Mengenang Suara Emas Syeikh Mahmud Al-Hussary

Mengenang Suara Emas Syeikh Mahmud Al-Hussary
Syeikh Mahmud Al-Hussary


Rasanya sayang sekali kalau keindahan itu harus dihapuskan, seperti yang diwacanakan Wapres Jusuf Kalla. Lantunan suara itu tidak perlu dihapus karena sangat bermanfaat,

SIAPA yang kenal Syeikh Mahmud Khalil Al Hussary? Tidak banyak yang mengenalnya. Namanya kalah populer dengan Syeikh Abdurrahman Sudais, Syeikh Sa’ad Al Ghamdi, Syeikh Abdullah Al Matrud dan Syeikh Misari Rasyid atau nama tersohor lainnya dalam bidang seni membaca Al-Quran.

Padahal suara Syeikh Mahmud Al Husary sampai sekarang masih menghiasi masjid-masjid yang melantunkan qiro’ah dan sholawat tarhim menjelang adzan.

Bagi generasi tua, lantunan suaranya tidak asing, setidaknya bagi saya sendiri. Kalau saya simak qiro’ah surat Al Hujurat, Ar-rahman yang kemudian dilanjutkan dengan sholawat tarhim, kenangan saya melayang pada puluhan tahun lalu ketika masih kecil.

Kala itu, masjid di Surabaya selalu mengumandangkan suara emas Syeikh Mahmud Al Husary sebelum adzan Shalat 5 waktu. Suara itu diperdengarkan melalui piringan hitam yang diputar oleh masjid Rahmat di Kembangkuning.

Suara itu kemudian dipancarkan melalui Radio Yasmara yang berada di masjid tersebut. Karena waktu itu belum ada kaset, masjid-masjid itu memancarkan suara dari radio itu dengan pengeras suara agar bisa didengar dalam jangkauan yang luas. Saat Ramadan, suara itu justru menjadi penanda imsak, menjelang adzan subuh. Banyak yang terbantu dengan suara itu, begitu mendengar sholawat tarhim, makan sahurnya harus berhenti karena itu sudah masuk waktu imsak.

Evolusi audio tak bisa dihindarkan, kini suara Syeikh Mahmud bisa dinikmati, bukan saja melalui kaset dan CD tapi juga melalui MP3 dan alat pemutar musik elektronik yang lain. Beberapa muadzin masih menggunakan gaya adzan Syeikh asal Mesir tersebut, meskipun mulai banyak yang menggunakan gaya masjidil Haram Makkah dan Madinah.

Syeikh Mahmoud khalil Al-Hussary lahir pada tahun 1917 di Shubra An-Namlah, di sebuah desa diwilayah Tanta [sebelah utara Kairo]. Ia belajar qur’an sebelum usia 11 tahun di sebuah sekolah al-qur’an di desanya.

Ia pergi ke masjid Ahmadienne dan menghabiskan waktu bertahun tahun disana untuk belajar tentang membaca qur’an dibawah pengawasan profesor terkemuka Musthafa Al Murawwij.

Pada tahun 1944, ia pindah ke Kairo dan bergabung dengan radio terkemuka. Tahun 1955 menjadi Qari di masjid Husain. Di Kairo, Syeikh Al Hussary juga belajar di universitas Al-Azhar . Ia adalah seorang ulama terkenal dan menulis beberapa buku tentang berbagai aspek qur’an. Ia memegang gelar Syeikh Al-Maqari dan pendapatnya sering di kutip oleh media.

Pada tahun 1976 ia di undang untuk berpartisifasi dalam festival dunia Islam di London. Rekaman syeikh Al-Hussary didistribusikan secara luas di Mesir.

Ia merekam pembacaan al-qur’an lengkap dengan dua gaya yaitu murottal dan mujawwad. Ia terkenal akan kebenaran bacaannya. Pada tahun 1980 beliau meninggal pada usia 63 tahun.

Shalawat Tarhim

Shalawat Tarhim yang dibaca Syeikh Al Hussary menjelang azan Subuh mulai dipopulerkan di Indonesi pertama kali melalui radio Yasmara [Yayasan Masjid Rahmat], Surabaya pada akhir tahun 1960’an.

Suaranya yang khas rasanya sulit tergantikan oleh suara yang lain, mungkin karena sudah terlalu sering mendengarnya. Lantunan adzan dan Al-Quran yang disebarkan di masjid-masjid sangat bermanfaat untuk mengingatkan umat Islam, bahwa waktu Shalat sudah hampir tiba. Sebelum adzan, biasanya masjid mengumandangkan qiro’ah surat Al-Hujarat, Ar-rahman yang dilanjutkan dengan sholawat tarhim. Selain sebagai pengingat, lantunan adzan juga bisa menggerakkan hati manusia untuk menerima hidayah Allah.

Seperti dialami Febri Yuniar yang memutuskan menjadi mualaf setelah sering diterpa suara adzan, seperti ditulis di koran Malang Post edisi 24 Juni 2015.

Setelah puluhan tahun, suara Syeikh Mahmud masih tetap punya magnet untuk didengar, bahkan belum ada gantinya. Mungkin sudah waktunya qiro’ah dan sholawat tarhim itu didaur ulang oleh qori lokal.

Saat berada di Banyuwangi awal bulan Juni kemarin, saya mendengar qiro’ah dengan surat yang sama dengan Syeikh Mahmud Al Husary, tapi suaranya kelihatan dari Indonesia. Lagunya persis, termasuk cengkoknya, tapi suaranya kelihatan lebih lantang. Awalnya agak asing, dengar sholawat tarhim dari bukan aslinya, tapi lama-lama saya rasakan enak juga, sama seperti aslinya. Suara tersebut dikumandangkan masjid-masjid sekitar setengah jam sebelum adzan berkumandang.

Sungguh lantunan suara itu sangat membantu untuk mengingatkan akan datangnya waktu Shalat. Bersyukurlah kita karena masih mendengar suara-suara ilahiah itu dari masjid yang banyak tersebar di berbagai pelosok. Bayangkan bila kita berada di Singapura, Laos, Prancis atau negara dengan jumlah Muslim yang masih Minoritas.

Rasanya sayang sekali kalau keindahan itu harus dihapuskan, seperti yang diwacanakan Wapres Jusuf Kalla. Lantunan suara itu tidak perlu dihapus karena sangat bermanfaat, yang perlu ditertibkan adalah suara-suara dari masjid yang tidak mengenal waktu, sepanjang 24 jam misalnya.

Di bulan Ramadhan ini ada suara “patrol” dengan segala tetabuhan dan vokal manusia dengan tujuan untuk membangunkan orang untuk sahur. Tujuannya mungkin baik, tapi kalau suaranya terlalu keras dan dikumandangkan terlalu awal, apalagi masyarakat tengah nyentak istirahat tidur, tentu menjadi tidak baik. Perlu ada kesadaran dan tepo seliro dalam mengajak kebaikan. Pak Wapres juga perlu lebih cermat lagi dalam menjalankan wacananya ini, jangan sampai dipukul rata, semua dilarang, seperti yang dipersepsikan masyarakat awam. Hemat saya, suara-suara pengingat ibadah itu masih diperlukan. Wallahu’allam bishowwab.*

Penulis buku “Ikatlah ilmu Dengan tulisan” (Aura pustaka, 2012)

No comments: