ASAL USUL KOTA MEULABOH


HM.Zainuddin mengatakan bahwa nama Kota Meulaboh berasal dari pemberian nama oleh Orang-orang Minang, Menurutnya, ketika Orang Minang itu sampai di Teluk Pasir Karam pendatang dari Minangkabau itu sepakat untuk berlabuh “Disikolah kito berlaboh,” kata mereka. Semenjak itulah Negeri Pasir Karam dikenal dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh.

Saya meragukan pernyataan tersebut, sebab Meulaboh memang sudah ada sejak abad ke XV sementara itu, para Datuk yang datang ke Meulaboh baru pada abad ke XVIII, ada jarak waktu yang sangat jauh disini. Menurut Saya, Kota Meulaboh itu berasal dari Bahasa Aceh yang umum dipakai di Orang Aceh yang berbahasa Aceh.

Kata Meulaboh berasal dari kata Laboh yang umum digunakan Orang di Aceh, menurut Kamus Aceh-Indonesia yang diterbitkan Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga Pengembangan dan Bahasa dan Kebudayaan Tahun 1985 yang disusun oleh Aboe Bakar dan Kawan-kawan mengatakan bahwa kata Laboh dalam bahasa Aceh artinya (verb) membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantung rendah: pat ji Laboh pukat? Di manakah mereka berpukat? pakon laboh that tangui ija? Taumanyang bacut! Mengapa Anda memakai kain rendah sekali. Tinggikanlah sedikit. bak jiplueng-plueng ka laboh di aneuk nyan, Ketika berlari-lari, jatuhlan anak itu. Meulaboh, teulaboh : dibuang, diturunkan; meulaboh, teulaboh saoh, Sauh sudah di buang; teungoh ji meulaboh mereka sedang berlabuh.

Penamaan Kota Meulaboh oleh Orang Minang itu perlu dipertanyakan lagi, dengan alasan lain diantaranya, kata Meulaboh, di Aceh Barat banyak, ada Babah Meulaboh, Tanjong Meulaboh, Meulaboh dua (ini malah di Nagan), Krueng Meulaboh, kata itu sama banyak dengan penggunaan kata Padang dalam Desa-desa di Aceh, ada Desa Kuta Padang, Padang Panyang, Padang Sikabu, ini bukan berarti nama itu diberi oleh Orang Padang atau Minang, Ini hampir sama jika Orang Minang mengatakan kalau Colorado diberi nama oleh Orang Padang, Color ado (Apa ada celana Color). Meulaboh, Padang itu ada dari Bahasa Aceh, Meulaboh berasal dari Kata Laboh, Padang berati luas2. Kota Meulaboh sudah ada sejak 402 tahun lalu masa Sultan Syaidil Mukamil, Perang Padri baru terjadi pada abad 18.

Kedatangan para Datuk itu benar adanya tetapi sebenarnya mereka itu orang Aceh dimasa Sultan Iskandar Muda saat Aceh menguasai Sumatera Barat dan para petinggi Aceh di ranah Minang itu, menjadi pemangku adat dan pemerintahan. Peran mereka ini tereduksi karena adanya reformasi yang dilakukan kaum ulama yang terpengaruh dengan paham Wahabi di Arab Saudi.

Kaum Paderi membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan si Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena terdesak oleh kaum ulama, para datuk itu ingin pulang kampung dan sebagian lagi tidak.

Para Datuk dan romobongannya itu, hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, kemudian pindah kearah Woyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Menurut H.M Zainuddin, ketiga Datuk utama tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yan dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Lila Perkasa. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teuku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh, keturunan dari Teuku Tjut Din ini adalah Haji Teuku Alaidinsyah atau H. Tito dan saya sendiri. Kemudian Meulaboh masuk dalam Federasi Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am, yang diketuai oleh Ule Balang Ujong Kalak.

 
Masa kesultanan Aceh

Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke-16 atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588-1604), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun 1607-1636) dengan mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.

Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke-15 telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.

Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad ke-17 telah berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu : Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon; Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang; Leukon; Sigulai.
  Silsilah Raja Meulaboh

Raja-raja yang pernah bertahta di kehulu-balangan Kaway XVI hanya dapat dilacak dari T. Tjik Pho Rahman, yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama T.Tjik Masaid, yang kemudian diganti oleh anaknya lagi yang bernama T.Tjik Ali dan digantikan anaknya oleh T.Tjik Abah (sementara) dan kemudian diganti oleh T.Tjik Manso yang memiliki tiga orang anak yang tertua menjadi Raja Meulaboh bernama T.Tjik Raja Nagor yang pada tahun 1913 meninggal dunia karena diracun, dan kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Teuku Tjik Ali Akbar, sementara anak T.Tjik Raja Nagor yang bernama Teuku Raja Neh, masih kecil.

Saat Teuku Raja Neh (ayah dari H.T.Rosman. mantan Bupati Aceh Barat) anak dari Teuku Tjik Raja Nagor besar ia menuntut agar kerajaan dikembalikan kepadanya, namun T.Tjik Ali Akbar yang dekat dengan Belanda malah mengfitnah Teuku Raja Neh sakit gila, sehingga menyebabkan T Raja Neh dibuang ke Sabang.

Pada tahun 1942 saat Jepang masuk ke Meulaboh, T.Tjik Ali Akbar dibunuh oleh Jepang bersama dengan Teuku Ben dan pada tahun 1978, mayatnya baru ditemukan di bekas Tangsi Belanda atau sekarang di Asrama tentara Desa Suak Indrapuri, kemudian Meulaboh diperintah para Wedana dan para Bupati dan kemudian pecah menjadi Aceh Selatan, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Jaya. (teuku dadek)

Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).
Penjajahan Belanda

Aceh Barat sangat berkaitan dengan sejarah Meulaboh Meulaboh, Ibukota Kabupaten Aceh Barat yang terdiri dari Kecamatan Johan Pahlawan, sebagian Kaway XVI dan sebagian Kecamatan Meureubo adalah salah satu Kota yang paling tua di belahan Aceh bagian Barat dan Selatan. Menurut HM.Zainuddin dalam Bukunya Tarih Atjeh dan Nusantara, Meulaboh dulu dikenal sebagai Negeri Pasir Karam. Nama tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan sejarah terjadinya tsunami di Kota Meulaboh pada masa lalu, yang pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi kembali. Meulaboh sudah berumur 402 tahun terhitung dari saat naik tahtanya Sultan Saidil Mukamil (1588-1604), catatan sejarah menunjukan bahwa Meulaboh sudah ada sejak Sultan tersebut berkuasa.

Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), demikian HM.Zainuddin negeri itu ditambah pembangunannya. Di Meulaboh waktu itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada. Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar.
  Karesidenan Aceh

Seluruh wilayah Keresidenan Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh Barat) merupakan suatu daerah administratif yang meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling, yaitu :

1. Meulaboh dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu'am, Beutong, Tungkop dan Pameue;
2. Tjalang dengan ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang, Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek, Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom;
3. Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan;
4. Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai;
5. Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan;
6. Singkil dengan ibukota Singkil.

Penjajahan Jepang

Di zaman penjajahan Jepang (1942 - 1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang, seperti Afdeeling menjadi Bunsyu yang dikepalai oleh Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai oleh Soncho.
 

Masa kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.
   

Pemekaran 1996

Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.
Pemekaran 2000

Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.
Pemekaran 2002

Selanjutnya pada tahun 2002 Kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun 2002
Pemerintahan

Kabupaten ini dipimpin oleh seorang Bupati yang terpilih dalam setiap Pilkada.
Bupati

* 28 Agustus 2004 - 23 Maret 2006 Ir. Nasrudin dilantik oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Dr. Ir. Mustafa Abubakar.
* 23 Maret 2006 - 2006 Sofyanis (Pj)
* Agustus 2006 - Maret 2007 H.T. Alamsyah Banta (Pj)
* Maret 2007 - sekarang Ramli MS dan Fuadri, S.Si sebagai Bupati/Wakil Bupati hasil Pilkada terakhir.

Program Strategis Pembangunan Daerah

Pembangunan Kabupaten Aceh Barat mencakup semua kegiatan pembangunan daerah dan sektoral yang dikelola oleh pemerintah bersama masyarakat.

Titik berat pembangunan diletakan pada bidang ekonomi kerakyatan melalui peningkatan dan perluasan pertanian dalam arti luas sebagai pengerak utama pembangunan yang saling terkait secara terpadu dengan bidang-bidang pembangunan lainnya dalam suatu kebijakan pembangunan. maka ditetapkan prioritas pembangunan sebagai berikut :

1. Meningkatkan pelaksanaan Syariat Islam, peran ulama dan adat istiadat.
2. Peningkatan Sumber Daya Manusia.
3. Pemberdayaan ekonomi masyarakat.
4. Meningkatakan aksesibilitas daerah.
5. Meningkatkan pendapatan daerah.

  Lambang

Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Aceh Barat No. 12 Tahun 1976 Tanggal 26 Nopember 1976 tentang Lambang Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Barat dan telah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor Pem./10/32/46-263 Tanggal 17 Mei 1976 serta telah diundangkan dalam Lembaran Daerah Tingkat II Aceh Barat Nomor 10 Tahun 1980 Tanggal 3 Januari 1980.

Lambang Kabupaten Aceh Barat mempunyai perisai berbentuk kubah mesjid yang berisi lukisan lukisan dengan bentuk, warna dan perbandingan ukuran tertentu dan mempunyai maksud serta makna sebagai berikut:

* Perisai berbentuk kubah mesjid, melambangkan ketahanan Nasional dan kerukunan yang dijiwai oleh semangat keagamaan;
* Bintang persegi lima, melambangkan falsafah negara, Pancasila;
* Kupiah Meukeutop, melambangkan kepemimpinan;
* Dua tangkai kiri kanan yang mengapit Kupiah Meukeutop terdiri dari kapas, padi, kelapa dan cengkeh, melambangkan kesuburan dan kemakmuran daerah;
* Rencong, melambangkan jiwa patriotik/kepahlawanan rakyat;
* Kitab dan Kalam, melambangkan ilmu pengetahuan dan peradaban;
* Tulisan "Aceh Barat" mengandung arti bahwa semua unsur tersebut diatas terdapat di dalam Kabupaten Aceh Barat.

Lambang Daerah ini digunakan sebagai merek bagi perkantoran pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan ;

* Sebagai petanda batas wilayah Kabupaten Aceh Barat dengan Kabupaten lainnya.
* Sebagai cap atau stempel jabatan dinas.
* Sebagai lencana yang digunakan oleh pegawai pemerintah Kabupaten Aceh Barat yang sedang menjalankan tugasnya.
* Sebagai panji atau bendera digunakan oleh suatu rombongan yang mewakili atau atas nama pemerintah Kabupaten Aceh Baratdan dapat dipergunakan pada tempat tempat upacara resmi, pintu gerbang dan lain sebagainya.

Lambang Daerah Kabupaten Aceh Barat ini dilarang digunakan apabila bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 1976 dan barang siapa yang melanggarnya dapat dikenakan hukuman selama-lamanya 1 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.- (sepuluh ribu rupiah).
Kecamatan
 Antara tahun 2000 s.d. 2003

Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 2000 - 2003 terbagi menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

1. Aceh Barat dengan ibu kota Meulaboh
2. Aceh Jaya dengan ibu kota Calang
3. Nagan Raya dengan ibu kota Sukamakmue
4. Simeulue dengan ibu kota Sinabang

 Sejak pemekaran 2003

Semenjak pemekaran wilayah, Kabupaten Aceh Barat berkurang lebih dari separuh wilayahnya dan kecamatan yang tersisa adalah sebagai berikut:

* Arongan Lambalek mempunyai Luas 130,06 Km2 (4,44% luas Kab Aceh Barat) (27 desa/kelurahan)
* Bubon Luas 129,58 Km2 (4,43% luas Kab Aceh Barat (17 desa/kelurahan)
* Johan Pahlawan Luas 44,91 Km2 (1,53% luas Kab. Aceh Barat (21 desa/kelurahan)
* Kaway XVI Luas 510,18 Km2 (62 desa/kelurahan)
* Meureubo luas 112,87 Km2 (26 desa/kelurahan)
* Pante Ceureumen Luas 490,25 Km2 (25 desa/kelurahan)
* Panton Reu Luas 83,04 Km2 (19 desa/kelurahan)
* Samatiga luas 140,69 Km2 (32 desa/kelurahan)
* Sungai Mas luas 781,73 Km2 (18 desa/kelurahan)
* Woyla (43 desa/kelurahan)
* Woyla Barat Luas 123 Km2 (24 desa/kelurahan)
* Woyla Timur luas 132 Km2 (26 desa/kelurahan)

Geografi   Sebelum pemekaran

Sebelum pemekaran, Kabupaten Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km² atau 1.010.466 hektare dan secara astronomi terletak pada 2°00'-5°16' Lintang Utara dan 95°10' Bujur Timur dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatera yang membentang dari barat ke timur mulai dari kaki Gunung Geurutee (perbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar) sampai kesisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis pantai sejauh 250 Km.

Sesudah pemekaran

Sesudah pemekaran letak geografis Kabupaten Aceh Barat secara astronomi terletak pada 04°61'-04°47' Lintang Utara dan 95°00'- 86°30' Bujur Timur dengan luas wilayah 2.927,95 km² dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Pidie
Selatan Samudra Indonesia dan Kabupaten Nagan Raya
Barat Samudera Indonesia
Timur Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Nagan Raya  (**)

No comments: