Meurah Johan Syah; Masih Ingatkah Kita?

22 April 2015, Bandar Aceh Darussalam genap berusia 810 tahun. Awalnya, bandar yang didirikan pada 22 April 1205 itu dikenal sebagai bandar Lamuri, sekaligus merupakan benteng pertahanan kerajaan Lamuri (Kuala Naga) yang kemudian dipugar menjadi ibu kota negara kerajaan Aceh Darussalam.

Banyak cerita belum diungkap, sehingga saat memperingati hari jadi Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh-red), jiwa rakyat Aceh seakan terasa sepi dan hampa. Ini bukan saja karena durasi masa sudah lewat begitu jauh, tetapi juga jiwa generasi sekarang membeku dan tidak lagi bergetar saat menyebut nama bandar itu. Ia menjadi sesuatu yang asing di tengah-tengah peradaban kita.

Kelahiran bandar ini dibidani oleh dua tokoh utama, yaitu Syeh Abdullah Kan’an dan Meurah Johan Syah. Keduanya, sekaligus sebagai juru selamat kepada kerajaan-kerajaan kecil, seperti kerajaan Lamuri (Indra Purba), kerajaan Indra Jaya (Seudu), kerajaan Indra Purwa, kerajaan Indra Patra, kerajaan Indra Puri dan kerajaan Langkrak, yang memisahkan diri ikatan federasi kerajaan Lamuri.

Pada ketika itulah, angkatan perang Cina di bawah panglima perang Liang Khie, datang menyerang dan menakluki kerajaan Indera Jaya (1059-1069), karena dynasti Zhao Zhen di Cina hendak meluaskan imperium sampai ke Lamuri, yang dikenal kaya dengan kapur, pinang, cengkeh, lada, pala, lumbung emas, perak dan gajah (Renaudot, 1718, Anciannes relations des Indes et de la Chine, Paris).

Demikian pula kerajaan Rajendra Cola 1 dari India Selatan, pernah datang menjarah kerajaan Lamuri (1024-1030), yang mengakibatkan Lamuri (Ilmauridacam) --yang sejak abad ke-9 lagi mempunyai angkatan perang yang kuat dan sistem pemerintahan yang teratur-- dapat dikalahkan.

Kerajaan Seudu
Liang Khie kemudian melantik dirinya sebagai raja, sekaligus menukar nama kerajaan Indra Jaya kepada kerajaan Seudu, dengan ibu kota Panton Bie. Kerajaan Seudu inilah yang Liang Khie warisi kepada Maharani Nian Neo. Kebijakan politik Nian Neo waktu itu antara lain mewajibkan rakyat untuk taat kepada ajaran agama Budha sebagai satu-satunya kepercayaan yang diakui sah oleh kerajaan Seudu pada masa itu dan membebani rakyat dengan pajak penghasilan yang mencekik.

Atas alasan inilah, kerajaan Indera Purba, secara rahasia mengirim utusan ke kerajaan Islam Peureulak, di bawah Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan (1173-1200), meminta supaya mengirim angkatan perang melawan angkatan tentera Nian Neo. Maka pada 1180, dikirim delegasi dakwah sekaligus angkatan perang, dipimpin oleh Syeh Abdullah Kan’an dan Merah Johan Syah dilantik sebagai panglima perang untuk memerangi angkatan tentera Nian Neo, sekaligus mengajak rakyat kerajaan Indera Purba dan kerajaan-kerajaan lainnya yang masih memeluk agama Hindu dan Budha untuk memeluk agama Islam.

Meurah Johan memimpin angkatan perang ‘Syiah Hudan’ berkekuatan 600 personil terlatih yang kesemuanya merupakan mahasiswa Dayah Zawiyah Tjot Kala, siap untuk menakluki kerajaan Seudu. Angkatan ‘Syiah Hudan’ memulai aksinya dengan mengikat rasa persaudaraan dan kebersamaan antara penduduk tempatan, membangun pusat latihan militer di Bandar Lamuri, rakyat diperintah bertanam padi untuk persediaan logistik perang, memantau dan menganalisa peta kekuatan militer kerajaan Seudu di bawah pimpinan Nian Neo.

Angkatan perang Cina (kerajaan Seudu) akhirnya dapat dikalahkan oleh angkatan perang “Syiah Hudan” di bawah Meurah Johan Syah (Panglima perang koalisi antara angkatan perang Peureulak dan kerajaan Indera Purba) pada 1205. Pasukan Meurah Johan Syah berhasil menawan benteng Kuala Naga, Kuta Neusuk, Kuta Blang Pineung, Kuta Podiamat dan memporak-porandakan benteng pertahanan musuh di Lingké. Ratusan angkatan perang kerajaan Seudu, termasuk Maharani Nian Neo --panglima perang kerajaan Seudu-- turut ditangkap dan ditahan.

Dengan ditawannya Maharani Nian Neo, maka diadakan upacara puncak kemenangan yang berlangsung di benteng Bandar Lingké. Pada kesempatan inilah, Meurah Johan Syah menawarkan kepada tawanan perang: (1) memeluk agama Islam secara sukarela dan hidup dalam suasana bebas dan merdeka; (2) menebus dengan sejumlah uang dan jaminan; (3) tetap menjadi tawanan hingga ada penyelesaian akhir dari kerajaan Indera Purba. Bagaimanapun, semua memilih memeluk agama Islam dan hidup dalam suasana bebas dan merdeka (A. Hasjmy, 1975, Meurah Johan Sultan Aceh Pertama, penerbit Bulan Bintang, hlm. 82.)

Untuk merayakan kemenangan pasukan Meurah Johan Syah, maka diadakan rapat umum, dihadiri oleh perwakilan kerajaan Seudu, Indra Purwa, Indra Patra, Indra Puri dan Indra Purba dan wakil kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Pasé (Pasai), kerajaan Benua (sekarang: Langkat-Temiang) dan kerajaan Islam Linge. Pada saat itulah, Syeh Abdullah Kan’an berkata: “Kini, kita semua sepakat untuk mendirikan satu kerajaan Islam Aceh dengan nama kerajaan Aceh Darussalam.”

Sultan Aceh pertama
Seiring dengannya, kerajaan Indera Patra, kerajaan Indera Puri, kerajaan Indera Purwa dan kerajaan Seudu bergabung ke dalam kerajaan Aceh Darussalam, di mana Islam dijadikan dasar negara. Klimaks dari pada keputusan rapat umum tersebut menyetujui bahwa Meurah Johan Syah dilantik menjadi Sultan Aceh Darusssalam pertama pada 22 April 1205, yang memerintah pada 1205-1234.

Dalam pidato mukaddimah berdirinya kerajaan Aceh Darussalam, Syeh Abdullah Kan’an menegaskan bahwa apabila Alquran dijadikan sebagai landasan hidup manusia dan menjadi pegangan utama dari pada kerajaan, maka kedamaian akan wujud di dunia, di mana keadilan, kebenaran, kasih sayang, persaudaraan, persamaan, kebebasan dan hak asasi manusia menjadi raja.


Sejak itu, Meurah Johan Syah bertekad bahwa kebenaran, keadilan, persaudaraan, persamaan, keikhlasan dan cinta kasih menjadi dasar negara dan siapa pun tidak boleh memperkosa dasar-dasar ini (Meurah Johan Raja Aceh Darussalam Pertama, 2004, Panitia Pekan Kebudayaan Aceh ke-IV, Kabupaten Aceh Tengah, hlm. 10). Syeh Abdullah Kan’an dilantik sebagai Mufti Besar Negara Aceh Darussalam.

Berangkat dari fakta sejarah inilah, sehigga tarikh 22 April, disahkan secara resmi sebagai hari jadi Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh-red). Biarlah fakta sejarah tersebut berdiri tegak, agar semua orang tahu manusia yang bagaimana sebenarnya Meurah Johan Syah, anak sulung Reje Linge itu. Muncul dan diterimanya Meurah Johan syah di tengah-tengah komunitas Aceh pesisir sebagai sultan (pemimpin Aceh) pada masa itu; karena ranking ketokohan, moralitas, ilmu pengetahuan agama, keberanian dan wibawa beliau berada di atas rata-rata figur pemimpian masyarakat Aceh pesisir.

Kini, zaman sudah bergulir dan berubah. Orang Gayo, tidak mampu lagi dan tidak punya nyali untuk bersaing menduduki posisi penting di jajaran pemerintahan daerah Aceh. Ini, bukan atas alasan bodoh atau karena markah masyarakat Aceh pesisir lebih tinggi, akan tetapi disebabkan oleh derajat moralitas, ilmu pengetahuan dan wibawa kedua-dua etnis ini dalam realitasnya ternyata setara dan sebangun.

* Yusra Habib Abdul Gani, Pemerhati Sejarah dan Budaya, kini tinggal di Provinsi Århus, Denmark. Email: yusrahabib21@hotmail.com

No comments: