Salahuddin Al-Ayyubi Macan Perang Salib

SALAHUDDIN Yusuf bin Najmuddin Ayyub bin Syadi atau yang lebih dikenal dengan Salamuddin al-Ayyubi, berasal dari suku Kurdi. Ia lahir pada 532 Hijriyah atau 1138 Masehi di kota Tikrit, Irak. Ia melengkapi orang-orang besar dalam sejarah Islam dari kalangan ‘ajam (bukan berasal dari bangsa Arab), seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, dan lain-lain.

Dari Tikrit --kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul-- sang ayah, Najmuddin Ayyub memboyong Salahuddin ke Mosul. Di lingkungan barunya dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai jihad. Di tempat ini juga Shalahuddin kecil mulai mempelajari Alquran, menghafal hadis-hadis Nabi Muhammad saw, mempelajari bahasa dan sastra Arab, dan ilmu-ilmu lainnya.

Pada usia 14 tahun, Salahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu. Karena memang pemberani, pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (Crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran.

Pada 1169, Salahuddin diangkat menjadi panglima dan gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Salahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib.

Pada September 1174, Salahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Salahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186).

Perang Salib
Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damaskus, dan Yerusalem pada 636 Masehi, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut.

Namun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Jerusalem untuk Perang Salib pertama (ke-1). Kota suci ini berhasil mereka rebut pada 1099.


Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana diakui sendiri oleh mereka: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses.” Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada 1187 Salahuddin memimpin serangan ke Jerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2.

Pasukan yang dipimpin Salahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 Juli 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali. Berita jatuhnya Jerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya.

Pada 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Prancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard The Lion Heart. Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak.

Pada 1192 Salahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman.

Kontribusinya buat Islam sungguh tidak pernah bisa diukur dengan apa pun di dunia ini. Parcel untuk Musuh Banyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Salahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap kesatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit.

Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka. Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah.

Di Kairo, Salahuddin al-Ayyubi bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja. Ia juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan shalat fardu dan gemar shalat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menganjurkan berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya.

Salahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidak nepotis atau pilih kasih.

Peti rahasia
Salahuddin al-Ayyubi mempersembahkan seluruh hidupnya untuk berjihad di jalan Allah. Konon, saat berjihad ia selalu membawa sebuah peti rahasia yang amat dijaganya. Orang dekatnya menyangka bahwa di dalam peti itu tersimpan berbagai batu permata dan benda berharga lainnya. Namun ketika peti dibuka setelah ia wafat, di dalamnya hanya ada satu surat wasiat, sehelai kain kafan dan beberapa gundukan tanah liat.

Surat wasiat yang ditinggalkan Salahuddin al-Ayyubi itu tertulis: “Kafanilah aku dengan kain kafan yang pernah dibasahi air zam-zam ini, yang pernah mengunjungi Kakbah yang mulia dan makam Rasulullah saw. Tanah ini ialah sisa-sisa masa perang, buatkanlah darinya bantal untuk alas kepalaku di dalam kubur.” Dari tanah tersebut dapat dibuat 12 ketulan tanah yang hari ini terletak di bawah kepala Salahuddin al-Ayyubi.

Setiap kali kembali dari medan perang, berjihad di jalan Allah Swt, Salahuddin al-Ayyubi berusaha mengumpulkan percikan tanah yang melekat di wajah dan pakaiannya, lalu menyimpannya di dalam peti rahasia itu. Dengan 12 bantal tanah pengganjal kepalanya di dalam kubur, bisa dibayangkan banyaknya pertempuran yang dihadapi Salahuddin al-Ayyubi semasa hidupnya.

Di medan perang, Salahuddin al-Ayyubi bagaikan seekor macan yang lincah, cekatan dan siap menerkam mangsanya. Salahuddin al-Ayyubi sakit selama 14 hari sebelum menghembuskan nafas terakhir. Macan perang Salib itu wafat pada 27 Safar 589 Hijriyah atau 4 Maret 1193 Masehi dalam usia 55 tahun di Damaskus, Suriah, setelah memerintah selama 25 tahun. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)

No comments: