Bantahan atas Tulisan Holikin Ismail

Mula-mula, kalau kita mau memahami konteks tulisan dimaksud lebih jauh, bisa diketahui tulisan tersebut dibuat sebagai bentuk penolakan atas (menurut penulisnya) kesimpulan banyak orang yang mengatakan bahwa masyarakat pulau Mandangin berasal dari orang-orang buangan kerajaan yang memiliki penyakit kulit (lepra).

Melalui tulisan tersebut, Likin Kemudian mengklasifikasi asal muasal penduduk Mandangin berdasarkan cerita tutur masyarakat setempat. Melalui cerita tutur tersebut ia kemudian berkesimpulan bahwa orang Mandangin tidak berasal dari buangan para penderita Lepra, melainkan berasal dari; para pertapa, berasal dari narapidana yang dibuang oleh raja, berasal dari para saudagar, berasal dari pengembara atau (dan?) pemburu hewan liar, berasal dari pelaut tanah jawa dan berasal dari tahanan belanda yang lari.

Sayangnya, cerita tutur tersebut tidak dilengkapi oleh referensi sejarah yang kuat. Seolah-olah cerita tutur masyarakat setempat tersebut merupakan satu-satunya kebenaran mutlak yang tak bisa dibantah dan harus menjadi rujukan utama. Apa jaminan bahwa pencerita yang dikutip Likin bisa dipegang kejujurannya? Bahkan kalaupun benar apa yang ditulis Likin tentang sejarah singkat kampungnya, pertanyaan yang pantas diajukan adalah referensi tertulis apa yang Likin punya, untuk menguatkan kesimpulan tulisannya? Pembaca menanti, agar tidak menganggapnya sebagai tukang ngarang cerita. Nyatanya hingga tulisannya berakhir, tak satupun ada referensi sebagai fondasi dari tulisan dia.

Berikutnya, selain hendak menepis ‘anggapan’ orang bahwa pulau Mandangin bukanlah pulau buangan orang Lepra, melalui tulisan tersebut Likin juga hendak menyanggah tulisan soal Mandangin yang hanya berdasar “rekayasa ilmiah”, yang menurut Likin kebenarannya diragukan. Bahkan kalaupun terdapat kebenaran dalam tulisan penuh “rekayasa ilmiah” itu, kebenarannya hanya sekitar 2 persen saja. Sisanya, 98 persen, hanyalah kebohongan. Pertanyaan yang pantas diajukan dari sesat pikir yang demikian itu adalah manakah tulisan sejarah yang menurut Likin merupakan ‘rekayasa ilmiah’ tentang pulau Mandangin sehingga Likin perlu menulis sejarah singkat tentang pulau Mandangin? Bisakah ditunjukkan kesalahan 98% yang dimaksud Likin dalam tulisan tentang pulau Mandangin yang mengandung “rekayasa ilmiah” itu? Sayangnya hingga tulisannya berakhir pertanyaan yang saya ajukan tak juga terjawab. Dan saya patut menduga Likin hanya mengarang cerita.

Menggali sejarah bukan pekerjaan mudah. Kadang tak bisa diselesaikan dalam sehari dua hari. Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang berlapis-lapis. Alat paculnya juga tidak hanya satu atau dua, selain juga harus tajam dan kuat. Katakanlah pekerjaan ini membutuhkan alat sosiologi, antropologi, arkeologi, bahasa atau disiplin ilmu lainnya. Ilmu-ilmu itu dipecah agar fokus pada bidang penelitiannya. Kurang elok rasanya, bila seseorang yang ahli sosiologi, misalnya, mengklaim kesimpulan hasil berpikirnya berdiri di ranah antropologi, jika dia hanya menguasai satu bidang itu saja. Apalagi seseorang bukan sejarawan tiba-tiba menyalahkan tulisan yang bersandar pada fakta sejarah, lalu dia membikin-bikin cerita seolah-olah sejarah, nyatanya cuma karangan jika diuji secara metodik.

Kalau boleh saya menggunakan cara berpikir Likin yang penuh fallacy itu, maka tidak juga keliru jika saya menyimpulkan orang Mandangin juga berasal dari pengungsi Birma yang terdesak oleh Mongol. Mereka berlayar hingga asia tenggara, tidak menutup kemungkinan sampai ke pulau Mandangin, Madura, yang konon pulau ini berlokasi strategis dan penting. Sayangnya saya tak bisa membuktikan hal itu.

Begitu juga cara Likin menampik kenyataan sejarah tertulis yang mengatakan pulau Mandangin pernah menjadi tempat isolasi orang-orang yang terkena Lepra tanpa referensi yang jelas. Sebab faktanya, dokumen-dokumen sejarah berkata berbeda dengan cerita karangan Likin tentang Mandangin.

Bermula pada Oktober 1897. Pada penyelenggaraan Konferensi Lepra Pertama di Berlin, Jerman, sebagaimana ditulis Bombay Gazette, 8 November 1897, Hansen (Gerhard Henrik Armauer Hansen, penemu bakteri Lepra pertamakali) mengusulkan agar negara-negara lain mengadopsi strategi Norwegia yang memberlakukan undang-undang untuk memaksa pasien lepra hidup terpisah dari masyarakat. Menurutnya, keberhasilan Norwegia mengisolasi pasien lepra akan membawa Norwegia “bersih” dari lepra. Keberhasilan ini, jika diterapkan oleh negara-negara lain, akan menghapus penyakit lepra dari dunia, demikian Hansen menguraikan pendapatnya yang disambut tepuktangan peserta pertemuan. (Renata, dalam Historia: dilema dan isolasi)

“Mereka yang sakit wajib untuk tidak menulari yang sehat” jawab Hansen di tengah kritik atas keputusannya. Namun meski terus mendapatkan kritik hasil konferensi Lepra pertama itu menyetujui usulan Hansen. Sejak itulah kemudian negara-negara peserta konferensi gencar mendirikan institusi untuk mengisolasi pasien lepra atau leprosarium. Juga mulai menggunakan pulau-pulau lepas pantai sebagai tempat karantina agar bakteri Lepra tak terus mengular dan menebarkan kematian. Di Batavia misalnya, Belanda menggunakan pulau Cipir dan Pulau Bidadari, dua pulau yang masuk dalam gugusan pulau seribu, sebagai tempat isolasi Lepra. Bahkan jauh sebelum konferensi Lepra pertama diumumkan, di tahun 1665, VOC mendirikan secara resmi Leprosarium di kepulauan Seribu, sebagai tempat penampungan penderita lepra Makanya Pulau Bidadari juga dikenal sebagai pulau sakit.

Jawa dan Madura sebagai bagian dari negeri jajahan VOC dan Belanda tak luput dari kebijakan tersebut. Pada jaman penjajahan VOC hingga Belanda, didirikan semacam tempat penampungan di daerah-daerah endemi lepra.. Setelah keputusan konferensi Lepra pertama VOC makin menggiatkan kerja isolasinya. Di Madura sendiri yang termaktup dalam Staatsblad Van Nederlandsch indie 1937 No 692 dikatakan bahwa pada tahun 1937 dibentuklah Dana Kesejahteraan Madura oleh Ratu Wilhelmina yang mana pembiayaan ini dimaksudkan untuk kemajuan kesejahteraan masyarakat di Madura. Melalui dana itu dibangun tempat-tempat isolasi bagi penderita Lepra. Ada ratusan titik tempat isolasi yang tersebar di seluruh Madura. Belanda menyebutnya Leprozerieen.

Sebagaimana umumnya negara-negara lain yang menggunakan pulau-pulau terluar di wilayahnya untuk tempat isolasi penderita lepra, tentu tidak menutup kemungkinan pulau Mandangin juga dijadikan tempat serupa sebagaimana Belanda menjadikan pulau Cipir dan Pulau Bidadari. Hal ini bisa dilihat bagaimana antropolog Roy E Jordaan dalam tulisan mitologinya berjudul The Myth of Nyai Lara Kidul, Goddes of Southern Ocean yang menyebutkan bahwa Ragatpami, dewi mitos dalam cerita Madura juga pernah dibuang di Mandangin karena menderita Lepra hingga meninggal dan dikuburkan di pulau lepas pantai bagian selatan selat Madura itu. Sebagai tulisan Antropologis, karya Jordaan tentu punya makna ganda. Di sisi pemerintah kolonial, ia seakan hendak membenarkan pembuatan pulau isolasi bagi penderita Lepra di Madura. Di sisi Masyarakat, ia hendak meredam gejolak masyarakat agar tak menolak kebijakan tersebut lewat pembenaran mitologi atas Ragapatmi.

Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang saya telusuri, susah untuk menerima pendapat Likin bahwa Mandangin bukanlah tempat buangan bagi orang-orang penderita Lepra. Sebab data sejarah menunjukkan hal yang berbeda.

Hal ganjil dari tulisan Likin berikutnya adalah ketika ia mengatakan bahwa nenek moyangnya berasal dari pelarian tahanan Belanda. Klaim tersebut coba ia kuatkan dengan ‘memotret’ kebiasaan masyarakat Mandangin meneriakkan yel-yel “Ollopes Kuntul Baro” yang dalam bahasa Belanda diartikan “Ayo tarik bersama-sama”.

Pertanyaannya, pernahkah Likin memeriksa betul makna tersebut dalam bahasa Belanda? Benarkah dari bahasa Belanda? Bukan hanya mengandalkan pemahaman tetua Mandangin, yang barangkali kemampuan bahasa Belandanya tidak begitu kuat. Mengapa Likin tidak menelusuri siapa itu Don Lopez Comte De Paris, seorang pengawal Gubenrnur Daendles yang berperawakan kekar, berasal dari Spanyol bergelar bangsawan Prancis, yang oleh masyarakat bawah masa itu (terutama pekerja rodi), namanya dijadikan semacam “kekuatan” untuk dapat mengangkat barang-barang besar (Munsyi, 2003:67). Hal itu bisa Likin lakukan, bila sekedar ingin menemukan asal muasal Ollopes Kuntul Baro itu.

Selanjutnya, dengan serampangan, Likin juga menyimpulkan asal muasal nama Mandangin, tanpa sedikitpun menyertakan referensinya. Di tulisan Likin disebutkan penyebutan Pulau Mandangin baru dikenal setelah era 80-an, dari yang sebelumnya dikenal bernama Pulau Kambing. Terlihat Likin tak mau membaca lebih dalam, atau mungkin karena malas saya tak paham.

Padahal dari beberapa sumber, saya menemukan kata Mandangin sudah digunakan bahkan pada tahun 1932. Jauh sebelum Likin lahir. Misalnya, dalam tulisan TH Pigeud, Bangsatjara en Ragapadmi, een Verhal van Madoera, 1932. Dari sini saya berani berasumsi bahwa Likin tidak berdasar, lemah pikir. Mengatasi hal sederhana dan gampang saja Likin belepotan, bagaimana mau membantah tulisan orang yang memiliki referensi bertumpuk-tumpuk

Jika Likin menganggap tidak masalah penyebutan Pulau Kambing sebelum (menurutnya) berganti menjadi Pulau Mandangin, mengapa Likin begitu alergi mendengar istilah Pulau Lepra, yang istilah seperti itu pernah ada jauh sebelum Likin lahir? Dalam istilah asing sudah ditulis Leper Colony, Leper Asylum, bahkan A Leper Island, menjadi judul sebuah tulisan di New Zealand Herald, 12 Oct. 1901, untuk menceritakan keberadaan koloni lepra di Pulau Molokai, Kepulauan New Zealand. Artinya istilah tersebut digunakan untuk menyatakan bahwa di pulau tersebut terdapat tempat pengendalian penyakit lepra. Bukan untuk menyamakan manusia dengan kambing, Pulau Mandangin juga dikenal dengan sebutan Pulau Kambing, justru karena konon di pulau tersebut banyak kambing berkeliaran.

Terakhir, saran saya, lain kali jika Likin ingin memberikan pemikirannya buat Mandangin atau bangsanya, coba bergerak dari pandangan R.E Jordaan yang mengutip tentang legenda Ragapadmi, mitos permaisuri raja yang terkena penyakit lepra lalu meninggal dan dikubur di Pulau Mandangin. Sepintas Jordaan mengatakan bahwa pulau yang berada di selatan Madura ini adalah tempat yang penting. Catat: Pulau yang penting. Itu bisa Likin lihat dalam tulisannya The Myth of Nyai Lara Kidul, Goddes of Southern Ocean, hal. 101. Sehingga apa yang Likin lakukan tidak sia-sia belaka, seperti kata orang Madura “menggarami lautan.”

DAFTAR PUSTAKA

- Bastian, Agung, Study Kasus Kusta. http://www.academia.edu/5367144/Study_kasus_kusta

- Christopher Parnell (Story), 2002. http://www.christophervvparnell.com

- Direktorat Jenderal PP & PL, DEPKES RI (Web) http://pppl.depkes.go.id/berita?id=1250

- Direktorat Jenderal PP & PL, DEPKES RI, 2007. http://www.slideshare.net/budi_hermawan_a/sejarah-pemberantasan-penyakit
- Ismail, Holikin. “Sejarah Singkat Pulau Mandangin Sampang Madura” , 01 Maret 2015
- Jordaan, Roy E. The Myth of Nyai Lara Kidul, Goddes of Southern Ocean, hal. 101 http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_0044-8613_1984_num_28_1_1921
- Munsyi, Alif Danya. 9 dari 10 kata Bahasa Indonesia adalah Asing, KPG 2003. hal.67
- Rahmawati, Suci. 2014. Penyakit Kusta di Bangkalan Tahun 1934-1939. http://www.scribd.com/doc/197573207/PENYAKIT-KUSTA-DI-BANGKALAN-TAHUN-1934-1939#scribd
- Renata, Mira, Dilema dan Isolasi. Lepra (2). http://historia.id/sains-teknologi/dilema-dan-isolasi
- The New Zealand Herald, 1901. A Leper Island – More Work for Health Department. http://paperspast.natlib.govt.nz/cgi-bin/paperspast?a=d&d=NZH19011012.2.38
- TH Pigeud, Bangsatjara en Ragapadmi, een Verhal van Madoera, 1932. http://colonial.library.leiden.edu

No comments: