kesamaan, namun terang pula perbedaannya. Terlebih dalam konteks tasawuf yang berpengaruh di Nusantara.[xx]

Pengaruh Persia lain yang seringkali disalahpahami sebagai pengaruh Syi’ah adalah dalam hal bahasa. Pendapat D.J. Pijnappel seringkali dikutip ketika mengukuhkan argument ini. Pijnappel menyatakan, sejumlah kata-kata dan istilah Persia dipakai oleh umat Islam di Nusantara. Maka pastilah pengaruh ini turut mempengaruhi agama islam di Nusantara. Menurut Pijnappel pengaruh itu dibawa oleh orang-orang arab yang singgah di pelabuhan pesisir Persia dan India.[xxi]

Tak bisa dipungkiri, Persia telah memberikan pengaruh ke dalam kosakata bahasa melayu. Setidaknya, menurut Abdul jabbar Beg, terdapat 77 kata asal Persia yang diserap ke dalam bahasa melayu., seperti kanduri (kenduri), astana, bedebah, biadab, nahkoda, piala, kawin, nisan, takhta, Bandar, lasykar saudagar, pasar dan lainnya. Namun yang patut diperhatikan adalah, kata-kata tersebut masuk ke bahasa melayu melalui bahasa arab, misalnya seperti diwan (dewan), medan (madyan), firdawus (firdaus) atau firman, yang dalam bahasa parsi berarti perintah raja, sedang dalam bahasa melayu menjadi wahyu Tuhan. Abdul Jabbar Beg mencatat setidaknya 230 kata Persia dipinjam oleh bahasa arab, yang kemudian meresap ke dalam bahasa Melayu. Selain itu menurut Alessandro Bausani, 90% kata-kata Persia itu merupakan nama benda, dan hanya 10% saja yang merupakan istilah kunci yang mempengaruhi pemikiran atau paham keagamaan yang bersifat abstrak. Lagipula yang harus kembali diingat, pengaruh Persia bukan berarti pengaruh Syi’ah.[xxii] Azyumardi Azra menyimpulkan,

“Pengaruh itu-jika ada-terbatas pada hal-hal yang lebih bersifat lahiriah, ketimbang kerangka gagasan keagamaan atau pandangan dunia tertentu yang lebih fundamental. Dengan demikian, jelas agak naïf kalau orang berbicara tentang ‘pengaruh’ paham Syi’ah di nusantara.”[xxiii]

[i] Ambary, Hasan Ma’arif. 1993.

[ii] Penelusuran terhadap manuskrip Idharul Haq yang dilakukan oleh Center for Information of Samudra Pasai Heritage (CISAH) di tahun 2013 hanya menghasilkan tangan hampa. Lihat “Penasaran dengan Izharul Haq, CISAH ke Peunaron” (http://misykah.com/penasaran-dengan-izhharul-haq-cisah-ke-peunaron/) dan “Nab Bahany AS: Tidak ada Kitab Izharul Haq” (http://misykah.com/nab-bahany-as-tidak-ada-kitab-izhharul-haq/) . DI unduh pada 1 April 2015.

[iii] Azra, Azyumardi. 1999. Syi’ah di Indonesia: Mitos dan Realitas dalam Islam Reformis. Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Rajawali Pers

[iv] Lee B.D., Rev. Samuel. 1829. The Travels of Ibn Batuta. London: The Oriental Translation Committee.

[v] Iskandar, Teuku. 1996. Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. Jakarta: Libra.

[vi] Tjandrasasmita, Uka. 2009.

[vii] Hamka. 1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam No. 31.

[viii] Untuk penjelasan mengenai Ahlul Bayt lihat Zarkasyi, Hamid Fahmy dan Henri Salahuddin (ed). 2014. Teologi dan Ajaran Syi’ah. Jakarta: INSISTS

[ix] Al Attas, Syed Muhammad Naquib. 2011.

[x] Hasjmy, A. 1983. Syi’ah dan Ahlussunnah Saling Rebut Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara. Lihat pula Sofjan, Dicky. 2013. Kebangkitan Syi’ah di Asia Tenggara dalam Sejarah dan Budaya Syi’ah di Asia Tenggara (ed. Dicky Sofjan). Jogjakarta: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada.

[xi] Rinaldi, Yogi T. 2014. ‘Sahabat’ dan klaim Syi’ah di Nusantara. http://jejakislam.net/?p=533 . Diunduh pada 3 April 2015.

[xii] Iskandar, Teuku. 1996.

[xiii] Abisaab, Rula Jurdi. 2004. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. New York: IB Tauris & Co. Ltd. Lihat pula Perry, Ellis. 2010. The Rise of Shi’ism in Iran. Cross Section, The Bruce Hall Academic Journal. Vol 6.

[xiv] Bosworth, C. Edmund. 2009. Khawarzmshahs i. Descendants of the line of Anuštigin dalam Encyclopaedia Iranica Online. (http://www.iranicaonline.org/articles/khwarazmshahs-i) diunduh pada 4 April 2015.

[xv] HAMKA.1963. Pidato Bandingan Hamka: Masuk dan Berkembangnya Agama Islam Di Pesisir Sumatera Utara. Gema Islam No. 33.

[xvi] Marrison, G. E. 1955. Persian Influence in Malay Life (1280 – 1650). Journal Malaysian Branch. Vol. XXVIII Pt I. Royal Asiatic Society.

[xvii] Azra, Azyumardi. 1999.

[xviii] Marrison, G. E. 1955

[xix] Jones, A.H. 1961. Sufism As A Category in Indonesian Literature and History. Journal of Southeast Asian History, Vol. 2, No. 2.

[xx] Azra, Azyumardi. 1999.

[xxi] Ibid.

[xxii] Ibid

[xxiii] Ibid

Beggy R., (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)

No comments: