Dari Hinduisme Hingga Islamisasi di Aceh


Sebelum kedatangan Islam, penduduk Aceh pada umumnya mempunyai kepercayaan tersendiri yang dikenal sebagai animisme, dinamisme, pemujaan hyang (dewa pencinta), dan nenek moyang. (Abdul Hadi, 2005). system kepecayaan seperti ini sudah berlangsung cukup lama puluhan abad lamanya. Seperti yang di kemukakan oleh seorang ilmuan Inggris dalam teorinya bahwa “asul mula agama bersamaan dengan munculnya kesadaran manusia akan adanya roh atau jiwa, kemudian mereka memahami adanya mimpi dan kematian.” (Edwar Burnet Taylor, 1832-1917). Kumpulan masyarakat primitif Aceh dahulu kala sudah terbentuk dengan sendirinya secara alami, namun pada saat itu mereka sudah mengenal konsep penyembahan. PenTuhanan yang di lakukan oleh masyararakat Aceh zaman dulu kala masih sangat sederhana, dimana bentuk Tuhannya itu masih beraneka ragam, belum sistematis dan masih belum seragam. Dalam kondisi seperti itu mereka menemukan cara penyembahan dan pengabdian yang di kembangkan berdasarkan tingkat kecerdasan masyarakatnya, lalu kemudian mereka mewariskan system kepercayaan model sederhana tersebut cukup lama dalam kurun waktu berabab-abad lamanya hingga kemudian model atau system kepercayaan yang baru mereka kenal, yaitu pada tingkat yang lebih tinggi lagi dari sebelumnya dan system kepercayaan yang baru ini lebih sistematis dan sudah mulai manganutnya secara massal, dan Tuhannya mereka itu sudah memiliki nama yang seragam, yaitu penerimaah agama Hindu dan sebagai kepercayaan yang baru.
Perkembangan ketingkat ke berikutnya ke system kepercayaan baru Hindu ini, menunjukan bahwa Aceh pada saat itu telah mengalami kontak budaya, baik yang terjadi antara sesama masyarakat Nusantara ataupun hal itu juga datang langsung dari luar atau bisa di katakan bahwa pengaruh perubahan itu datang langsung dari India. Berdasarkan apa yang di kemukan oleh Joesoef Sou’yb (1983) bahwa Agama Brahma atau Hindu itu lahir di negeri India 2000 tahun SM, dan agama ini telah berusia lebih kurang 4000 tahun bersama manusia seluruh dunia. Dan penganut yang terbesarnya berada di Asia Tengah dan Selatan. Sebagai perbandingan saja, bahwa Agama Yahudi (musa) di kenal oleh manusia semenjak 1200 tahun SM. Jadi manusia takala itu sudah di temani oleh agama Hindu terlebih dahulu, atau bisa di katakan Agama Hindu ini adalah salah satu Agama tertua di dunia dalam kategori agama berbentuk yang sistemastis.
Sebelum masyarakat Aceh menganut Agama Brahma ini, di kepulau Nusantara ini adalah di tanah Jawa Agama Hindu berkembang pesat hinga menciptakan kerajaan besar yang kuat, seperti kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pejajaran di Jawa bagian Barat. Dalam Agama Hindu, manusia di posisikan ke beberapa tingkat golongan atau kasta-kasta di antaranya; pertama kasta Brahma, yaitu kaum agamawan (pendeta-pendeta), kedua kasta Syatria yaitu kaum bangsawan atau para raja-raja, ketiga kasta Waisya yaitu kasta kaum saudagar, keempat kasta Sudra yaitu kasta orang kebanyakan pada umumnya (rakyat jelata), kelima kasta Paria yaitu golongan yang di anggap rendah sekali atau sampah dan tidak ada harganya sebagai manusia, dan biasanya kasta ini di tujukan untuk golongan dari bangsa yang di taklukan oleh kekuasaan kerajaan Jawa terhadap beberapa daerah-daerah di Nusantara, (penaklukan-ekspansi). Masyarakat Hindu di luar Jawa awalnya mereka adalah manusia yang tidak berharga di mata penguasa Jawa karena mereka adalah masyarakat taklukan Majapahit. Baru kemudian setelah sekian jangka waktu yang cukup lama dari kasta yang hina ini naik ketingkat kasta atas.
Keuasaan Hindu yang di bawah naungan kerajaan Raja Majapahit mulai menujukan kehebatanya yang kuat itu, kekuatan itu menyatu bersatu dalam tiga komponen menjadi satu kekuatan, diataranya “agama-bangsa Jawa-kerajaan” menjelma menjadi kekuatan politik yang kokoh. Sehingga hampir seluruh wilaya kepulauan Nusantara di kuasainya melalui cara ekspansi. Tak luput juga Aceh pada tahun 1350 pernah ditaklukan dan di kuasainya, pada saat itu kerajaan Samudra Pasai (Aceh) di gempur oleh kekuatan militer Kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, dan Majapahit menduduki Samudra Pasai selama 4 tahun.
Pengaruh Hinduisme kedalam budaya Aceh memang sangat tranparan dan terasa kuat. Kebudayaan Aceh memiliki banyak kesamaan dengan India (Cut Nyak Kusmiati 1981). Menurut para kalangan ahli sejarah, kedatangan orang-orang India ke Aceh diperkirakan pada awal abad Masehi. Sedangkan pendapat S.M.Amin yang menyatakan bahwa pengaruh pertama terhadap bangsa Aceh datang dari bangsa India masuk diperkirakan 2.500 SM. Dan saat itu orang-orang India telah banyak membuat perkampungan di Aceh (S.M. Amin 1956). Orang Hindu datang dari Hindia menepati sebelah barat laut pulau Sumatra, dan mereka tertarik dengan rempah-rempah yang ada di Nusantara. Sambil berniaga orang Hindu itu, mengembangkan agama dan kebudayaan mereka di bumi Nusantara, dan mereka bergaul serta kawin dengan masyarakat setempat, sehingga pada abad ke 2 Masehi telah banyak orang Hindu yang menetap di Nusantara. (Ismail Jakup).
Sekitar tahun 500, di Aceh telah berdiri satu kerajaan yang dikenal sampai ke tingkat internasional yang bernama Kerajaan Poli, kerajaan ini merupakan jelmaan dari eksistensi kekuasaan hindu, dan mempunyai 136 perkampungan. Dalam tahun 518, Kerajaan Poli ini, sudah mengirimkan utusannya ke Tiongkok yang waktu itu di bawah kekuasaan Dinasti Liang. Kerajaan Poli ini berada di pantai Sigli yang wilayah kekuasaannya meliputi hingga ke Aceh Besar. Pengaruh Kerajaan Poli ini masih bisa kita temukan dari nama-nama tempat di Aceh yang banyak sekali memakai istilah Hindu, seperti Indrapuri, Indraputra, Gandapura, Kleng, Raja Dagang, dan lain sebaginya. Selain Kerajaan Poli di Sigli (Aceh) ada beberapa kerajaan lagi yang menganut agama Hindu, diantaranya kerajaan Hindu Indrapura, Kerajaan Ta Shi atau Tajik, dan kemudiannya Kerajaan Tajik ini bersatu dengan Kerajaan Peureulak dengan memakai nama Ta Jihan.
Peradaban Hindu di Aceh menurut Junus Djamil dalam bukunya, menjelaskan bahwa telah berdiri sebuah kerajaan di Peureulak sebelum kedatangan kebudayaan Islam, Peureulak telah lama berdiri dan raja-raja yang memerintah negeri itu berasal dari turunan raja-raja Negeri Siam (Syahir Nuwi). Kerajaan Peureulak yang terletak di Aceh Timur (sekarang) semula berada dibawah kendali Kerajaan Sriwijaya (Palembang). Di mana setelah kondisi politik dan pertahanan dalam negeri Sriwijaya melemah akibat serangan dari Kerajaan Choli (India) dan juga Kerajaan Majapahit (Jawa), maka Kerajaan Peureulak melepaskan diri dari kungkungan Kerajaan Sriwijaya dan kemudian menjadi kerajaan yang berdaulat penuh.
Kerajaan Peureulak, jauh sebelum kedatangan Islam telah menjadi pusat perdagangan internasional dengan pedagang-pedagang dari kerajaan-kerajaan lain di dunia. Mereka datang dari berbagai penjuru Negeri, seperti dari Arab, India, Cina, Jawa, Malaka, Persia dan sebagainya. Komoditas perdagangan yang ramai diperjualbelikan pada saat itu adalah kayu manis, cengkeh, lada, pala, bunga pala, kayu gaharu, pakaian India, dan porselein Cina. Kayu manis diimpor dari Ceylon dan Jawa, rempah-rempah diimpor dari Malaka, dan kayu gaharu diimpor dari Timor. Sedangkan Kerajaan Peureulak sendiri adalah penghasil komoditi lada sebagai andalannya. Hingga tidak heran kita bisa menemukan dalam pepatah Aceh hingga sekrang meyebutkan ’’watee katrok kapai barou pula lada,‘’ (ketika kapal muatan barang datang pada saat itu pula baru lada di tanam) zaman dahulukala pribahasa ini di ungkapkan untuk mereka yang tidak siap akan situasi perkembangan bisnis karena mereka lalai kemudian rejekipun tidak didapatkan.
Karena jarak tempuh yang begitu lama dan jauh sampai berbulan-bulan dari negeri-negeri belahan dunia lain untuk singgah ke Aceh, dan sebaliknya dari Aceh ke negeri Asal para Saudagar-saudagar ini. Apalagi kodisi untuk berlayar kapal memerlukan ketepatan angin yang pas, hal ini sering menjadi alasan kenapa para Saudagar ini memilih untuk membuka kantor perwakilan di daerah Aceh sebagai persinggahan. Terkadang banyak di antara mereka tidak mau pulang ke negeri asalnya, dan lebih memilih menjadi agen-agen dangang untuk barang dari asal mereka dan merekapun tinggal menetap di Aceh serta berasimilasi dengan penduduk pribumi, (perkawinan silang). Kemudian kondisi seperti ini bagi saudagar-saudagar Arab mengunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan agama Islam, hingga kumudian Agama Islam bisa mengalahkan dominasi Agama Hindu di Aceh dan akhirnya berdirilah kesultanan Islam di Peureulak.
Di Bandar Peureulak mereka itu (orang Arab) pulang kembali ke negerinya, dan tidak lama kemudian datang saudagar-saudagar Persi (Isfhan) dan Muslim India dari Malabari dan dari Gujarat. Sejak dari masa itulah mereka terus datang ke Bandar Peureulak hingga banyak orang Peureulak masuk Islam. Beberapa lama kemudian daripada itu Meurah (raja) Peureulak dengan seluruh keluarga istana akhirnya masuk agama Islam juga. Yang sebelumnya kerajaan Peureulak adalah kerajaan Hindu yang berdasarkan pemberian gelar meurah pada para penguasa kerajaan, kemudian berubah menjadi kerajaan Islam. Setelah menjadi kerajaan Islam banyak orang-orang Arab Parsi dan Muslim India dari Malabari dan Gujarat bermukim di Bandar Peureulak.
Dalam proses Islamisasi rakyat Peureulak Aceh, terjadi pada tahun 820 M. dan pada tahun 840 M berdirilah kesultanan Islam Peureulak dengan diangkatnya Sultan Maulana Syaid Abdul Aziz sebagai pemimpinnya. Pada tahun 1042 berdirilah kerajaan Islam di Pasai. Pada saat itu (1042 M) kerjaan Samudra kedatangan seorang pembaharu Islam, ia benama Meurah Khair, sang pembaharu ini datang ke negeri Tanoh Data (sekarang sekitar Cot Girek) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan Islam ke pada raja Samudra. Meurah Khair adalah berasal dari keluarga Sultan Mahmud Pereulak. Ia datang ke Negeri Tanoh Data tidak hanya untuk mengembangkan Islam, akan tetapi ia juga mempunyai target untuk membangun kerajaan Islam Samudra Pasai. Tujuan ini kemudian tercapai dan ia menjadi raja yang pertama, dengan gelar Maharaja Mahdud Syah. Selain gelar ini yang ia sandang, ia juga memiliki nama lokal yaitu Meurah Giri. Periode kekuasaanya adalah 1042-1078 M.
Pada tahun 1507 berdirilah kerajaan Aceh Darussalam yang di pimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1511 M adalah tahun dimana kerjaan-kerajaan Islam yang berada di Aceh terintegrasi ke dalam Kekerajaan Aceh Darussalam. Deklarasi itegrasi ini terjadi pada tanggal 20 februari 1511 M, dan menjadi Kerajaan Aceh Raya Darussalam. Dialah Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan yang pertama yang memimpin Kerajaan Aceh Raya Darussalam selama 1511-1530 M. Kerajaan Aceh Raya Darussalam dalam proses perjalan waktu telah dipimpin oleh para Sultan-sultan sebanyak 28 orang, mulai dari tahun 1511 sampai dengan 1937 M. dan sultan yang terakhir yang berkuasa adalah di Kerajaan Aceh Raya Darussalam adalah Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah (1874-1937 M).
Hal lain yang sangat penting juga adalah peran Ulama sebagai kunci Islam bisa meluas keseluruh Aceh, bahkan dari Pasai-lah Islam di kaji oleh banyak kalangan kemudian Islam dari Pasai Menyebar kawasan Asia Tenggara. Sehingga tidak heran bahwa pada masa era emasnya itu Kerajaan Samudra Pasai telah di jadikan mercusuar ilmu pengetahuan. Banyak orang yang datang ke negeri ini, mereka ada yang datang dari Jawa, Sumatra Utara, malaka, bahkan pada tahun 1457 Kerajaan Patani menerima agama Islam hasil usaha ulama Pasai. Beberapa ulama besar dan terkenal di masa kerajaan Islam di Aceh telah melakukan perubahan besar, kemasyuran mereka ini hingga keluar negeri yang telah meramaikan literatur kajian Islam Asia Tenggara. di ataranya yaitu; pertama Hamzah Fansuri, Ulama ini cukup dikenal tidak hanya di dalam negeri tetapi juga termasyur sampai keluar negeri baik karena kunjungannya keluar negeri di masa hidupnya, maupun karena kitab-kitab peninggalannya yang cukup menarik untuk diteliti oleh sejumlah ilmuwan. A. Hasjmy menjelaskan bahwa Hamzah Fansuri pernah belajar di India, Persia dan Arab selain di Aceh. Tetapi dari aktivitas dakwahnya dia pernah keluar negeri, setidak-tidaknya untuk berdakwah, misalnya dia pernah mengembara sampai ke Johor, Malaka (sekarang Malaysia) dan Ayutia, ibukota dari Siam pada masa lalu (sekarang Thailand). Dari aktivitasnya diketahui dia menguasai beberapa bahasa asing misalnya bahasa Arab, bahasa Persi, selain bahasa Aceh dan bahasa Melayu. (Hasbi Amiruddhin, 2004 hal ). Kedua; Syamsuddin al-Sumatrani pernah belajar pada Hamzah Fansuri. Melihat dari aktivitasnya sehari-hari yang bertugas sebagai mufti dan juga penasehat dalam bidang perdagangan dan politik serta memperhatikan kitab-kitab karyanya, Syamsuddin al-Sumatrani menguasai ilmu-ilmu fiqh, tasawauf, sejarah, manthiq, tauhid, filsafat, bahasa Arab, ilmu politik dan ilmu perdagangan.
Dalam penelitian Al-Yasa’ Abubakar di perpustakaan Islam Seulimuem ditemukan sebanyak 20 buah buku yang ditulis Syamsuddin al-Sumatrani yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Sebagian besar dari buku tersebut membicarakan masalah ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi dalam catatan A. Hasjmy ada 22 judul kitab yang ditulis oleh Syamsuddin al-Sumatrani. Ketika Iskandar Muda memerintah kerajaan Islam di Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih syekh Shamsuddin Al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti (disebut Syekh al-Islam) bertanggung jawab dalam urusan keagamaan. Meskipun demikian, al-Sumatrani tidak hanya sebagai penasehat agama, tetapi juga dilibatkan dalam urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada Sultan Ali Mughayat Syah (1589-1602), raja sebelum Iskandar Muda. James Lancaster, utusan khusus dari Inggris ke Aceh pada tahun 1602, menggambarkan dalam catatan perjalanannya bahwa ada seorang bangsawan “Chief Bishop”, yang diperkirakan orang tersebut adalah al-Sumatrani, yang terlibat dalam perundingan perjanjian perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh.
Ketiga; Seorang ulama terkenal lain di masa Kerajaan Islam Aceh adalah Syeikh Nur al-Din al-Raniri. Syeikh ini berasal dari Ranir India, tetapi ayahnya berasal dari Hadhralmawt dan ibunya seorang Melayu. Ar-Raniri pertama belajar di Ranir kemudian melanjutkan ke wilayah Hadhramawt. Dalam rentang waktu belajar ini tidak jelas berapa tahun dia belajar di sana. Di India, Ar-Raniri telah belajar pada Abu Hafs Umar bin Abdillah Ba Syaiban al-Tarimi al-Hadhami. Menurut Ar-Raniri Ba Syaiban inilah yang telah mewariskan ilmu tariqat Rifa’iyah kepadanya. Ba Syaiban merupakan ulama terkenal di India yang memiliki berbagai ilmu ketika menuntut ilmu di Haramain.
Nuruddin ar-Raniri pernah bertugas sebagai mufti kerajaan Islam Aceh Darussalam di masa pemerintahan Iskandar Thani. Selain bekerja sebagai mufti, al-Raniri juga seorang penulis yang produktif. Menurut Ahmad Daudy, ada dua puluh buah kitab yang ditulis oleh Al-Raniri. Tetapi A. Hasjmy mencatat ada 30 buah buku yang ditulis oleh al-Raniri. Beberapa tahun berikutnya, yaitu pada masa Tajul alam Safi’atuddin. Al-Raniri digambarkan sebagai seorang yang hebat. Dia pada dasarnya seorang sufi, teolog dan faqih, tetapi dia juga pengarang, penasehat dan politikus. Pada masa Iskandar Tasni, ia memainkan peran penting dalam bidang ekonomi, politik disamping bertanggung jawab dalam urusan keagamaan.
Keempat; Syeikh Abd al-Rauf al-Singkili, ia lebih dikenal dengan nama julukan Teungku Syiah Kuala, lahir di Singkil diperkirakan sekitar tahun 1615 M. Seperti biasanya orang Islam diwaktu kecil mendapat pendidikan pertamanya dari orang tuanya sendiri, Al-Singkili juga demikian. Apalagi ayah Al-Singkili adalah seorang ulama yang memiliki lembaga pendidikan Dayah (pasantren). Al-Singkili setelah menyelesaikan pelajaran di Dayah yang dipinpin orang tuanya Al-Singkili melanjutkan pendidikannya pada sebuah Dayah tinggi di Barus yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri (A. Hasjmy,). Selanjutnya ia belajar pada Syeikh Syamsu al-Din al- Sumatrani yang diperkirakan Dayahnya itu di wilayah Pase Aceh Utara. Terakhir Al-Singkili Belajar di Timur Tengah, meliputi Dhuha (Doha) Qatar, Yaman, Jeddah dan Akhirnya Mekkah dan di Madinah selama 19 tahun. Menurut catatan Al-Singkili sendiri yang ditulis dalam Umdat Al-Muhtajin ila Suluk Maslak Al-Mufridin, ada 19 orang Guru yang dia kunjungi untuk belajar langsung dalam bermacam disiplin ilmu. Selain itu juga dia mempunyai hubungan pribadi dengan sejumlah ulama lain yang sangat mungkin ini merupakan teman diskusi dalam ilmu-ilmu tertentu. Beberapa guru yang disebutkan Al-Singkili adalah Abd Al-Qadir Al-Mawrir ketika di Qatar. Di Yaman dia belajar pada Ibrahim bin ‘Abdullah bin Jaman dan Qadhi Ishaq. Guru-gurunya di Yaman nampaknya ahli dalam bidang Hadits dan Fiqh. Seperti dipetakan kebanyakan ulama Yaman adalah murid dari Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani, yang pada akhir Al-Singkili sendiri juga belajar pada Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani.
Al-Singkili merupakan seorang penulis yang produktif. Kendatipun dia sibuk dengan tugas mufti kerajaan tetapi dia sempat menulis beberapa kitab. Wan Mohd Saghir Abdullah sempat mengoleksi 23 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili dalam bidang Fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam dan tasawuf. Tetapi terakhir menurut hasil penelitian Al-Yasa’ Abubakar ditemukan ada 36 buah kitab yang ditulis oleh Al-Singkili. Selain yang tersebut di atas, di perpustakaan Islam Seulimuem (Aceh Besar) ditemukan juga beberapa buku yang nama penulisnya adalah Abd al-Rauf, tetapi masih dipertanyakan apakah Abd al-Rauf itu maksudnya Abd al-Tauf Al-Singkili. Pada tahun 1844, Professor A. Meusinge pernah menerbitkan sebuah buku wajib tentang hukum Islam bagi mahasiswa Koninklijke Academie Delft, Leiden yang di dalam buku tersebut termasuk isi kitab Al-Singkili yang berjudul “Cermin Segala Mereka yang Menuntut Ilmu Fiqh Pada Memudahkan Syari’ah Allah”. Menurut Temuan terakhir ini ada 36 kitab yang ditulis oleh Al-Singkili. Dan masih banyak ulama-ulama besar yang lainya yang telah melakukan perubahan besar, khususnya dalam hal pengetahuan Islam baik itu yang berdampak di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan, dan baik untuk tingkat Asia Tenggara yang menjadikan Aceh sebagai ladang ilmu pengetahuan.
Bibliografi
Abdul Hadi Arifin, Malikussaleh Reinterpretasi Penyebaran Islam Nusantara, (Lhokseumawe; Unimal Press, 2005).
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah ( Jakarta: Penerbit Beuna, 1983)
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII ( Bandung : Mizan, 1994)
Cut Nyak Kusmiati, “Manusia dan Kebudayaan Aceh Menjelang Kedatangan Islam”, dalam Ali Hasjmi (ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981)
Hasbi Amiruddhin, Perjuangan Ulama Aceh Di Tengah Konflik, (Jogjakarta; Ceninnets, 2004).
Ismail Jakup, Sejarah Islam Di Indonesia, (Jakarta:Widjaya)
M. Junus Djamil, Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh, Op.cit.,
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad ( Medan: Waspada, 1980)
S.M. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956),
Nofal Liata

No comments: