Ungkap R.K.H. Abdullah Bin Nuh Pelaku Sejarah, Ulama, Dosen dan Sejarawan

unta
RADEN Kiai Haji Abdullah bin Nuh, pembina Majlis Al Ghozali, Bogor, tidak hanya sosok ulama yang menguasai kitab kuning semata. Melainkan juga sebagai pelaku sejarah sekaligus juga sebagai sejarawan yang mampu menuliskan Sejarah sebagai Ilmu – History as Written. Analisisnya bertolak dari fakta dan data yang diangkat dari referensi buku-buku yang didalamnya membahas Sejarah sebagai peristiwa – History as Actually Happened. Terlalu langka untuk kita jumpai perpaduan dua kemampuan yang dimiliki oleh seorang Ulama dan pembina pesantren, sekaligus sebagai sejarawan yang mampu memberikan koreksi terhadap kesalahan penulisan Sejarah Islam Indonesia dalam penulisan Sejarah Indonesia.(hal i)
Adalah wajar jika seorang Ulama mampu menuliskan Islam sebagai ajaran. Seperti masalah Fiqih atau Tauhid. Namun, untuk menuliskan Sejarah Islam di Jawa Barat hingga Zaman Keemasan Banten, dan memberikan koreksi kesalahan penafsiran atau interpretasi penulisan Sejarah Masuknya Agama Islam Ke Indonesia yang telah dituliskan oleh para penulis terdahulu, sangat langka. Ternyata R.K.H. Abdullah bin Nuh memiliki kemampuan dan perhatiannya terhadap penulisan ulang – reinterpretation and rewrite, Sejarah Islam Indonesia sama seperti Haji Agus Salim, Prof.Dr. Buya Hamka, Osman Raliby, dan Prof.Dr. Abubakar Atjeh. (hal i)
Lahir di Cianjur, tepatnya di Kampung Bojong Meron pada tahun 1324 H. atau lengkapnya tanggal 30 Juni 1905 M. Ayahnya Rd Mohamad Nuh bin Idris lahir tahun 1879. Dikenal sebagai pendiri Madrasah Al I’anah Cianjur dan murid utama KH Muhtar seorang guru besar di Masjidil Harom Makkah. Rd Mohamad Nuh bin Idris Wafat tahun 1966. Sedangkan Ibunya bernama Raden Aisyah binti Rd. Muhammad Sumintapura adalah seorang Wedana di Tasikmalaya di Zaman colonial Belanda.
Sekembalinya dari Mesir Tahun 1927. KH Abdullah bin Nuh memulai karirnya sebagai Kyai dengan mengajarkan agama Islam. Diawali dari Cianjur dan Bogor, Pernah tinggal di Ciwaringin kaum dan di Gang Kepatihan
Selama di Bogor beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh mama Ajengan Rd Haji Mansyur dan juga mengajar para Mu’alim yang berada disekitar Bogor. Satu tahun tinggal di Bogor, pindah ke Semarang, disana hanya dua bulan kemudian kembali lagi ke Bogor, untuk melanjutkan perjalanannya ke Cianjur.Disana menjadi guru bantu di Madrasah Al I’anah.
Tahun 1930, untuk yang kedua kalinya KH Abdullah bin Nuh kembali ke Bogor dan tinggal di Panaragan, pekerjaan beliau adalah mengajar para Kyai dan menjadi korektor Percetakan IHTIAR (inventaris S.I). selama 4
tahun bermukim di Bogor. KH. Abdullah bin Nuh bersama Mama Ajengan Rd. H Mansur, mendirikan Madrasah PSA (Penolong Sekolah Agama) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada disekitar Bogor, ketuanya adalah Mama Ajengan Rd. H Mansur, sedangkan KH Abdullah bin Nuh terpilih sebagai Ketua Dewan Guru atau Direktur..
Terpicu oleh peristiwa menggetarkan dan membuat marah kalangan Alim Ulama itu. Menjelang akhir tahun 1943. KH Abdullah bin Nuh terjun dikalangan militer, bergabung dengan Pembela Tanah Air PETA dengan pangkat DAIDANCO. Banyak hal-hal mengerikan yang saat itu dapat disaksikan. Bangsa Indonesia terus dibenturkan pada cobaan demi cobaan.
Pemberontakan arek Suroboyo yang terjadi pada tanggal 19 september menjadi awal langkah yang menyulut semangat kepahlawan diseluruh tanah air. Sejalan dengan itu perjuangan KH Abdullah bin Nuh selaku pemimpin Hizbullah dan BKR atau TKR dikota Cianjur terus berlanjut hingga memasuki pertengahaan tahun 1945.
Semangat KH Abdullah bin Nuh dalam upaya menghidupkan pendidikan agama islam di era revolusi, terus berlanjut, Setelah melalui masa-masa sulit dari sebab pasang surutnya gelombang perjuangan, pada tahun 1950, pindah ke Jakarta. Di Jakarta mengadakan Lembaga Penyelidikan Islam yang berkantor dijalan Blora dengan beberapa sahabatnya, para Kyai-Kyai dan Habaib di Jakarta, selain itu pun beliau ikut mengajar di Masjid mataram dan kebayoran baru. Selama lebih kurang 20 tahun, KH Abdullah bin Nuh memilih Ibukota Jakarta sebagai tempat pengabdianya.
Tanpa pamrih beliau banyak mengajar ngaji para asatidz (Mu’alimin), memimpin majlis-majlis ta’lim, menjabat selaku kepala seksi bahasa Arab pada studio RRI Pusat dan aktif dalam kantor berita APB (Arabian Press Boar). Serta pernah pula menjadi dosen UI bagian sastra Arab, menjadi pemimpin Majalah Pembina dan ketua lembaga penyelidikan Islam. Kifrahnya tidak terbatas hanya diwilayah Jakarta saja, karena pada tahun 1959 sebelum kepindahan ke Bogor, Beliau telah aktif memimpin beberapa pengajian yang ada di kota Bogor, diantaranya. Majlis Ta’lim Sukaraja, Majlis Ta’lim Babakan Sirna, Majlis Ta’lim gang Ardio dan Majlis Ta’lim Kebon Kopi.
Sekembalinya dari Makkah, kondisi dan kesehatannya semakin menurun, apa lagi setelah anak yang dibanggakannya Dr Aminah meninggal setahun sebelumnya. Beliau kerap berkata sendirian ” Mien..bukan mama tidak ridho, tetapi mama ingat saja”. Ternyata itu adalah merupakan isyarat untuk keluarganya, karena tidak berselang lama Abdullah bin Nuh mangkat menyusul anak tercintanya.
Sumber: Api Sejarah/Karya: Ahmad Mansur Suryanegara/Penerbit: Salamadani Pustaka Semesta

No comments: