Nyai Khoiriyah Hasyim: Ulama Perempuan yang Terlupakan

Nyai Khoiriyah Hasyim: Ulama Perempuan yang Terlupakan [1]
ilustrasi
Gerakan Muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan dalam koridor agama Islam. Bertujuan membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik generasi penerus

PENULISAN sejarah perempuan di Indonesia, khususnya Muslimah semakin marak. Berbagai tokoh, diulas dalam berbagai bentuk tulisan. Namun sayangnya, penulisan sejarah Muslimah di Indonesia seringkali disajikan dalam bingkai feminsme. Persoalan ini jelas meninggalkan masalah, karena seakan, perjuangan Muslimah di masa lampau dinaungi oleh semangat fenismee.[ Baca:  Early Feminist Consciousness and Idea Among Muslim Women in 1920s Indonesia, Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol. 3 No. 1 dan Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Kumpulan Makalah Seminar, Jakarta: INIS]

Pembahasan fenismee yang satu tarikan nafas dengan kesetaraan gender memang mengundang kontroversi dan penolakan, termasuk dari kalangan umat Islam itu sendiri.

Titik tolak yang bermasalah inilah yang seringkali menimbulkan kesimpulan yang bermasalah pula. Perjuangan Muslimah di masa lampu hendaknya tidak perlu kita kenakan kepada bingkai fenismee. Peninjauan yang adil, akan melihat bahwa perjuangan Muslimah di Indonesia pada masa lampau tidak berlandaskan pada semangat dan tujuan yang sama dengan gerakan atau pemikiran fenisme.

Pendidikan untuk perempuan (Muslimah) di Indonesia sendiri tak bisa dibatasi oleh pendidikan formal belaka. Islam mengajarkan bahwa baik laki-laki dan perempuan diwajibkan menuntut ilmu. Ada pun cara menuntut ilmu pada masa lampau bagi Muslimah di nusantara, tak harus di bawah naungan institusi pendidikan. Sebab pendidikan bagi Muslimah di masa lalu, seringkali dianggap tidak ada  karena dibatasi hanya pada pendidikan di institusi pendidikan belaka. Kita dapat menilai bahwa para pendidikan bagi Muslimah sejatinya dimulai dari lingkup keluarga, dan diberikan oleh orang tua atau kerabat keluarga mereka.

Contoh ini dapat terlihat misalnya seorang Muslimah pada abad ke 18-19, yaitu Raden Ayu Danukusuma. Putri dari Sultan Hemengkubwana I ini disebut memiliki kitab terjemahan berbahasa jawa al Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi karya Muhammad Fadlallah al-Burhanpuri.[ Carey, Peter. 1975. A Further Note on Professor Johns Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Leiden: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 131 No: 2/3]

Meski kala itu belum dikenal pesantren khusus perempuan, tetapi sosok Raden Ayu Danukusuma telah membaca sebuah kitab tasawuf yang cukup berbobot  tersebut. Kitab yang sempat menimbulkan polemik di nusantara ini bukan bacaan satu-satunya milik Raden Ayu Danukusuma.[ Fathurrahman, Oman. Sejarah Pengkafiran dan Marjinalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan Jawa. Analisis, Vol. 11, No. 2, Desember 2011]

Ia pun dicatat memiliki kitab Bustanus-Salatin. Raden Ayu Danukusuma yang hidup di kalangan bangsawan sekaligus dekat dengan kalangan santri membuatnya lebih mudah  untuk menimba ilmu tentang Islam. Kenyataan bahwa perempuan di masa itutelah dapat mengakses kitab-kitab yang beragam, membuktikan bahwa pendidikan telah dituai oleh Muslimah sejak masa lampau.

Contoh lain adalah hadirnya kitab fikih yang dikarang oleh seorang ulama perempuan di dunia melayu pada abad ke 19. Kitab itu ditulis oleh Fatimah, cucu dari ulama besar Kalimantan, Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjary. Fatimah yang lahir dari putri Syeikh Arsyad Al Banjary, yaitu Syarifah, yang menikah dengan ulama bernama Abdul Wahab Bugis. Kitab yang ditulis Fatimah adalah Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi tentang persoalan fikih seperti Sholat, puasa dan penyelenggaraan jenazah.[ Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS]

Kisah perjumpaan Kartini dengan Kiai Shaleh Darat, juga dapat memberikan petunjuk pada kita bahwa kehidupan Kartini, sebelum berjumpa dengan Kiai Shaleh Darat, awalnya adalah kehidupan yang justru terhalang dari cahaya Islam.[ Umam, Saiful. 2013. God’s Mercy is Not Limited To Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of Muhammad Saleh Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika Vol. 20 No. 2]

Kehidupan perempuan bangsawan Jawa yang terkurung oleh beragam aturan dan pemahaman, seperti ‘sowarga nunut, neraka katut’ (ke surge ikut, ke neraka terbawa, red) yang justru menghalanginya dari menerima cahaya Islam sejati.[ Kuntowijoyo. Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam Indonesia: Kemungkinan-kemungkinannya (makalah utama) dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS]

Kiai Saleh Darat membukakan mata hati dan pikiran Kartini akan kebenaran agama Islam yang tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Maka ketika memasuki abad ke 20, gerakan Islam di tanah air memperoleh momentumnya dengan membentuk perkumpulan-perkumpulan, termasuk perkumpulan bagi Muslimah pertama yaitu Aisyiyah dari Muhammadiyah.

Ketika arus utama penulisan sejarah gerakan perempuan (Muslimah) di Indonesia selalu diteropong dari kacamata fenismee, maka kita akan menemukan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi tersebut disebabkan lahirnya gerakan Muslimah di Indonesia, bukan berdiri diatas tujuan-tujuan ala fenismee semisal kesetaraan gender. Tetapi gerakan Muslimah tersebut lahir untuk memajukan perempuan dari keterbelakangan yang diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Malah gerakan-gerakan Muslimah tersebut tetap setia membela ajaran Islam yang kerap dipandang secara timpang oleh feminis, yaitu poligami.[ Ro’fah. 2000. A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998). Canada: Insititute of Islamic Studies, McGill University. Tesis tidak diterbitkan]

Contoh pembelaan kepada poligami oleh gerakan Muslimah, semisal Aisyiyah adalah sebuah contoh betapa gerakan Muslimah tidak berpijak kepada ide-ide fenismee, melainkan berpegang teguh kepada Islam. Pada 1920-an ketika poligami dicemooh oleh kalangan nasionalis sekuler, maka Aisyiyah melakukan pembelaan. Mereka tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak penghapusan pembolehan soal poligami dalam Islam.

Gerakan Muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan dalam koridor agama Islam. Mereka bertujuan untuk membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik generasi penerus. Menjadikan ibu sebagai posisi yang mulia. Bukan hendak menjungkirbalikkan institusi rumah tangga dengan jargon kesetaraan gender dan sebagainya. Jargon-jargon ini justru ditolak oleh organisasi perempuan semacam Aisyiyah dan JIBDA dalam koran Isteri di tahun 1929.

Pendidikan Islam maupun umum, ketrampilan, berwirausaha menjadi nafas gerakan perempuan yang senantiasa mengiringi langkah gerakan Muslimah pada saat itu. Maka selain Aisyiyah, kita juga mengenal Perempuan Sarekat Islam, Rahmah el-Yunisyiah dengan Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1923, Rohana Koeddoes dengan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan surat kabar Soenting Melajoe pada 1912.

Dunia pesantren sesungguhnya bukan dunia yang timpang kepada perempuan. Pendidikan kepada perempuan, bukan berarti tak hadir ketika pesantren khusus perempuan belum ada hingga akhir abad ke 19. Pendidikan kepada perempuan tetap diberikan oleh para Kiai-Kiai kepada keluarga mereka. Ketika pendidikan bersifat massal kepada perempuan muncul dalam lingkungan pesantren pun, hal itu lahir juga dari tangan para Kiai. Bukan karena campur tangan dari luar. Selain lahirnya pendidikan pesantren khusus perempuan, kita pun akan melihat lahirnya sosok ulama perempuan di dunia pesantren di Jawa. Ia adalah Nyai Khoiriyah Hasyim.


Beggy R Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Rep: Panji Islam

Editor: Cholis Akbar

No comments: