Hukum untuk ‘Sahabat Raja’ (1) PARA ulama bersepakat terhadap haramnya dadu tanpa taruhan, tetapi berbeda pendapat mengenai bermain catur. Tentang keharaman dadu berdasarkan hadits shahih Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam,
“Barangsiapa bermain dadu, maka seakan-akan melumuri tangannya dengan daging babi dan darahnya.” (Diriwayatkan Muslim).
Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Barangsiapa bermain dadu ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Diriwayatkan Malik, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, dan Baihaqi. Hakim mengatakan hadits ini shahih).
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, “Bermain dadu adalah judi bagai melumuri (tubuh) dengan lemak babi.”
Adapun catur, sebagian ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan atau tidak. Adapun dengan taruhan, semua sepakat bahwa hal itu merupakan judi. Sedangkan tanpa taruhan, sebagian besar ulama berpendapat sama, yakni judi.
Dalam sebuah riwayat dari Syafi’i, membolehkan hal itu jika hal itu dilakukan pada saat senggang dan tidak melalaikan kewajiban serta menghalangi shalat pada waktunya.
Imam Nawawi Rahimahullah ditanya tentang bermain judi melalui catur, haram atau boleh? Ia menjawab, “Ia adalah haram menurut banyak para ulama.”
Ia juga ditanya tentang bermain catur raja: Boleh atau tidak, berdosakah orang yang melakukannya? Ia menjawab, “Jika hal itu menyebabkan seseorang ketinggalan shalat pada waktunya, atau hal itu dilakukan dengan taruhan, maka ia haram. Jika tidak, maka ia makruh menurut Syafi’i dan haram menurut imam lain.”
Dalil sebagian besar ulama yang mengharamkan catur adalah firman Allah Ta’ala,
Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu).” (Al-Maidah: 3).
Sufyan dan Waki’ bin Jarrah berkata, “Maksudnya adalah catur.” Sedangkan Ali bin Abi Thalib berkata, “Catur adalah perjudian orang-orang ‘Ajam (non-Arab).”
Ali pernah melewati suatu kaum yang sedang bermain catur, “Patung-patung apakah yang kalian tekuni ini? Salah seorang di antara kalian memegang bara api hingga ia padam lebih baik dari pada memegang catur ini.” Ia melanjutkan, “Demi Allah, untuk selain hal inilah kalian diciptakan.”
Ali Radhiyallahu Anhu berkata lagi, “Pemain catur adalah orang paling berdusta. Seseorang di antara mereka berkata, `Aku telah membunuh, padahal ia tidak membunuh. Ia mati, padahal tidak mati.”
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu Anhu berkata, “Tidak ada orang yang bermain catur kecuali ia telah melakukan kesalahan.”
Seseorang berkata kepada Ishaq bin Rahawaih, “Apakah menurutmu bermain catur itu mengandung bahaya?” Ia menjawab, “Semuanya berbahaya.” Ada yang berkata kepadanya bahwa para pasukan penjaga perbatasan bermain catur untuk strategi perang, ia berkomentar, “Itu adalah kemaksiatan.”
Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi ditanya tentang bermain catur dan ia menjawab, “Orang yang bermain catur akan diarak pada hari Kiamat atau dikumpulkan bersama orang-orang sesat.”
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma ditanya tentang catur dan ia menjawab, “Ia lebih buruk dari dadu.” Tentang haramnya dadu telah dijelaskan persoalannya.
Imam Malik bin Anas Rahimahullah juga ditanya tentang catur dan ia menjawab, “Catur termasuk dadu.”
Dikisahkan bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma pernah menjaga harta anak yatim. Ia lalu mendapatkan catur berada pada harta peninggalan bapaknya. Maka, “Aku membakarnya. Jika saja bermain catur diperbolehkan niscaya aku tidak diperbolehkan untuk membakarnya karena harta itu adalah milik anak Yatim. Namun karena permainan itu haram maka aku membakarnya, sebab ia sama dengan khamr. Jika terdapat khamr pada harta anak itu, ia wajib ditumpahkan, demikian pula catur.”
Begitulah pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu yang dikenal sebagai Habrul Ummah (Tintanya Ummat).

ADA yang berkata kepada Ibrahim An-Nakha’i, “Bagaimana pendapatmu tentang catur?” Ia menjawab, “Catur itu terlaknat.”
Di dalam Jami’-nya, Abu Bakar Al-Atsram’ (sahabat Imam Ahmad, meninggal tahun 273 H) meriwayatkan dari Watsilah bin Al-Asqa’ dari Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat makhluk-Nya setiap harinya enam ratus kali. Dan bagi sahabat raja, yakni pemain catur, tidak ada jatah. Karena ia mengatakan, ‘raja mati’”
Dan dengan sanadnya sendiri Abu Bakar An-Ajri meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Jika kalian melewati mereka, orang-orang yang main judi dengan azlam (anak panah), dadu, atau catur serta main lain yang melalaikan, maka janganlah kalian mengucapkan salam. Karena jika mereka telah berkumpul dan mengerumuni benda-benda itu, syetan dan tentara-tentaranya datang kepada mereka mengelilingi mereka. Jika salah seorang dari mereka pergi dan memalingkan pandangannya darinya, syetan bersama tentaranya memukulnya. Mereka terus-menerus bermain hingga bubar, mereka bagai sekawanan anjing yang mengerumuni bangkai, anjing-anjing itu memakannya hingga kenyang perutnya kemudian bubar. Hal itu karena mereka berdusta dengan mengatakan, ‘Skak mat (Raja telah mati).’”
Abu Hurairah meriwayatkan lagi bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Orang yang berat siksanya pada hari Kiamat adalah ‘sahabat raja’, yakni pemain catur. Tidaklah kamu melihatnya mengatakan, ‘Aku telah membunuhnya, demi Allah ia telah mati. Demi Allah, ia mengada-ada dan berdusta terhadap Allah.”
Mujahid berkata, “Tidak seorang pun yang meninggal kecuali ditampakkan kepadanya teman-teman dekatnya yang dulu duduk-duduk bersamanya. Seseorang yang dulunya bermain catur menghadapi kematian dan dikatakan kepadanya, “Katakan La ilaha illallah!” Ia berkata, “Skak!” Lalu ia mati. Maka kebiasaan yang selalu diucapkannya selama hidupnya ketika bermain lebih dominan dan mengganti kalimat keikhlasan (kalimat Tauhid) dengan kata, “Skak!”
Demikian pula yang menimpa orang lain, orang yang terbiasa bergaul dengan tukang mabuk. Saat menjelang ajal, di-talqin-lah ia mengucapkan syahadat. Ia justru berkata, “Minumlah dan beri aku minuman!” Lalu ia mati. La haula wala quwwata illa billahil Aliyyil Adzimi.
Juga disebutkan dalam sebuah hadits bahwa, “Tiap-tiap manusia akan mati sebagaimana ia hidup dan akan dibangkitkan sebagaimana ia mati.” */Adz-Dzahabi, dari bukunya Al-Kabair-Galaksi Dosa.

No comments: