Jejak Orang Bawean di Vietnam

Orang-orang Bawean di Vietnam ini kemudian membangun Masjid Al Rahim dengan menggunakan bahan bangunan dari kayu.
Telisik Jejak Orang Bawean di VietnamFatima dan Imam Ally keturunan Bawean yang tinggal di Ho Chi Minh Vietnam. (BBC)
Ratusan orang keturunan Indonesia yang berasal dari Pulau Bawean tinggal di Ho Chi Minh, Vietnam, sejak masa pemerintah kolonial Belanda.
Tujuan mereka datang ke Vietnam berbeda-beda, ada yang merantau dan ada juga yang bekerja untuk pemerintah kolonial Perancis yang berkuasa di Vietnam.
Sebagian besar tak dapat pulang ke kampung halaman karena tidak memiliki dokumen kewarganegaraan dan tak lagi memiliki hubungan dengan kerabat di Pulau Bawean, Jawa Timur.
Warga Vietnam keturunan Indonesia ini disebut orang Bawean atau Boyan, dan sebagian besar tinggal di sekitar Masjid Al Rahim di Distrik 1 Ho Chi Minh.
Salah satunya adalah pemimpin Masjid Al Rahim, Imam Haji Ally (86 tahun) yang mengikuti kedua orang tuanya ke Ho Chi Minh pada penjajahan Belanda, ketika baru menginjak usia 11 tahun.
Haji Ally mengatakan ayahnya bekerja untuk pemerintah kolonial sebagai teknisi mesin.
"Ayah saya dulu kerja di bagian teknik pada masa penjajahan. Saya tak ingat betul berapa orang yang ikut dari Indonesia," jelas Ally dalam bahasa Melayu.
Imam Ally menjelaskan keturunan Bawean juga telah menikah dengan warga Vietnam, ataupun pindah ke Malaysia dan Singapura.
Tidak ada catatan yang pasti kapan orang Bawean pertama tiba di Vietnam. Tetapi masyarakat yang memiliki tradisi merantau ini diperkirakan pergi dari kampung halaman ketika masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain ke Vietnam, ada juga yang ke Singapura dan Malaysia.
Ketika itu Vietnam masih berada dalam jajahan Perancis. Orang-orang Bawean di Vietnam ini kemudian membangun Masjid Al Rahim dengan menggunakan bahan bangunan dari kayu.
Salah satu masjid tertua di Vietnam itu dibangun pada 1885. Kemudian masjid mengalami beberapa perubahan bangunan dengan dana dari sumbangan donatur. Renovasi terakhir dilakukan sekitar dua tahun lalu sama sekali mengubah bentuk aslinya.
Pakar studi Vietnam, Malte Stockhof, yang pernah meneliti tentang keturunan Bawean di Ho Chi Minh mengatakan orang-orang Bawean ini pergi dari daerah asal mereka dengan alasan beragam.
"Menurut cerita mereka, keberadaan mereka di Vietnam itu karena beberapa alasan. Yang utama ialah untuk menghindari pemerintah kolonial Belanda yang represif, menjalankan tradisi merantau dan dalam perjalanan pergi haji, mereka kemudian singgah di Singapura bekerja untuk menambah ongkos ke tanah suci Mekkah, " jelas Stockhof.
Para perantau dari Bawean kemudian ada yang memilih tinggal di Singapura dan ada juga yang melanjutkan perjalanan ke Mekkah.
Stockhof mengatakan orang-orang Bawean yang menempuh perjalanan melalui Sungai Mekong bekerja dengan para pedagang dari Tiongkok dan kemudian mencari pekerjaan ketika tiba di Saigon (Ho Chi Minh).
Tak kenal tanah leluhur
Tak ada data yang pasti mengenai jumlah keturunan dan orang-orang asal Bawean di Vietnam. Namun, Imam Ally memperkirakan sekitar 400 orang.
Dari jumlah tersebut, hampir tak ada yang menguasai bahasa Indonesia ataupun bahasa Bawean, bahkan tradisi daerah asal pun tidak ada yang diteruskan.
"Sehari-hari kita menggunakan bahasa Vietnam, hanya orang tua saja yang bisa berbicara bahasa Melayu. Ada juga anak-anak muda yang bisa bahasa Indonesia karena sekolah di sana," jelas Imam Ally.
Imam Ally menikah dengan perempuan asli Vietnam dan anak-anaknya tinggal di Singapura dan Malaysia.
Sore itu Imam Ally ditemani Fatima (27) salah seorang kerabatnya yang pernah kuliah di Indonesia. Fatima mengaku tidak mengetahui asal usul nenek moyangnya seperti rata-rata keturunan Bawean di Vietnam.
"Saya baru tahu ketika besar, saya baru mengetahui nenek cerita kalau dia orang Boyan. Dia menikah dengan kakek saya dari suku Cham. Saya pun bisa bahasa Indonesia karena kuliah di sana," jelas Fatima yang mengaku tak sempat ke Bawean selama berada di Indonesia.
"Saya tidak kenal siapa-siapa di sana, lagi pula nenek ke sini kan masih kecil sekali tak ingat apa-apa lagi," tambah ibu satu anak itu.

Jadi Warga Negara Vietnam
Menurut cerita sang nenek pula, Fatima mengetahui keturunan Bawean di Vietnam sempat sulit mengurus identitas kewarganegaraan mereka.
"Pas mereka bikin kartu (KTP) itu ga boleh karena tidak jelas asalnya dari mana, tetapi karena sudah lama di sini akhirnya diakui oleh pemerintah," jelas Fatima.
Hampir seluruh keturunan Bawean yang tinggal di Vietnam tidak memiliki identitas sebagai WNI karena mereka tiba negara tersebut ketika Indonesia belum merdeka.
Masalah kewarganegaraan ini muncul setelah Vietnam Selatan yang didukung Amerika Serikat dikalahkan oleh Vietnam Utara pada 1975.
Perubahan situasi politik dan keamanan di Vietnam membuat keturunan Bawean di Ho Chi Minh merasa khawatir, apalagi banyak juga dari mereka yang bekerja dengan AS.
Malte Stockhof mengatakan sejumlah keturunan Bawean di Vietnam berupaya untuk pulang, tetapi terkendala dokumen dan terputusnya kontak dengan keluarga di kampung halaman.
"Sebagian besar dari mereka tidak memiliki dokumen dan tidak bisa pulang ke Indonesia. Yang berhasil mengontak kerabatnya dapat pulang ke Bawean, tetapi jumlahnya sangat sedikit karena alat komunikasi yang sangat terbatas pada masa itu," jelas Stockhof.
Stockhof mengatakan bagi orang-orang Bawean yang memilki dokumen yang dikeluarkan pemerintah kolonial Perancis pun mengalami kesulitan.
"Dalam dokumen itu mereka disebut sebagai etnis Melayu. Lalu kantor Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan mereka itu Ma'alay yang artinya warga Malaysia. Selanjutnya mereka pun mendatangi perwakilan pemerintah Malaysia, tetapi ditolak karena mereka juga bukan warga negara di sana," jelas Stockhof.
Akhirnya mereka pun kembali ke kantor Kementerian Luar Negeri Vietnam dan akhirnya ditawarkan untuk menjadi warga negara Vietnam.
Akan tetapi masalah kembali muncul ketika akan mencantumkan etnisitas.
"Ketika mereka sebut berasal dari suku Bawean, tidak dikenal di Vietnam lalu ditawarkan dicantumkan sebagai etnis Cham karena sama-sama Muslim. Tetapi karena bukan orang Cham maka mereka pun menolak, akhirnya setelah pembahasan yang panjang dalam kolom suku di kartu identitas orang Bawean disebut Indonesia, padahal kan itu bukan suku tapi nama negara asal," kata Stockhof.

Enggan pulang
Keturunan Bawaen yang besar atau lahir di Vietnam ada juga yang kemudian pindah ke negara lain seperti Singapura dan Perancis yang pernah berkuasa di Vietnam. Salah satunya adalah Nur Jannah Binti Abubakar, keturunan Bawean asal Vietnam yang telah menjadi warga negara Singapura.
Nur Jannah berada di Ho Chi Minh pada pertengahan Juni lalu untuk mengurus bisnis kafe dan penginapan yang berlokasi di dekat Masjid Al Rahim.
Dia mengatakan kakeknya tiba di Vietnam ketika negara itu berada dalam jajahan Perancis. Kakeknya kemudian menetap di Ho Chi Minh.
Tetapi kekalahan pemerintah kolonial Perancis menyebabkan situasi keamanan Vietnam tidak pasti, sehingga ayahnya memutuskan untuk mengungsi ke Paris bersama anak-anaknya, kecuali Nur Jannah.
"Saya waktu itu sudah menikah dengan orang Singapura dan menjadi warga negara di sana. Adik saya ada yang ikut ayah ke Paris, lalu ada juga yang menetap di AS," jelas dia.
Meski demikian, Nur mengisahkan ayahnya memintanya untuk tetap berhubungan dengan kerabat yang berada di Pulau Bawean.
"Saya ke Bawean untuk bertemu dengan kerabat dan beberapa kali nyekar ke makam keluarga," jelas dia.
Berbeda dengan keturunan Bawean di Vietnam yang tak lagi kenal tradisi leluhur, Nur mengatakan keturunan Bawean yang tinggal dan menjadi warga negara Singapura masih berhubungan dengan kerabat di kampung halaman dan menjalankan tradisi Bawean.
Imam Ally mengatakan anak-anaknya lebih merasa sebagai orang Vietnam dibandingkan Indonesia. Sementara dirinya tidak ingin kembali ke Bawean karena tidak mengetahui apakah masih ada kerabat di sana dan khawatir jika kembali malah hidup susah.
Sumber: bbc

No comments: