Samanhoedi: Pionir Kebangkitan Sejati Indonesia

samanhudi

LIMA Ribu anggota Sarekat Islam Surabaya ramai memadati Stasiun Kereta Api pada 25 Januari 1913. Sorak-sorai suara para pejemput beserta iringan lagu dari korps musik yang bermain di peron meramaikan kehadiran Hadji Samanhoedi yang tiba dari Surakarta bersama rombongan dari daerah lain. Mulai turun dari kereta api hingga mobil, ketua Sarekat Islam (SI) ini di arak dengan penuh kecintaan rakyat kepada sang pemimpin. Selanjutnya, rombongan tersebut di bawa ke Gedung Oetoesan Hindia dan diterima oleh Tjokroaminoto sebagai tuan rumah.
Sambutan antusias warga yang ditulis oleh Muljono dan Sutrisno Kutoyo dari Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1979/1980 yang berjudul Haji Samanhudi, menceritakan suasana peyelenggaraan kongres SI di Surabaya. Kongres tersebut berlangsung pada 25-26 Januari 1913 dan dipimpin langsung oleh Tjokroaminoto.
Banyak yang dibahas dalam kongres ini. Terutama berkaitan dengan anggaran dasar SI. Salah satu keputusan kongres ini adalah pembentukan struktur SI pusat. Sebelumnya SI hanya bersifat lokal di Surakarta. Kemudian juga memutuskan permbagian wilayah organisasi menjadi tiga, yaitu Bagian Jawa Barat yang meliputi wilayah Jawa Barat dan Pulau Sumatera. Bagian Jawa Tengah yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Kalimantan. Dan bagian Jawa Timur yang meliputi wilayah Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Lombok, serta pulau-pulau sebelah timur. Ketiga wilayah ini serta cabang-cabangnya berada di bawah pengawasan dari pengurus pusat di Surakarta yang diketuai Hadji Samanhoedi. Tercatat, jumlah anggota yang terdaftar saat kongres ini berlangsung kira-kira 80.000 orang. Jumlah ini terus berkembang hinga 2,5 juta anggota pada tahun 1919.
Deliar Noer dalam Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, menyatakan SI masih belum mendapatkan corak organisasi yang jelas sejak berdirinya. Pada periode-periode pertama masalah-masalah yang sering dihadapi adalah soal penyusunan anggaran dasar, mencari orang-orang yang berkompeten menjalankan organisasi, dan mengatur hubungan antara pusat dengan cabang organisasi. Belum sempurnanya corak organisasi tidak menyurutkan jumlah anggota yang bergabung.

Pembekuan organisasi oleh Residen Surakarta juga menjadi masalah yang dihadapi. Pembekuan organisasi ini disebabkan oleh begitu banyaknya rakyat yang bergabung hingga ke luar Surakarta sehingga sulit dikontrol, juga SI dituduh sebagai dalang kerusuhan antara golongan Cina dan Pribumi. Namun, pembekuan itu hanya sebentar akibat tekanan rakyat yang begitu kuat.
Tjokroaminoto bergabung dengan SI di Surabaya pada bulan Mei 1912. Ia bergabung atas ajakan Samanhoedi yang memang mencari orang-orang berpendidikan dan lebih berpengalaman untuk memperkuat organisasinya. Pada tahun itu juga, Tjokroaminoto diminta untuk menyusun Anggaran Organisasi yang baru dan kemudian dibahas pada kongres di Surabaya pada Januari 1913.
Struktur kepengurusan yang dibentuk pada kongres tahun itu hanya berlangsung setahun. Pada kongres 1914, Tjokroaminoto berhasil mendapat kedudukan ketua. Samanhoedi ditempatkan pada kedudukan ketua kehormatan. Sejak saat itu, kiprah Samanhoedi mulai meredup. Peran utama SI mulai diisi oleh orang-orang baru seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moes, dan sebagainya. Tak ada lagi terdengar aktivitas Samanhoedi dari berbagai konflik SI di kemudian hari.
Meski perannya tidak terlihat hingga masa perpecahan SI, Samanhoedi memiliki andil dan jasa besar bagi berdirinya SI. SI bermula dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikannya. Meski banyak sejarawan yang mencatat tahun kelahiran SI atau SDI pada 1911 atau 1912, Samanhoedi sendiri menuturkan kepada Tamar Djaja pada 1955, seperti yang ditulis Ahmad Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah, bahwa ia mendirikan SDI pada 16 Oktober 1905. Tamar Djaja sendiri adalah seorang wartawan dan sejarawan dari Masyumi.
Timur Jaylani dalam tesisnya di Institute of Islamic studies, McGill University pada April 1959 dengan judul The Sarekat Islam Movement; It’s Contribution to Indonesian Nationalism, juga menuliskan faktanya bahwa SDI didirikan pada 16 Oktober 1905.
Jaylani ikut menjelaskan tentang kunjungan Samanhoedi ke Jakarta pada tahun 1955. Kunjungan tersebut dalam rangka undangan pertemuan para pemimpin Republik Indonesia dan mantan rekan perjuangan di SI dulu. Dalam kesempatan itu, Himpunan Pengarang Islam mewawancarai beliau. Dengan terus terang, SDI dibentuk oleh dirinya pada pertemuan yang diadakan di rumahnya pada 16 Oktober 1905. Dua anggota saat berdirinya SDI, yakni Suwandi dan Raden Gunawan, masih hidup pada hari wawancara itu sebagai saksi dari peristiwa bersejarah. Selain itu, ada bukti lain dari kebenaran pernyataan Hadji Samanhudi ini, yaitu. foto-foto pertama SDI berdiri.


SAREKAT Dagang Islam yang didirikan Samanhoedi di Surakarta pada 1905 berbeda dengan Sarekat Dagang Islamijah yang ada di Batavia dan Bogor. Sarekat Dagang Islamijah yang didirikan oleh Tirtoadhisoerjo pada 1909 ini tidak memiliki hubungan dengan SDI di Surakarta. Tapi dalam catatan Deliar Noer, pada 1911 Tirtoadhisoerjo pernah diminta bantuan oleh Samanhoedi untuk menyusun Anggaran Dasar SI yang kemudian disusun kembali oleh Tjokroaminoto tahun berikutnya.

Berbeda dengan Takashi Shirashi dalam buku Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Tirtoadhisoerjo membantu Samanhoedi untuk menyusun anggaran dasar dari organisasi ronda yang didirikan Samanhoedi, Rekso Roemekso. Rekso Roemekso lahir sebagai organisasi ronda yang memiliki tujuan menjaga keamanan wilayah Laweyan dari ganguan kecu. Seiring perkembangannya, sering terjadi perselisihan dengan organisasi dagang yang dimiliki Cina bernama Kong Sing. Perselisihan tersebut menyebabkan pihak Residen Surakarta mempertanyakan legalitas Rekso Roemekso. Agar menjadi legal, Tirtoadhisoerjo menamakan organisasi ronda tersebut menjadi SDI sebagai cabang dari Sarekat Dagang Islamijah Bogor meski memiliki tujuan berbeda. Namun, Takashi tetap menyatakan bahwa SI bukan berasal dari Sarekat Dagang Islamijah Bogor.

Merujuk pada asal berdirinya SDI, jelas bahwa motivasi perdagangan menjadi tujuan awal berdirinya organisasi ini. “Gerakan yang dipimpin oleh Hadji Samanhudi pada awalnya ditujukan terutama terhadap Cina yang semakin memperoleh posisi kunci dalam perekonomian” tulis Jaylani. Sikap pemerintah Hindia Belanda yang lebih memperdulikan golongan Cina dalam menguasai perekonomian membuat para saudagar Laweyan bergerak melawan dengan organisasi dagangnya.

Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara, SDI merupakan lambang keberhasilan gerakan pembaharuan sistem organisasi Islam. Tindakan Samanhoedi sebagai upaya kebangkitan yang menjadikan pasar sebagai lahan operasi aktivitasnya. Masalah pasar dan ekonomi juga berkaitan dengan masalah kebijakan politik. “Suatu perubahan politik terjadi disebabkan pengaruh pasar.” jelasnya.

Samanhoedi lahir dan besar dari keluarga pengusaha. Kehidupan mapan keluarga besarnya berawal dari kakeknya, Kiai Kartowikoro, yang seorang pedagang. Kegiatan dagang juga diturunkan kepada ayahnya, Hadji Ahmad Zein. Samanhoedhi sendiri lahir tahun 1878 di Sondokoro, Surakarta. Lalu pada umur 2 tahun pindah ke Laweyan, Surakarta. Daerah Laweyan ini cukup dikenal sebagai tempat mungkim para saudagar kaya yang bergelut usaha batik.

Pendidikannya sendiri sebagian besar dari pesantren. Mulai belajar mengaji di Laweyan, dan nyantri ke Kiai Djodjermo di Surabaya. Juga pernah bersekolah di Sekolah Dasar Bumiputera (Inlandsche School) hanya sampai kelas satu.

Meski tidak sampai berpendidikan yang tinggi, Samanhoedi mengulangi kesuksesan usaha orang tuanya yang turun-temurun. Seperti yang ditulis Muljono dan Sutrisno Kutoyo, perusahannya sangat besar, pegawainya ratusan, dan untungnya rata-rata f. 800,- sehari. Bisa dikatakan ini jumlah yang cukup besar, mengalahkan gaji seorang bupati yang rata-rata hanya f. 1000,- dalam sebulan.
Laporkan iklan?

Samanhoedi dikenal di kalangan tetangganya sebagai orang yang berbudi pekerti baik, dermawan dan saleh. Kedermawanannya tidak hanya kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan, namun juga kepada para pekerjanya. “Ia tidak pernah bersikap sebagai tuan terhadap budaknya, atau sebagai bangsawan terhadap hambanya. Terhadap para pekerja ia selalu bersikap sebagai saudara terhadap saudara atau sebagai bapak terhadap anak.” tulis Muljono dan Sutrisno Kutoyo. Sikapnya itu yang membuat usahanya mendapat kemajuan melebihi perusahaan-perusahaan lain.

Tahun 1904 Samanhoedi berangkat ke Mekkah untuk menjalankan ibadah haji. Sepulang dari haji itulah Samanhoedi mendirikan SDI. “Fakta bahwa Hadji Samanhudi mendirikan organisasinya tak lama setelah kembali dari Makkah. Ia banyak berkorban harta membiayai gerakan ini untuk mempromosikan perdagangan nasional Indonesia. Bisa disimpulkan, motivasi tindakannya sangat dipengaruhi oleh ide gerakan Muhammad Abduh dan al-Manar. Itulah bentuk nasionalisme yang ditampakan lebih luas dari pada nasionalisme lokal, seperti Jawanisme, Minangkabaunisme, Sundanisme, dan sebagainya. Islam-lah simbol dan faktor penyatu yang dengan demikian bisa dianggap sebagai Nasionalisme Islam.” Jelas Jaylani dalam tesisnya.

Saat pendirian SDI, Muljono dan Sutrisno Kutoyo mengambil sumer dari Tamar Djaja, menjelaskan singkat pidato arahan Samanhoedi. Meski hanya pidato arahan, dapat dipandang juga sebagai pernyataan pikiran, perasaan, pernyataan jiwa, dan cita-cita Samahoedi sendiri. Adanya status penduduk yang bertingkat-tingkat mulai dari warga eropa pada tingkat pertama, diikuti Cina, dan paling rendah penduduk bumiputera menjadi kenyataan yang disesalkan Samahoedi. Dengan kata lain, bangsa bumiputera dianggap sebagai bangsa budak di tanah airnya sendiri. Agar menjadi bangsa yang mulia, Samanhoedi mengatakan, bahwa kita harus dapat membuang jiwa budak.

Pidato tersebut hanya sederhana, namun telah menimbulkan efek psikologis yang merubah cara pandang bumiputera agar sebagai bangsa yang cinta tanah air harus berani dan percaya diri melawan keterpurukan itu. Para pedagang bumiputera beramai-ramai memasuki perkumpulan yang didirikan Samanhoedi.

Sebagai pemimpin, Hadji Samahoedi sebenarnya tidak termasuk orang yang pandai berpidato. Tetapi ia dapat berbicara dengan lancar dan jelas. Jika berpidato juga tidak biasa berpanjag lebar. Cukup singkat dan sederhana, namun penuh ide dan gagasan. Dalam hal tulis-menulis Samanhoedi juga tidak ahli. Tetapi oleh wartawan seperti Sosro Koonio, seorang redaktur dari Sarotomo, Samanhoedi diakui sebagai sumber gagasan. “Wartawan tersebut mengakui bahwa tulisan-tulisanya banyak yang bersumberkan gagasan-gagasan Hadji Samanhoedi.” tulis juga Muljono dan Sutrisno Kutoyo

Meski Samanhoedi berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya yang pandai berpidato dan menulis, ia dianggap sebagai pelopor nasionalisme di Indonesia. Pada 1956 Sebuah resolusi kemudian dibuat untuk meminta pemerintah dan para ahli sejarah memeriksa kembali sejarah pergerakan nasional. Selain itu, kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan pada tahun yang sama, dengan suara bulat menyatakan tanggal 16 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan mendesak pemerintah untuk mengakui pernyataan ini. Namun, hingga sekarang Hari Kebangkitan Nasional masih pada tanggal pendirian organisasi Budi Utomo. Padahal hampir sebagian besar sejarawan sepakat, Budi Utomo adalah gerakan untuk kaum priyayi Jawa yang gagal menjadi gerakan masa selain juga menolak persatuan nasional.

“Pada 28 Desember 1956 Hadji Samanhudi meninggal. Dia meninggal sebagai orang miskin, karena semua kekayaannya dikorbankan selama waktu ia memimpin gerakan,” tulis Jaylani kemudian. []

Ridwan Hd.

No comments: