Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor part 5

Akhrinya, HB. Jassin dijebloskan ke penjara setelah keputusan dibacakan oleh Hakim Ketua Anton Abdulrachman SH pada sidang hari Rabu, 28 Oktober 1970. Dari Harian Djawi Hiswara, PKI Hingga Tabloid Monitor [5]
Arswendo Atmowiloto dan cover Majalah Tempo yang memuat berita Tabloid Monitor
KEEMPAT

Setelah mengetahui reaksi dari berbagai kalangan, Kipandjikusmin pun, lewat suratnya, bersedia meminta maaf dan mencabut Cerpennya.
“Sebermula sekali2 bukan maksud saya untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata2 hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi shallalahu ‘Alaihi Wassallam, Surga dll; disamping menertawakan kebodohan dmasa regime Soekarno. Tetap rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan dikalangan ummat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam.
Atas semuanya, saya dengan segala keterbukaan hati mohon dimaafkan oleh segenap ummat Islam atas keteledoran itu. Konsekwensi yang logis dgn ini saya menyatakan bersedia mencabut cerpen tsb kemudin dianggap tak pernah ada.”
Setelah membaca surat permintaan maaf dari Pimpinan Majalah Sastra dan Kipandjikusmin, PMPI menganggap tuntutan terhadap majalah Sastra selesai. Namun begitu, PMPI tetap meminta pihak majalah Sastra berusaha menarik majalah Sastra No.8 dari tempat-tempat penjualan. [ HARIAN KAMI, Sabtu 26 Oktober 1968, PMPI Pusat: Tuntutan thd. “Sastra” Dianggap Selesai tapi Minta Sastra No.8 Ditarik dari Peredaran, hlm. 1]
Kalau sudah ditarik, kata PMPI, rencana semula mengadukan Majalah Sastra ke Kejaksaan Agung, akan ditangguhkan. PMPI juga mengharapkan Kejaksaan dapat membantu terlaksananya penarikan Majalah Sastra No.8 dari peredaran.
Esoknya, di edisi Majalah Sastra Oktober 1968, Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin mengumumkan bahwa, “Madjalah SASTRA No.8/Agustus 1968 tidak akan diedarkan lagi dan kepada agen-agen madjlah Sastra jang masih punja persediaan nomor tersebut diharapkan memperhatikan hal itu.” [ Majalah Sastra Oktober 1968, Surat kepada Para Pembatja]
Mereka juga menjelaskan bahwa pada hari Senin, tanggal 28 Oktober 1968, Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat telah memanggil Pimpinan majalah Sastra terkait persoalan majalah Sastra No.8. Usai pembicaraan, mereka mengungkapkan, “Untuk memelihara perdamaian diantara sesama ummat Islam dan untuk menghindarkan segala sesuatu jang bisa merusakkan persatuan diantara ummat Islam, maka pimpinan madjalah Sastra telah mengambil kebidjaksanaan pula, sesuai dengan sikap Badan Pusat Koordinasi PMPI terhadap Sastra, membatalkan pengaduannja terhadap Kedjaksaan Tinggi Sumut di Medan.”
Rupanya gelombang protes belum benar-benar reda. Meski kelihatannya telat, Menteri Agama, K.H. Mohd Dachlan, di HARIAN KAMI 29 Oktober 1968, menganggap Cerpen “Langit Makin Mendung” merupakan penghinaan terhadap Tuhan, agama, para Nabi, malaikat, para kiai/ulama, pancasila dan UUD 1945. [HARIAN KAMI, Selasa 29 Oktober 1968, Menteri Agama Mengenai “Langit Makin Mendung” Penghinaan terhadap Tuhan Para Nabi, Malaikat, Pantjasila&UUD’45, hlm.1]
Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa Kipandjikusmin dan Penanggung jawab majalah Sastra wajib ditindak tegas oleh Kejaksaan Agung dan harus diseret ke meja hijau dengan menghadirkan penasihat dari ahli agama.
“Permintaan maaf oleh penanggung djawab Madjalah Sastra dan penulis tjerpen ‘Langit Makin Mendung’ tidak sebanding dengan besarnja penghinaan jang telah dilontarkan kepada Allah dan Rasulnja jang didjundjung tinggi oleh 560 djuta ummat Islam di seluruh dunia.”
Bahkan ia sampai memberikan tanggapan dan mengirim surat kepada Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, Menteri Penerangan, Menteri P dan K, Panglima AKRI, Pusroh keempat angkatan, PWI Pusat, dan PWI DCI Djaya terkait masalah itu.
Polemik Cerpen “Langit Makin Mendung”akhirnya dibawa ke pengadilan. Meskipun pengarang pada tanggal 25 Oktober 1968, meminta maaf atas Cerpennya, namun sebagai pemimpin redaksi Majalah Sastra, HB. Jassin, tetap harus bertanggung jawab.
Penyelesaian di meja hijau pun berlangsung alot. Adu pendapat rupanya tidak hanya terjadi di media massa, tapi juga di pengadilan. HB. Jassin dalam persidangan sering mengingatkan bahwa cerpen “Langit Makin Mendung” adalah hasil imajinasi dan personifikasi pengarang yang mempunyai dunia lain. Ia memberikan pernyataan dan kesaksian bahwa karya tersebut adalah hasil imajinasi semata, sehingga tidak dapat disamakan dengan hukum atau kitab agama. Akibatnya proses persidangan berlarut-larut sampai sekitar satu tahun, dari mulai 30 April 1969 sampai penjatuhan hukuman pada 28 Oktober 1970.
Akhrinya, HB. Jassin dijebloskan ke penjara setelah keputusan dibacakan oleh Hakim Ketua Anton Abdulrachman SH pada sidang hari Rabu, 28 Oktober 1970.
“Terdakwa Hans Bague Jassin (53 th) selaku penanggung jawab Majalah Sastra terbukti bersalah melakukan penyalah gunaaan dan penodaan terhadap agama Islam. Oleh karenanya terdakwa dikenai hukuman penjara bersyarat selama 1 tahun dalam masa percobaan 2 tahun. Dengan barang bukti berupa naskah asli dari cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin yang menurut Hakim nyata-nyata menghina agama Islam dan sejumlah Majalah Sastra terbitan bulan Agustus no. 8 tahun ke VI yang memuat cerpen tersebut disita. Disamping itu terdakwa juga diwajibkan membayar segala biaya perkara.”
Menariknya, prahara sastra ini membuat HB. Jassin semakin mendalami ilmu agama. Setalah menyelesaikan perkara, ia semakin giat belajar bahasa Arab, Al-Qur’an, dan kesusastraan. Bahkan ia sampai membuat buku terjemahan Al-Qur’an.
Peringkat Teledor A la Tabloid Monitor
Bulan September 1990, sebuah tabloid milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG),Monitor,menggagas program Kagum 5 Juta, sebuah program pengumpulan pendapat pembacanya tentang tokoh yang paling dikagumi beserta alasannya. Dan bagi pemenang yang beruntung, akan dihadiahi lima juta rupiah oleh Monitor. Antusias pembacanya dalam mengikuti program itu terbilangtinggi. Seluruh kartu pos yang masuk ke meja redaksi berjumlah 33.963 lembar.
Senin, 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket. Di hasil angket, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menempati urutan kesebelas sebagai tokoh yang dikagumi pembaca, satu tingkat dibawah pemimpin redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto.
Urutan pertama, Presiden Soeharto (5.003 responden),kedua, BJ Habibie (2.975), Soekarno (2.662), Iwan Fals (2.431), KH Zainuddin MZ (1.633), Jenderal Try Sutrisno (1.447), Saddam Hussein (847), Ny Hardiyanti Indra Rukmana (800), Menpen H Harmoko (797) dan Arswendo Atmowiloto (663).[Baca: Tabloid Monitor No.255/IV Senin, 15 Oktober 1990, Ini Dia: 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca Kita, hlm. 15]
Sontak hasil ini menuai protes.Monitor tidak hanyadianggap telah melecehkan Nabi Muhammad, tapi juga membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Umat Islam pun bereaksi. MUI, HMI, dan Pemuda Muhammadiyah gencar memprotes Monitor.
Seminggu setelahnya, pada 22 Oktober 1990, Tabloid Monitor mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas program Kagum 5 Juta, serta mencabut tulisan tersebut.
“Kami, seluruh karyawan Monitor, memohon maaf yang sebesar-besarnya karena berbuat khilaf memuat Ini Dia:50 TokohYang Dikagumi Pembaca Kita dalam terbitan no.225/IV 15 Oktober 1990. Pemuatan tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang keliru dan dapat menyinggung perasaan, khususnya umat Islam. Dengan ini, kami mencabut tulisan terebut dan menganggap tidak pernah ada.”
Namun demikian, karena semakin gencarnya protes yang dilayangkan kepada Monitor, pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko, pada Selasa 23 Oktober 1990, mencabut surat izin penerbitanMonitor. Kemudian, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta, mengeluarkan surat yang isinya memberhentikan Arswendo Atmowiloto dari keanggotaan PWI dan mencabutrekomendasinya untuk Arswendo sebagai pemimpin redaksi.Puncaknya, Arswendo diadili dan dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun. [Lihat : Cover Tabloid Monitor No.258/IV Senin, 22 Oktober 1990, Mohon Maaf]
Itulah sebagian aksi nista dari masa ke masa. Aksi nista yang selalu berbalas reaksi bela agama hingga berujung nestapa. Tapi ironisnya, warisan jahat masa kolonial Belanda, orde lama, dan orde baru itu seolah malah diperebutkan dengan syahwat oleh musuh-musuh kita di masa kini. Mereka amat semangat berlomba-lomba nistakan Islam lewat tulisan, lisan, karikatur, pendidikan, bahkan sampai kebijakan Undang-Undang Penodaan Agama ingin dicabutnya. Mereka ingin mendulang bibit-bibit baru penista agama.
Namun perlu mereka ketahui, bahwa meski Islam terus menerus dihina, sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwa umat Islam tak lelah-lelah membela agamanya. Sebab itulah, Islam tak hilang sampai kini di Indonesia atas kehendak-Nya.*/Penulis Muhammad Cheng Ho, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Muhammad Cheng Ho

No comments: