Sejarah Etnis Cina di Indonesia

14291024901286266541

Buku ini merupakan karya ong ho kham yang merupakan buku sejarah Cina. Tediri dari beberapa artikel yang banyak mengupas hal yang sama. Karena berbagai artikel yang terangkum dalam buku ini banyak mengupas hal yang sama, maka kita bisa mengingat beberapa hal penting mengenai sjarah etnis cina di Indonesia.
Saya masih menggunakan kata Cina ini sesuai dengan bukunya agar lebih jelas,toh sang penulis sendiri juga menggunakan kata Cina dan Tionghoa , terutama Cina walau beliau sendiri adalah orang Tionghoa. Kedatangan orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya datang sendiri sendiri, terkhusus di Jawa. Karena mereka datang secara individu atau kelompok kecil, maka mereka beadaptasi dengan budaya setempat, menikah dengan gadis gadis pribumi, sehingga masuk generasi ketiga, orang Tionghoa sudah sangat membaur dengan budaya local, entah bahasa, makanan, maupun pakaian. Sangat berbeda dengan kedatangan orang Tionghoa di Sumatra dan Kalimantan yang sifatnya seperti bedol desa pada masa belanda. Karena yang dibawa adalah satu komunitas besar, maka di tempat yang baru, mereka masih sangat mempertahankan tradisi leluhur. Khusus di Jawa, akibat system kawin campur maka muncul istilah peranakan dan totok atau singkeh. Peranakan merujuk pada orang Tionghoa yang sudah turun temurun lahir di Indonesia, sementara singkeh adalah orang yang baru datang dari Tiongkok.
Orang Tionghoa baru membawa wanita dari Tiongkok setelah akhir abad 19 akibat ditemukannya kapal uap. Istilah peranakan sendiri awalnya ditujukan kepada Orang Tionghoa yang beragama Muslim. Menjadi Muslim karena mereka menikah dengan wanita pribumi yang Muslim. Sisi kegamaan orang Tionghoa sangat berbeda dengan agama monotheisme semacam islam Kristen yahudi. Ong Ho Kham sendiri sukar untuk memberi definisi agama pada kepercayaan seperti Tao atau Konghuchu. Karena kepercayaan yang sifatnya lentur, maka tidak ada masalah bagi orang Tionghoa untuk memeluk agama islam seperti kebanyakan orang Jawa.
Sementara itu, sebelum tahun 1740, orang Tionghoa bebas kemanapun, namun setelah peristiwa geger pecinan yang terjadi di Batavia, maka dilakukan system wijkenstelsel dan passenstelsel. Sisem ini merupakan system pemukiman dimana orang orang Tionghoa harus tinggal dalam suatu kamung khusus orang tionghoa, dan mereka tidak sembarangan keluar dari kampung itu. Seandaianya bisa keluar dari kampung itu, mereka harus menggunakan surat pass jalan agar bisa leluasa keluar masuk kampung komunitas lain. Selain itu, untuk bisa membedakan orang Tionghoa dan pribumi, mereka dilarang menggunakan pakaian pribumi, mereka harus menggunakan pakaian yang bisa menjadi penanda mereka orang Tionghoa.
Saat terjadi pembantaian orang Tionghoa di Batavia, pejabat tinggi belanda sebenarnya sangat kuatir dengan reaksi Tiongkok. Namun dalam paham Kong hu chu, orang Tiongkok yang meninggalkan kampung leluhurnya untuk ekonomi dianggap sebagai penghianat. Mereka yang kembali ke Tiongkok untuk mengunjungi keluarganya akan ditangkap dan bisa dibunuh oleh tentara kerajaan. Dari sini bisa diambil keputusan bahwa kaisar Tiongkok saat itu tidak peduli dengan pembantaian 10 ribu orang Tionghoa di Batavia. Dinasti Mancu atau Ching baru menaruh perhatian pada orang Tionghoa perantauan kala mereka memang membutuhkan dana besar untuk pembangunan di negerinya, sehingga meminta bantuan pada orang Tionghoa perantauan dan itu baru terjadi pada awal abad 20, sementara kasus geger pecinan masih abad 18.
Jika ditanya siapa leluhur orang Tionghoa di Indonesia, maka yang dimaksud generasi pertama orang Tionghoa peranakan adalah orang yang pertama datang ke Nusantara, bukan leluhur yang langsung dari Tiongkok. Hal ini secara tidak langsung memutus hubungan dengan Tiongkok. Karena leluhur yang besar dan tinggal di Tiongkok tidak dianggap sebagai generasi pertama orang Tionghoa peranakan. Umumnya generasi pertama peranakan di Indonesia adalah pada abad 17 hingga 18, saat orang orang Tiongkok berduyun duyun mendatangi Batavia yang sangat membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Orang Tionghoa sangat dibutuhkan oleh orang Belanda karena kedudukannya sebagai pedagang perantara, terutama di pedalaman. Selain itu orang Tionghoa menjadi penyewa hak (pacht system) seperti hak monopoli candu, pajal gerbang tol dan juga rumah pegadaian. Hubungan antara orang Tionghoa dan pejabat menjadi sangat erat. Hal ini mengakibatkan orang Tionghoa peranakan banyak melakukan perkawinan politik dengan anak anak bupati agar bisa mendukung perekonomian mereka. Namun hubungan ini berakhir saat system pacht ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Akibat politik etis, maka orang Tionghoa menuntut untuk bisa leluasa keluar dari kampung kampungnya. Hal ini mengakibatkan mengalirnya modal keluar kampung pecinan sehingga oleh orang Belanda dianggap membahayakan perekonomian orang orang pribumi, dan kelak mengakibatkan munculnya Sarikat Dagang Islam (SDI) karena mulai resah dengan perkembangan pedagang Tionghoa. Selain itu, orang Tionghoa juga menuntut untuk diijinkan berpakaian seperti orang eropa. Pada masa sebelumnya, mereka tidak diijinkan, kalaupun diijinkan mereka harus meminta ijin pada pejabat tinggi Belanda. Suatu hal yang sangat merepotkan, Tapi hal ini dilakukan oleh konglomerat Semarang Oei Tiong Ham sehingga dia bisa berpakaian seperti orang barat.
Pada suatu masa terjadi kebangkitan Tiongkok sehingga orang Tionghoa mendirikan sekolah yang bernama Tiong hoa Hwee koan (THHK) yang mengajarkan Bahasa Mandarin dan Inggris. Kebangkitan orang peranakan membuat kuatir pemerintah Hindia bahwa mereka tidak akan loyal lagi terhadap Ratu Wilhemina sehingga belanda mendirikan sekolah Holand Chinese School (HCS) (maaf tidak hafal kepanjangannya dan buku sudah dikembalikan ke perpustakaan) dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda. Hal ini kelak baru disusul oleh kemunculan HIS untuk penduduk pribumi. Bisa diartikan penduduk pribumi tidak terlalu diperhatikan dibandingkan orang Tionghoa sendiri. Menurut penulis, pendirian THHK yang berbahasa inggris dan mandarin bukan karena faktor politik, tapi karena faktor ekonomi. Saat itu pemerintah Tiongkok menjanjikan untuk mengirim guru guru ke Hindia Belanda untuk mengajar THHK, sementara mengajar Bahasa Inggris karena biayanya lebih murah daripada pengajar Bahasa Belanda.
Hal ini bisa dimaklumi karena waktu itu THHK meminta subsidi dari pemerintah Belanda tapi tidak diberikan. Selain itu, Belanda sangat berbeda dengan penjajah penjahjah lain yang berusaha memaksakan bahasanya kepada daerah jajahan. Bagi mereka, merupakan suatu penghinaan apabila penduduk pribumi menggunakan bahasa mereka dalam percakapan sehari hari, sehingga Belanda tidak menaruh perhatian penting terhadap penggunaaan Bahasa Belanda Di Indonesia, hal yang kemudian mulai mengalami perubahaan di kala politik etis berlangsung dan mereka membutuhkan banyak tenaga kerja yang tidak bisa dipenuhi oleh penduduk eropa.
Di bagian akhir penulis menjelaskan tiga studi kasus keluarga terpandang di Hindia, yaitu keluarga Han , Tjoa dan The di Jawa Timur yang menjadi opsir peranakan di Sana. Pada masa dulu, kepala kampung kepala kampung Tionghoa diberi pangkat Mayor, sersan, kapitan seperti halnya dalam kemiliteran, tapi bukan berarti mereka adalah tentara, itu hanya suatu penamaan saja karena gelar yang ada memang gelar kemiliteran. Nah, cara pemilihan kepala kampung ini berdasarkan harta kekayaan, semakin kaya suatu keluarga, maka peluang untuk menjadi opsir Belanda juga sangat tinggi. Untuk menjaga agar kedudukan tinggi tersebut tetap dipegang oleh keluarga keluarga tertentu, maka diantara mereka terus dilakukan perkawinan politik. Orang luar yang ingin menjadi opsir atau berkedudukan tinggi status social, harus bisa menikah dengan salah satu keluarga tersebut. Kedudukan mereka sangat penting karena mereka menjadi perantara antara keputusan pemerintah Hindia dengan penduduk pecinan, selain itu mereka juga memiliki kedudkan penting bagi orang singkeh yang tidak bisa berbahasa local.
Itu saja hal hal yang bisa saya rangkum dari buku ini, buku ini yang jelas memberikan wawasan yang berarti bagi kita 

Johan A

No comments: