K.H. Abdullah Syafi’ie: Bakti Sang Ulama Betawi

kh-abdullah-syafi-ie-_121113154236-957


RASANYA tak asing bagi telinga orang Betawi bila mendengar nama K. H.Abdullah Syafi’ie. Sebab sosok yang satu ini adalah Ulama Betawi terkemuka. Sampai-sampai namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Ia lahir di Kampung Bali Matraman, Jatinegara pada 10 Agustus 1910. Ayahnya, H.Syafi’ie, adalah seorang pedagang yang kaya. H.Syafi’ie berharap anak laki-lakinya ini menjadi ulama. Oleh karena itu, H.Syafi’ie tak memperkenankan K. H.Abdullah Syafi’ie mengurusi usaha dagang, kebun buah-buahan, atau sapi peliharaannya.
K. H.Abdullah Syafi’ie mulai belajar Al-Qur’an dengan Mualim Jauhari. Setelah khatam, ia kemudian melanjutkan pendidikan formal di Sekolah Rakyat dan hanya selesai pada kelas 2. Di usianya yang ke-13, ia dibawa naik haji oleh kakek dan neneknya, H. Rahimun dan H.Najehah. Sejak pulang haji, ia bertekad keras untuk jadi Mualim. Di Betawi, menuntut ilmu sudah menjadi tradisi. Ulama Betawi, Kiai Cholil Ridwan menyebut empat cara orang Betawi mendidik anaknya, diantaranya pesantren, majelis taklim, madrasah, dan pengajian modelling. Mula-mula ia mengaji dengan Mualim Amin, Mualim Musanif untuk belajar nahwu dan beberapa kitab seperti kitab Jurmiyah, Riyadul Badiah, Kafrawi, dan lain-lain. Dari mualim Sabeki, ia belajar kitabAsymawi, Mutamminah, dan Immiriti, serta belajar pidato. Dengan mualim H.Ahmad Muchtar, ia belajar wirid. Dalam hal pelajaran akhlak ia belajar dengan Mualim Marzuki Cipinang. Selebihnya, ia belajar kepada habib-habib seperti Habib Alwi Bin Tahir, Habib Alwi Al Haddad, dan Habib Alwi Al Habsyi. Di atas Sepeda Releigh warna hijaunya ia jalani hari-hari pengembaraannya menimba ilmu di tanah betawi.
Gurunya yang bernama Marzuki, adalah seorang pendiri dan pemimpin pondok pesantren salafiyah di Cipinang Muara. Hampir semua orang tua Betawi pada zaman itu yang ingin anaknya menjadi ulama, memasukan anaknya ke Pondok Pesantren Guru Marzuki, Cipinang Muara. Guru Marzuki belajar ilmu fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits hingga mantiq di Mekkah. Kesempatan menuntut ilmu tersebut benar benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga, dalam waktu hanya 7 tahun saja beliau telah mencapai segala apa yang dicita-citakannya, yakni menguasai ilmu agama untuk selanjutnya diamalkan, diajarkan serta dikembangkan. Dari kedalaman ilmu Guru Marzuki lahirlah murid-muridnya yang menjadi ulama seperti KH Noer Ali, Guru Asmat, dan masih banyak nama lain, termasuk Abdullah Syafi’i.
Dengan bekal ilmu dari sejumlah ulama itulah, K. H.Abdullah Syafi’ie mengembangkan pendidikan, dakwah, dan kegiatan sosial. Sampai akhir hayatnya kelak, dibangun kurang lebih 40 lembaga pendidikan formal dari TK sampai perguruan tinggi, 19 lembaga dakwah yang terdiri dari radio, buletin, olah raga, kesenian, dan lain sebagainya, serta 11 lembaga sosial.


Kiyai yang Rendah Hati
Pribadi K.H. Abdullah Syafi’ie memantulkan banyak teladan. Kerendahan hatinya menceriman akhlaknya. Ia tidak mau menyebut dirinya Kiai. Sehari-hari ia memanggil dirinya ustadz kepada murid dan jamaah-nya. Lain lagi kepada teman dan mandor bangunan, ia hanya menyebut ana (saya). Ia juga selalu menyebut dirinya orang pinggiran. Pernah suatu waktu diwawancarai oleh Tempo, ia hanya mengaku, “Saya cuma sebagai khadam (pelayan umat).” Pada kesempatan lain, ketika memberi nama Kota Pelajar di Jatiwaringin, Jakarta Timur, ia berujar, “Jangan Durul Ulum, ketinggian, biar Kota Pelajar saja.” Ia juga mengakui kemampuannya terbatas. Perkataan Nifsu ra’yika ala akhika (setengah pikiranmu ada pada saudaramu) adalah keyakinan dan ajakannya. Sehingga semua orang menjadi berarti di hadapannya.
Tersebab keyakinan itu, K. H.Abdullah Syafi’ie tak pernah canggung untuk berdialog dengan semua lapisan masyarakat. Meskipun ia tergolong mampu, namun ia terbuka dengan masyarakat sosial yang paling bawah. Sangat senang bergaul dengan karyawan, tukang-tukang, yatim piatu, ibu-ibu tua yang miskin dan murid-murid As-Syafi’iyah, serta mereka yang tergolong orang tidak punya. Ia juga berdialog dengan kaum cendekiawan muda.
Brigjen (Pur) Pol. Sutjipto Judodihardjo menceritakan pengalamannya yang berkesan mengenang KH Abdullah Syafi’I. Sewaktu ia masih menjadi Kapolri ketika itu, dan baru saja dilantik oleh presiden, di rumahnya, banyak orang-orang mengucapkan selamat kepadanya. Di tengah-tengah orang yang berdatangan itu, tampak K. H.Abdullah Syafi’ie, yang ketika itu dikenal sebagai ulama ‘tradisional’. Seperti halnya tamu-tamu lain, K. H.Abdullah Syafi’ie tampak ringan saja berbicara padanya. Tidak kaku. Malah dalam sebuah kesempatan, K. H.Abdullah Syafi’ie mengundangnya untuk datang ke rumah. Pak Sutjipto pun mengabulkan. Sampai di sana, ia kaget melihat tamu-tamu yang datang karena bukan hanya ulama-ulama ‘tradisionalis’ yang sekelompok dengannya, tapi juga ada tokoh-tokoh Masyumi seperti M.Natsir, M.Roem, dan lain sebagainya.
KH Abdullah Syafi'ie bersama Moh. Roem. Sumber foto: Penyunting Tuty Alawiyah. 1999. K.H. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985. Jakarta: Yayasan Alawiyah

Letjen H. Ali Sadikin pernah menceritakan ketika dirinya masih menjadi Gubernur Jakarta. Menurut Ali Sadikin ketika itu, ia sedang seru-serunya mencanangkan “proyek-proyek” yang bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bagi pemerintah kota Jakarta. “Proyek-proyek” itu antara lain perjudian. Masih diingat ketika itu, serangan yang paling gencar adalah dari ulama, termasuk K. H.Abdullah Syafi’ie. Ali Sadikin penasaran mendapat serangan yang begitu gencar. Ia lalu berusaha agar bisa bertemu dengan K. H.Abdullah Syafi’ie. Pertemuan itu pun terjadi. Maka dalam acara makan bersama, tanpa canggung-canggung lagi, K. H. Abdullah Syafi’ie sambil mengisi piringnya, berbicara masalah yang hangat dengan Ali Sadikin. K. H.Abdullah Syafi’ie berbicara dengan polos. Tapi itu justru membuat Ali Sadikin kagum. Sebab berdasarkan pengalamannya, biasanya orang akan menunduk-nunduk jika berhadapan dengannya. Namun K. H.Abdullah Syafi’ie biasa-biasa saja, seperti sahabat karib dengan Ali Sadikin. Sementara tamu-tamu lainnya tetap canggung, bersikap resmi dan kaku.
Dibalik sikap tenangnya, K.H. Abdullah Syafi’I adalah ulama yang berani dan lantang. Sikapnya yang berani dan terus terang, namun loyal pada program MTQ Nasional, mendatangkan rasa hormat dari ‘musuhnya’, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian malah menjadi sahabatnya. Bahkan Ali Sadikin menganggap K.H.Abdullah Syafi’ie sebagai abangnya. Dan setelah menjadi Gubernur, Ali Sadikin pun diminta menjadi penasehat Yayasan Perguruan Asy-Syafi’iyah.
Bersahabat dengan Lintas Mazhab
Meski K. H.Abdullah Syafi’ie menganut mazhab Syafi’iyyah, namun ia tidak fanatik buta. Tokoh Muhammadiyah K.H. Hasan Basri bercerita, sewaktu dirinya menjadi khatib shalat Jum’at di sebuah masjid yang berada di Yogyakarta, K. H.Abdullah Syafi’ie menjadi makmum. Setelah adzan, K.H. Hasan Basri langsung berdiri menyampaikan khutbahnya. Tak ada shalat Qabliyah seperti yang biasa dilakukan di Masjid Al-Barkah yang dipimpin oleh K. H.Abdullah Syafi’ie. Tapi ternyata K. H. Abdullah Syafi’ie, seperti jamaah lain. tidak melakukakan shalat Qabliyah.
Menurut K.H. Abdussalam Djaelani, pandangan K. H.Abdullah Syafi’ie terhadab mazhab cukup fair dan luas. Toleransinya pun besar. Dapat berkawan dengan orang-orang dari segala mazhab dan golongan manapun, entah itu Maliki, Hambali, Hanafi, atau Muhammadiyah. Tetapi haluan K. H.Abdullah Syafi’ie pada Ahlussunnah wal jamaah tak akan bergeser. K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan ulama kalangan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya. K.H.Abdullah Syafi’ie dekat dengan Tokoh Muhammadiyah Buya Hamka, Tokoh Persis dan Masyumi M.Natsir, Tokoh NU KH. Masykur, KH. Syaikhu, dan KH. Idam Khalid. Meskipun K.H.Abdullah Syafi’ie bukan orang di dalam ketiga ormas tersebut.
Bersama Habib Ali Kwitang dan Ulama Maroko. Sumber foto: Penyunting Tuty Alawiyah. 1999. K.H. Abdullah Syafi’ie Tokoh Kharismatik 1910-1985. Jakarta: Yayasan Alawiyah
Kelapangan KH Abdullah Syafi’i terhadap perbedaan di antara umat Islam tercermin dari jejaknya menggalang persatuan umat.Tahun 1973, ketika K.H. Abdullah Syafi’ie bersama-bersama ulama lain mendirikan Majelis Muzakarah Ulama. Sebelum mendirikan majelis itu, K.H.Abdullah Syafi’ie datang ke rumah K.H. Abdussalam Djaelani, untuk mendiskusikan rencana dengannya. KH. Abdussalam Djaelani sangat menyetujui dan mendukung rencana itu baik tenaga, pikiran, dan harta. Kemudian mereka pergi ke KH. Abdullah Musa di Tegal Parang. KH. Abdullah Musa pun setuju. Mulailah mereka bergerak. Mereka undang seluruh ulama yang ada di Jakarta tanpa memandang golongan. Berkumpulah dalam forum itu ulama-ulama dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya, membahas ide khilafiyah dalam soal furu’iyah. Pertemuan Majelis Muzakarah Ulama itu pertama kali diselenggarakan di rumah KH. Abdullah Musa. Kemudian di Attahiriyah, dan berikutnya di rumah KH. Abdussalam Djaelani.
Andi Ryansyah
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

No comments: