Wanita-wanita di Balik Layar Sejarah (2)

Buya Hamka dan Ummi Siti Raham
Buya Hamka dan Ummi Siti Raham
Oleh: Ridwan Hd.
AKMAL Nasery Basral dalam Presiden Prawiranegara mengisahkan dialog Lily bersama Aisyah ketika mereka di tinggal Sjafruddin yang sedang memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Saat berjualan sukun itu, ada protes dari Icah, panggilan Aisyah. “Kenapa kita tidak minta bantuan saja pada Presiden Om Karno dan Wakil Presiden Om Hatta serta Om Hengky (Sri Sultan Hamangku Buwono IX),” tanya Icah.
“Ayahmu sering mengatakan kepada ibu agar kita jangan bergantung pada orang lain, Icah. Kalau tidak penting sekali jangan pernah jangan pernah meminjam uang, jangan pernah berutang,” kata Lily.
“Tapi apa ibu tidak malu? Ayah orang hebat, keluarga ayah dan ibu juga orang-orang hebat,”, kata Icah.
“Iya, sayang. Ibu mengerti, tapi dengarkan ya. Yang membuat kita boleh malu adalah kalau kita melakukan hal-hal yang salah seperti mengambil milik orang lain yang bukan hak kita, atau mengambil uang negara. Itu pencuri namanya. Orang-orang mungkin tidak tahu, tapi Allah tahu,” kata Lily, memberi penjelasan pada anak sulungnya itu.
Ketika Sjafruddin terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, Lily dan anak-anaknya juga dibawa ke Sumatera. Mereka hidup berpindah-pindah sambil menemani sang suami berjuang melawan sikap Presiden Soekarno yang dianggap melanggar konstitusi oleh para pejuang PRRI/Permesta.
Setelah pemberontakan selesai. Sjafruddin dan sekeluarga kembali ke Jakarta. Namun, ini masih menjadi ujian bagi Lily. Sjafruddin menjadi tahanan politik Presiden Soekarno. “Sukar dilukiskan betapa sulitnya waktu itu buat Ibu Lily untuk mempertahankan hidup. Dengan menjual perhiasan yang ada menurut keperluan, dan kadang-kadang pemberian dari kerabat dan sahabat, ia berhasil menghidupi keluarga yang menjadi tanggungannya.” Tulis Ajip Rosyidi.
Soal istri yang berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, Ny. Soeharsikin istri Tjokroaminoto, juga tidak bisa dilewatkan. Keputusan Tjokro terlibat di Sarekat Islam membuatnya harus melepaskan pekerjaan dari sebuah perusahaan swasta. Kebutuhan hidupnya yang dibiayai dari para donatur Sarekat Islam kurang cukup memenuhi kehidupan keluarga. Ny. Soeharsikin memutuskan untuk membuka usaha kos-kosan di rumah yang mereka tinggali agar ada pemasukan.
“Semenjak itulah ia tidak lagi menggantungkan nafkah rumah tangga pada suaminya, tetapi membanting tulang sendiri, membuka internaat (kos-kosan), dan selaku induk-semang, tidak sedikit anak-anak keluaran ‘internaat-Soeharsikin’ ini yang menjadi pemimpin-pemimpin besar : Soekarno, Alimin, Moeso, Kartosuwiryo, Abikoesno, dan banyak lagi.” Tulis Amelz dalam HOS Tjokroaminoto Hidup dan Perdjuanganja.
Menyimak Grace Natalie, mantan pembawa berita TV One ini pernah berkomentar dalam akun twiternya, “Bukankah Rumah Gang 7 Peneleh tidak akan pernah menjadi kos-kosan kalau bukan karena inisiatif Suharsikin yang ingin membantu ekonomi keluarga?”
Komentar itu ia sampaikan saat mengkritik film Guru Bangsa Tjokroaminoto yang kurang menempatkan secara strategis peran Ny. Soeharsikin. “Memang Tjokro yang mengisi otak para pelajar yang kos di Peneleh. Tapi Suharsikin yang membesarkan jiwa mereka layaknya seorang ibu. Tjokro dan Suharsikin bagaikan satu tubuh dengan dua sayap. Tak mungkin terbang jika patah salah satunya.” komentarnya lanjut.
Perjuangan Ny. Soeharsikin membantu kebutuhan keluarga merupakan bentuk tanggung jawabnya atas kesetiaan pada suami. Meski ia anak seorang bangsawan yang mapan, ia rela ikut pergi dengan suaminya yang kala itu terjadi perselisihan dengan ayahnya yang seorang patih di Ngawi. Sikap Tjokro yang ‘berubah’ ingin melawan bentuk-bentuk feodalisme membuat ayah Soeharsikin berang. Disuruhlah mereka cerai. “Ayahanda, dahulu anakanda dikawinkan oleh ayah-bunda sedangkan anakanda pada waktu itu tidak kenal dengan Mas Tjokro, anakanda taati. Kini anakanda tetap taat. Kalau Ayah-bunda ceraikan anakanda dengan Mas Tjokro, baiklah. Tetapi seumur hidup anakanda tidak akan kawin lagi. Oleh karena dunia dan akhirat suami anakanda hanyalah Mas Tjokro semata.” Ucapnya seperti yang dituliskan Amelz. Lepas dari orang tua dan lingkungan keningratan, mereka menjalani hidup seadanyadi Surabaya.
Lain halnya dengan Cut Nyak Din. Tokoh pahlawan dari Aceh ini yang awalnya menjadi pendamping perjuangan sang suami akhirnya juga ikut menjadi aktor sejarah. Ia menikah dengan seorang bangsawan yang bernama Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Suaminya sangat aktif dalam membangun perjuangan rakyat Aceh di detik-detik akan terjadinya invansi Belanda. Senjata terangkat ketika Belanda di bawah pimpinan Jendral Kohler berhasil menguasai Masjid Baiturrahman pada April 1873. Tidak hanya menguasai, karena dikira sebagai benteng pertahanan, Masjid kebanggan rakyat Aceh itu ditembaki peluru api hingga terbakar.
M.H. Skelely Lulofs dalam Cut Nyak Dhien Kisah Ratu Perang Aceh menggambarkan bahwa mata Cut Nyak Dhien terbelalak melihat Masjid Raya Baiturrahman yang dibakar Belanda. Tinjunya mengepal dan mengacung ke arah kobaran api. “Wahai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu! Masjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala! Tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak kafir Belanda?” ucap Cut Nyak Din marah.
Marahnya reda ketika pasukan suaminya berhasil mengalahkan dan membunuh Jenderal Kohler beberapa hari kemudian. Invasi berikutnya di bawa pimpinan Jenderal van der Heyden tahun 1878 berhasil menguasai kantong-kantor pertahanan pasukan Aceh. Sang suami pun ikut terbunuh. Tapi semangat Din masih berkobar. Ia bersumpah akan terus memerangi Belanda. Maka, ia mencari suami pengganti Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang berani dan mampu memimpin ‘jihad’ untuk menghadapi pasukan kolonial. Takdir menemukan dirinya dengan sosok Teuku Umar, sepupunya sendiri. Din pun dipersunting Teuku Umar tahun 1880.
Februari 1899 Teuku Umar pun ‘syahid’ tertembus peluru saat memimpin peperangan di Meulaboh. Selanjutnya, tampuk pimpinan pasukan Aceh diambil oleh Din sendiri.
Lulofs juga menggambarkan bagaimana heroiknya Din setelah kematian Teuku Umar, “Di tempat itu arwah Umar akan menyertai kita! Dari sana jugalah kita akan memenuhi tugas-tugas kegerilyaan kita seperti yang biasa dilakukan oleh Umar. Kita akan memenuhi perintah Tuhan untuk memerangi orang kafir, Pang La’ot! Selama aku masih hidup kita masih memiliki kekuatan, perang geriliya ini akan kita teruskan! Demi Allah! Polim masih hidup! Bait hidup! Imam Longbata hidup! Sultan Daud hidup! Tuanku Hasyim hidup! Menantuku, Teuku Majet di Tiro masih hidup! Anakku Cut Gambang masih hidup! Ulama Tanah Abee hidup! Pang La’ot hidup! Kita semua masih hidup! Belum ada yang kalah! Umar memang telah Syahid! Marilah kita meneruskan pekerjaannya! Untuk Agama! Untuk kemerdekaan bangsa kita! Untuk Aceh! Allahu Akbar!”
Selama 6 tahun, Din berperang secara gerilya. Selama ini pula pihak Belanda kerepotan dan tidak pernah berhasil menguasai seluruh tanah rencong. Menjelang tahun ke 6 memimpim perang, kondisi fisik Din sudah semakin tidak sehat. Ia mengalami rabun pada matanya dan badannya yang sering mengidap encok. Tapi, apa yang dideritanya tak menyurutkan langkahnya untuk terus memimpin jihad menghadapi serbuan para imperialis.
Hingga tahun 1905, salah satu orang kepercayaannya berkhianat dengan Din. Tempat persembunyian dilaporkan ke pihak Belanda sehingga Din berhasil ditangkap. Sejak itu, untuk memutuskan hubungan antara Din dengan rakyat Aceh, pihak Belanda mengasingkannya ke daerah Sumedang, Jawa Barat, hingga wafat. []

No comments: