Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor

Tjokroaminoto mendirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya, untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim. Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor
ilustrasi
Koran Medan Moeslimin yang didirikan Darmodiprono atau Haji Misbach
SEJAK dulu, kehormatan umat Islam telah banyak mendapat cobaan dari berbagai pihak, termasuk cobaan dalam bentuk penistaan agama. Aksi nista mereka telah ciptakan keresahan dan benturan di tengah masyarakat.
Di masa kolonial Belanda, kota Surakarta pernah diguncangkanoleh surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 No.5. Surat kabar yang diterbitkan N.V.Mij. t/v d/z Albert Rusche&Co. dan dipimpin Martodarsono itu, memuat artikel Djojodikoro yang berjudul “Pertjakapan antara Marto dan Djojo”.
Dalam artikelnya, Djojodikoro menulis“Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.” [ Lihat Takashi Shiraishi yang diterjemahakan oleh Hilmar Farid, Zaman Bergerak:Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Pustaka Utama Grafiti:Jakarta, 1997, hlm. 144]
Panjangnya seperti ini;
Marto: ‘Ah, seperti pegoeron (tempat beladjar ilmoe). Saja boekan goeroe, tjoemah bertjeritera atau memberi nasehat, kebetoelan sekarang ada waktoenja. Maka baiklah sekarang sadja. Adapon fatsal (selamatan) hoendjoek makanan itoe tidak perloe pakai nasi woedoek ajam tjengoek brendel. Sebab Goesti Kangdjeng Nabi Rasoel itoe minoem tjioe A.V.H. dan minum madat, kadang kadang kletet djoega soeka. Perloe apakah mentjari barang jang tidak ada. Meskipon ada banjak nasi woedoek, kalau tidak ada tjioe dan tjandoe tentoelah pajah sekali.’” [Abikoesno Tjokrosoejoso menerjemahkan cuplikan perbincangan yang ada di koran Djawi Hiswara ke bahasa Melayu dan dimuat di Majalah Medan Moeslimin Februari 1918, Si Djahat menghina Nabi kita (s.a.w.),hlm. 51 , Safrizal Rambe, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia:Jakarta, 2008, hlm.98]
Karena artikel ini menghina umat Islam, maka timbullah reaksi keras dan amarah terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hiswara.
Peristiwa ini oleh sejarawan Deliar Noer dipandang sebangai pertarungan antara kaum santri dan abangan. Sebab sejak beberapa tahun sebelumnya dan setelah peristiwa tersebut, kaum nasionalis Jawa yang abangan selalu melihat Islam sebagai tandingan yang berasal “dari luar”, yang hendak menekan “kepercayaan Jawa”. Mereka kemudian mendirikan Comite Voor Het Javaansch Nationalism (Panitia Kebangsaan Jawa) untuk menyalurkan aspirasi ideologis mereka. [Dikutip oleh Safrizal Rambe dari Deliar Noer, Pengantar ke Arah Pemikiran Politik, Rajawali:Jakarta Press, 1980, hlm.165]
Guncangan di Surakarta turut dirasa saudara seiman di Surabaya. Mengetahui Nabi-nya diinjak-injak, api tauhid di dada umat Islam Surabaya berkobar-kobar. Maka pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit -seorang pemimpin Al-Irsyad Surabaya dan juga komisaris Centraal Sarekat Islam- mengadakan pertemuan maraton Sarekat Islam (SI) secara besar-besaran di Surabaya, untuk membahas penistaan agama a la Djawi Hiswara.
Sementara itu, Abikoesno Tjokrosoejoso, adik dari Tjokroaminoto yang juga sekretaris SI Surabaya, lewat tulisannya di majalah Medan Moeslimin, mengecam ulah Martodarsono dan Djodjodikoro, mendorongsunan agarmenghukum keduanya, serta menggerakkan kaum muslimin untuk membela Islam.
“Soenggoeh si Marto,teroetama sekali penoelis si Djojodikoro (laanahoellahoe) soenggoeh berniat dan segadja menghina Nabi kita (s.a.w) dan djoega menghina koerang lebih 300.000.000 orang menoesia jang memeloek igama Mohammadiah.
Dan Hoofd redacteur (Sie!) Martodarsono (laanahoellahoe) sama djahatnja djoega dengan si Djojodikoro (laanahoellahoe). Soenggoehpoen “Hred” (Martodarsono) soedah menerangkan dalam nootnja, bahwa perkataan jang demikian itoe tiada boleh dimuat dalam soerat kabar, sebab mesti mendjadikan marahnja orang-orang jang sama “tidak mengerti”, tetapi “Hred” (Martodarsono) soedah koerang-adjar sekali soeka memoeatkan toelisan itoe djoega…..”
Kemudian pada awal Februari, Tjokroaminoto mendirikan Komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya, untuk “mempertahankan kehormatan Islam, Nabi, dan kaum muslim.” Diketuai oleh Tjokroaminoto sendiri, Sosrokardono sebagai sekretaris, dan Sech Roebaja bin Ambarak bin Thalib, seorang pemimpin Al Irsyad Surabaya, menjadi bendahara.
Pengaruh seruan TKNM untuk membela Islam tampak sangat memukau.Tjokroaminoto dan kawan-kawan berhasil membangun opini publik dan membuat isu Surakarta itu menasional.Ketika Vergadering (rapat umum) di Surabaya pada 6 Februari, TNKM berhasil mengumpulkan dana lebih dari tiga ribu gulden.
Reli protes yang diadakan serentak pada 24 Februari di 42 tempat di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera dihadiri oleh lebih dari 150.000 orang dan berhasil mengumpulkan dana lebih dari 10.000 gulden. Subkomite TKNM didirikan hampir di seluruh Jawa kecuali Semarang dan Yogyakarta. Sejumlah SI lokal yang terbengkalai berhasil dibangkitkan kembali di bawah pimpinan subkomite-subkomite TKNM.*
Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Pemilu 1955
DUKUNGAN TKNM juga datang dari H. Misbach, seorang muballigh yang juga pimpinan majalah Medan Moeslimin. Ia menyebarkan pamflet yang mengecam ulah Martodarsono dan Djojodikoro, serta meminta diorganisirnya vergadering protes dan dibentuknya subkomite TNKM. Lebih dari itu, ia bersama pedagang batik muslim menyumbang paling banyak kepada TNKM dan juga mempercayakan kepemimpinan TKNM pada pegawai keagamaan, kiai, dan guru ngaji.
Permintaan H. Misbach dikabulkan. Vergadering lalu diselenggarakan di Sriwedari,Surakarta, dan dihadiri oleh lebih dari 20.000 umat Islam. Sumbangan kemudian dikumpulkan, dan pendirian subkomite TKNM diputuskan. Hisamzainijnie terpilih sebagai ketua, Poerwodihardjo menjadi sekretaris, dan orang Arab, Kiai, serta pegawai keagamaan kesunanan menjadi bendahara, komisaris dan penasihat.
Mencaci Ibadah Haji
Masih di masa kolonial Belanda.Dan masih kembali terjadi penistaan agama lewat media massa. Sekitar bulan Desember tahun 1930, seperti diceritakan Ajip Rosidi, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia dan dipimpin oleh Dr. Soetomo, memuat berbagai tulisan yang merendahkan ibadah haji. Dalam tulisan-tulisan itu, penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya “menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam untuk pergi keDemak saja daripada ke Makkah. [dalam Ajip Rosidi, M.Natsir Sebuah Biografi, Girimukti Pasaka:Jakarta, 1990, hlm. 116]
Maka gegerlah umat Islam. Ormas Islam yang bergerak di bidang politik, sosial, dan keagamaan lalu mengadakan rapat-rapat umum yang menyerang penulis, Dr. Soetomo, dan Studieclub Indonesia. Di berbagai kota dibentuklah panitia-panitia untuk membentuk opini publik dalam menghadapi serangan orang-orang “kebangsaan”.
Setelah melihat reaksi umat Islam, Dr. Soetomo berusaha berdandan dengan mengatakan kepada pers bahwa ia dan ayahnya juga seorang muslim dan sering menyumbang kepada Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama. Pernyataan itu oleh Tokoh Persis, M.Natsir, dalam Majalah Pembela Islam disebut sebagai ‘sahadat model baru’.
Kehebohan Soeara Oemom habis terbenam, terbitlah tulisan nista lainnya yang dikarang oleh seorang berinisial Tj. W. di surat kabar Soeara Indonesia. Dalam tulisan itu, ia menghina rukun dan perintah agama Islam. Salah satu rukun Islam yang dihina, masih sama dengan yang sebelumnya, yaitu ibadah haji.Tulisan itu lalu dikritisi oleh M. Natsir dengan tulisannya di Majalah Pembela Islam.
“Tuan Tj. W. yang katanya mementingkan ‘Ichonomie’ amat pandai menghitung ‘beberapa kerugian’ Indonesia karena ada orang naik haji tiap-tiap tahun, tidak pernah berlaku jujur dan mempertimbangkan keluar uang itu dengan kemanfaatan yang diterima oleh orang Indonesia, dalam penghidupan politik dan ekonomi, yang nyata-nyata kelihatan tiap-tiap hari.
Apakah ini karena kebenciannya kepada Islam? Tuan Tj. W. c.s. yang amat pandai dan rajin menghitung dengan jarinya ‘kekayaan Indonesia’ yang katanya ‘hanyut’ ke tanah Arab itu, tapi tak pernah mau menghitung berapa kekayaan Indonesia yang hanyut ke tanah Eropa karena pemuda-pemuda Indonesia yang pergi ke sana beberapa tahun supaya sesudah kembalinya jadi buruh pemerintah atau kapital asing.”
Dua tulisan yang merendahkan haji ituseperti mendukung kebijakan haji pada masa Hindia Belanda. Sebab pada masa itu, Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan bermacam-macam aturan yang membatasi dan menghambat pelaksanaan ibadah haji. Alasannya karena pemerintah Belanda trauma dengan perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda banyak digerakkan oleh para haji dan ulama. [Hanibal Wijayanta, Kebijakan Haji di Hindia Belanda, http://jejakislam.net/?p=227, diakses pada 15 September 2015]
Teror PKI di Orde Sang Proklamator
Meski mendapat kecaman yang keras, namun penistaan agama masih saja berlanjut di masa orde lama. Sejak pemilu 1955, posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) Surabaya semakin menguat, terlebih didukung aparat tentara. Dengan kekuatan itu, maka pada tahun 1962 segerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani yang garang, menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya.
Mereka lalu menginjak-injak tempat suci itu sambil bernyanyi Genjer-genjer dan menari-nari. Lebih dari itu, mereka juga menginjak-injak dan membakar Al-Qur’anserta kitab-kitab lainnya.Mereka juga bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani. Terjadilah benturan antara warga Nahdiyyin dan pendukung PKI. Pasukan NU berhasil menang dan akhirnya PKI diseret ke pengadilan. [H.Abdul Mun’im DZ, Benturan NU PKI 1948-1965, Depok:Langgar Swadaya Nusantara, 2014, hlm.96]
Dasar PKI, tak kapok-kapok juga, setahun kemudian, PKI kembali berulah.Pada tahun 1962, mereka menghina Islam dengan pementasan reog, ludruk, dan ketoprak dengan lakon matinya Tuhan. Akibatnya, perkelahian antara NU dan mereka pun tak terhindarkan. */Penulis Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Bersambung Hinaan Kasar untuk Nabi Muhammad
Apabila oknum guru tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam di depan murid-muridnya, maka tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja
Hinaan Kasar untuk Nabi Muhammad di Makassar
Tumbangnya orde lama dan tegaknya Orde Baru, rupanya tak juga menghapus penistaan agama.Bila sebelumnya Nabi Muhammad dihina oleh media massa, kali ini dihina olehoknum guru beragama Kristen di Sekolah Tinggi Ekonomi, Makassar, H.K. Mangunbahan. [Baca: Mujiburrahman,ISIM Dissertations Feeling Threatened Muslim-Christian Relations In Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press: Leiden, 2006, hlm. 38]
Di hadapan murid-muridnya yang mayoritas Muslim itu, ia muntahkan kata-kata penuh kebencian.
“Nabi Muhammad adalah seorang pezina. Nabi Muhammad adalah seorang yang bodoh dan tolol, sebab dia tidak pandai menulis dan membaca.”Mendengar itu, meletuslah perasaan hati dan menaiklah darah murid-murid muslim tadi. Akibatnya, pada malam 1 Oktober 1967, beberapa gereja di Makassar dirusak dan dipecah kaca-kacanya oleh mereka.”
Kala itu Pelajar Islam Indonesia (PII) berkumpul di depan Pusat Kesehatan Muhammadiyah Makassar. Di sana, PII membuat deklarasi yang menyatakan bahwa mereka siap mati sebagai syuhada demi membela Islam.
Pada saat yang bersamaan, melalui stasiun radio HMI, pemimpin HMI, Jusuf Kalla ( yang sekarang menjadi Wakil Presiden RI), menginstruksikan semua anggota HMI dan organisasi Muslim lainnya untuk datang ke daerah dekat masjid pada pukul 8 malam. Setelah shalat Isya, terjadi penyerangan oleh beberapa orang. Mereka mulai merusak beberapa bangunan kaum Kristen. Teriakkan “Allahu Akbar, belaa agamamu, jadilah syahid!” keluar dari pengeras suara masjid.
Setelah itu, barulah Dewan Gereja Indonesia Makassar mengkonfirmasi bahwa pernyataan H.K. Mangunbahan adalah pernyataan pribadi dan menyalahkan perbuatan oknum guru tersebut.
Berita pengrusakkan beberapa gereja di Makassar, tersiar sampai Jakarta. Di Jakarta, Tokoh Masyumi, M. Natsir, menilai aksi tersebut tidak baik dan tentu melukai kaum Kristen. Namun, Perdana Menteri pertama Indonesia itu menegaskan hendaknya persoalan ini tidak dilihat secara symptomatis approach, yaitu dengan hanya melayani gejala yang kelihatan.
“Ibarat orang yang sakit malaria, kepalanya panas lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit itu sendiri. Karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang beragama lain. Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang serius.”
Sahabat M.Natsir, Buya Hamka, juga turut menanggapi. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama itu menegaskansesungguhnya tidak ada orang Islam yang menyukai pengrusakkan gereja. “Kalau merusak gereja memangajaran Islam, lanjutnya, maka sudah lamalah beratus-ratus gereja di kota-kota yang mayoritas penduduknya muslim dan sadar akan agamanya, telahdirusak dan diruntuhkan orang. Namun kenyataannya berpuluh tahun sebelum anak-anak merusak gereja di Makassar itu , telah banyak gereja-gereja berdiri di tengah kota Makassar.” [M.Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, Peladjar dan Bulan Sabit:Bandung, 1969, hlm. 188-189]
Apabila oknum guru tadi tidak memancing-mancing dengan menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam di depan murid-muridnya, maka tentu umat Islam tidak akan merusak gereja-gereja itu.
Prahara Sastra
Pada tahun 1968, dunia sastra dihebohkan dengan terbitnya Cerpen berjudul “Langit Makin Mendung” karangan Kipandjikusmin. Cerpen yang dimuat di majalah Sastra edisi Agustus 1968 No. 8 Th. VI itu dinilai telah menodai kesucian agama Islam.
Dalam cerpennya, Kipandjikusmin menceritakan kondisi masyarakat Indonesia pada saat zaman Gestapu yang masih dikuasai oleh paham Nasionalisme Agama Komunisme (Nasakom). Idenya menulis Cerpen itu berawal dari rasa geli melihat golongan yang dahulu mendukung PKI, malah berbalik menyerang PKI setelah PKI terganyang. “Saja mau bilang bahwa umat Islam ikut bersalah djuga dengan meletusnja Gestapu!” . Namun masalah mencuat manakala ia mengimajinasikan Tuhan, Nabi, dan Malaikat seperti makhluk biasa dalam cerpennya.
Tuhan digambarkanmenggeleng-gelengkan kepala, memakai kacamata emas,dan mengangguk-angguk.
“Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng2kan kepala, tak habis pikir pada ketidak_puasan dibenak manusia.”
“Kemarau kelewat pandjang disana. Terik matahari terlalu lama membakar otak2 mereka jang bodoh. (Katjamata model kuno dari emas diletakkandiatas medja dari emas pula).”
“Tuhan hanja mengangguk2, senjum penuh pengertian_ penuh kebapaan.”
Nabi Muhammaddan Malaikat Jibril dilukiskan menyamarmenjadi seekor elang.
“Sampai djuga ketelinga Muhammad dan Djibrail jang mengubah_diri sepasang burung_ elang. Mereka bertengger dipuntjak menara emas bikinan pabrik Djepang. Sepasang elang terbang di udara sendja Jakarta jang berdebu, menjesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.“
Kontroversi pun akhirnya pecah. Para ulama dan masyarakat memprotes Kipandjikusmin. Protes pertama terjadi Medan.*
Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor
Harian KAMI tanggal 25 Oktober 1968 yang memuat berita kasus pelecehan agama
Dan menurut Taufiq, kebebasan menampilkan Tuhan, Rasul, dan para Nabi ada batasannya. Batasannya, lanjut Taufiq, adalah adab dan logika yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits
KARYA ini dinilai menghina dan melecehkan agama Islam. Sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang dan menyita majalah Sastra No. 8 edisi Agustus tahun 1968. [Baca Arum Wahyuningtias & Septina Alrianingrum, UPAYA HB. JASSIN DALAM PENYELESAIAN POLEMIK HEBOH SASTRA CERPEN “LANGIT MAKIN MENDUNG” KARYA KIPANJIKUSMIN DI MAJALAH SASTRA TAHUN 1968-1970 AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah Volume 3, No. 2, Juli 2015 diterbitkan Universitas Negeri Surabaya, hlm. 247]
Menghadapi itu, Pimpinan Majalah Sastra, Darsjaf Rahman,malah balik protes dan menuntut Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Protes ini dilayangkannya atas dasar nilai-nilai asasi perjuangan kemerdekaan pers yang menjiwai pers Indonesia. Ia juga meminta bantuan dan dukungan penuh dari SPS, PWI, serta seluruh simpatisan majalah Sastra. [HARIAN KAMI, Rabu 23 Oktober 1968, Sastra Adukan Kedjaksaan Tinggi Sumut, hlm.1]
HB Jassin, selaku Pemimpin Redaksi Majalah Sastra juga malah ikut protes. Menurutnya, Cerpen Kipandjikusmin tidak menghina agama Islam.
“Bagi saja pengarangnja mentjoba mengatakan, bagaimana seandainja para Nabi menjaksikan kebobrokan jang ada di sekitar kita. Ia menggambarkan suatu idee, bukan Tuhan dan Nabi sendiri. Saja anggap tuduhan ‘menghina agama Islam’ tidak bisa dikatakan setjara mutlak. Pengertian ‘penghinaan’ itu relatif sekali. Bagi saja LANGIT MAKIN MENDUNG tidak menghina agama.”
Setelah itu, sekelompok pemuda dari Ormas Islam mendatangi kantor majalah Sastra dan rumah HB. Jassin. Mereka menuntut Darsjaf Rachman untuk menarik kembali Cerpen Kipandjikusmin “Langit Makin Mendung” dan meminta maaf kepada umat Islam. Apabila tuntutannya tidak dikabulkan,maka mereka mengultimatum tidak akan bertanggung jawab manakala terjadi tindakan fisik di kantor majalah Sastra dan kepada pemimpin-pemimpinnya. Tindakan fisik itu, kata mereka, akan datang dari pemuda-pemuda Ansor, Muhammadiyah, PMII, dan HSBI.
Tapi Darsjaf Rachman menolak tuntutan mereka. Sebab, katanya, peristiwa itu bukanlah sekadar soal antara majalah Sastra dan mereka. Ia juga menolak memberitahu nama dan alamat pengarang Kipandjikusmin ketika seseorang menanyakan hal itu. “Hal itu sepenuhnja termasuk rahasia redaksi dan saja berkewadjiban untuk tidak menjiarkannja.” [HARIAN KAMI, Kamis 24 Oktober 1968, Madj. “Sastra” Diantjam oleh Segerombolan Pemuda Darsjaf Rachman&HB Jassin Menolak Tuntutan Mereka, hlm. 1]
Senin malam pukul 18.30, rumah HB. Jassin didatangi enam pemuda muslim. Mereka berdebat dengan HB Jassin tentang kebebasan mencipta. Pada kesempatan itu, HB. Jassin juga menolak tuntutan mereka untuk mencabut kembali Cerpen “Langit Makin Mendung”.
Kamis pagi, sekitar lima puluh pemuda mendatangi dan mencoret-coret kantor majalah Sastra yang terletek di Jalan Kramat Sentiong No.43. Sebelum melakukan aksinya itu, sekelompok pemuda itu terlebih dahulu menanyakan keberadaan pemimpin redaksi dan penanggung jawab Majalah Sastra kepada penjaga kantor. Dan penjaga kantor menjawab tidak ada.
Setelah mendengar jawaban itu, sekelompok pemuda tersebut menempelkan pamflet dan mencoret-coret dinding kantor Majalah Sastra. Di pamflet dan dinding itu tertulis, “Orde Baru takkan sukses selama masih ada madjalah SASTRA”, “Ini Kantor LEKRA”, “Madjalah Sastra Komersil dari Lekra dan PKI”, “H.B. Jassin kunjuk”, “Madjalah Sastra anti Islam”, “H.B.Jassin Islam-phobi”, “Madjalah Sastra hina ummat Islam”, H.B. Jassin adalah tangan2 kotor G30S/PKI“ dan lain sebagainya. Di semua pamflet yang ditempel, terdapat stempel “Gerakan Pemuda Ansor Tjabang Senen”.Sebelum meninggalkan tempat, mereka juga sempat menurunkan dan mencoret-coret papan nama majalah Sastra. [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968, Pemuda2 Lantjarkan Aksi Liar terhadap Kantor “Sastra” Pemuda Ansor tjbg Senen Ikut? hlm. 1]
Aksi protes juga datang dari Pemuda Mahasiswa dan Peladjar Islam (PMPI). Kamis pagi, Koordinator pusat PMPI, mengadukan Pemimpin Redaksi/Penanggung jawab majalah Sastra kepada Kejaksaan Agung. Menurut pimpinan PMPI, pengaduan itu disertai fakta-fakta tentang bentuk penghinaan terhadap umat Islam, diantaranya tentang penggambaran Tuhan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968, Statement Pimpinan “Sastra” Keutuhan Ummat Islam Hrs. Didjaga, hlm.3]
Para sastrawan pun bereaksi. Situasi makin memanas. Sastrawan-satrawan yang kontra terhadap Cerpen “Langit Makin Mendung” diantaranya: Jusuf Abdullah Puar, Buya Hamka, Wiratmo Soekito, Moh. Zabidin Jacub SH, Ajib Rosidi, dan Abdul Muis , dan Taufiq Ismail. Buya Hamka menegaskan bahwa dalam ajaran Islam, tidak boleh menggambarkan sosok Tuhan. Hal senada juga ditegaskan oleh Ajib Rosidi dan Taufiq Ismail.
Menurut Ajib, kebebasan mencipta dengan menggunakan imajinasi mempunyai batasan-batasan dan tidak sepenuhnya bebas. Dan menurut Taufiq, kebebasan menampilkan Tuhan, Rasul, dan para Nabi ada batasannya. Batasannya, lanjut Taufiq, adalah adab dan logika yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. “Men-zat-kan Tuhan dalam karya sastra, mengenakan padanya jasmani duiawi, sudah merupakan usaha2 literer yang melampaui batas kebebasan bagi seorang muslim yang mengerti aqidah. Demikian Agungnya Dia, sehingga tidaklah dapat Dia dirupakan dengan sesuatu. Kalau pun Dia dirupakan dgn sesuatu, maka bukannlah dia itu Tuhan. Salah satu sifat Allah adalah “mukhalafatuhulil hawaditsi”, jakni “tidak menjerupai sesuatu.”
Mengarungi gelombang protes, Darsjaf Rahman selaku Pemimpin Umum majalah Sastra, akhirnya meminta maaf kepada umat Islam.
“Sebagai suatu imaginasi dalampengungkapan jang bersifat fiktif dalam sedjarah kesusastraan Islam, terutama dalam dialog antara machluk dgn chalikNja bukan suatu hal jang baru.
Tetapi djika ada persoalan2 di dalam pengungkapan mengenai Tuhan dan RasulNja jang menurut tanggapan seseorang atau golongan berdasarkan DZOUQ masing2 tidak dapat diterima jang berhubungan dengan soal2 jang bersifat Agung, dlm hal inidjika madjalah Sastra terlalai dan tersalahkan, maka madjalah Sastra mohon maaf sebesar2nja.
Kepada Allah Azza wa Djalla kiranja berkenan memberikan maghfiroh-Nja.” [HARIAN KAMI, Jum’at 25 Oktober 1968]*.
Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor
HB Jassin, selaku Pemimpin Redaksi majalah Sastra
Penulis pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) …musibah  
Cerpen HJ YassinTeledor Tablid Monitor

No comments: