Saksi Bisu Sejarah Peristiwa Rengasdengklok

Djiauw Kie Siong tidak berperan apa-apa dalam perjuangan kemerdekaan, sampai saat rumah yang ia miliki kemudian dijadikan tempat penyusunan teks proklamasi.
Saksi Bisu Sejarah Peristiwa RengasdengklokMonumen kebulatan tekad di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. (Kompas/Jonathan Adrian)
Nama Djiauw Kie Siong hampir tidak pernah disebut dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Babah Djiaw (begitu ia biasa dipanggil) merupakan petani yang tinggal di pinggir Sungai Citarum, daerah Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Ia memang tidak berperan apa-apa dalam perjuangan kemerdekaan sampai saat rumahnya digunakan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi.

Peristiwa yang kini dikenal dengan peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan Soekarno dan Hatta yang dilakukan oleh pemuda kelompok Menteng 31, 16 Agustus 1945. Kedua tokoh ini dibawa ke markas tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Rengasdengklok.

Setelah memperoleh kesepakatan, kedua tokoh ini dibawa ke wilayah yang agak jauh dari rumah warga. Di sinilah Babah Djiauw berperan. Rumah yang ia miliki kemudian dijadikan tempat penyusunan teks proklamasi.
Saat itu Babah Djiauw yang tidak kenal dengan Soekarno-Hatta memilih pergi bersama anak-anaknya dan membiarkan kediamannya digunakan sebagai tempat penyusunan proklamasi. Awalnya, teks proklamasi akan dibacakan langsung di tempat ini juga. Upacara penaikan bendera sudah diadakan.
Rumah Djiauw Kie Siong di ...Rumah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. (Kompas/Jonathan Adrian)

Pembacaan batal karena kedatangan Ahmad Subardjo yang mengundang Soekarno-Hatta membacakan teks di Pegangsaan Timur. Akhirnya teks proklamasi dibacakan tanggal 17 Agustus 1945.
Babah Djiauw wafat tahun 1964. Bagian depan rumahnya dipindahkan ke wilayah Kali Jaya, Rengasdengklok untuk menghindari abrasi sungai. Kamar tempat Soekarno dan Hatta menginap masih terjaga dengan baik.
Namun kasur yang digunakan Soekarno saat itu sudah dipindahkan ke Museum Tentara di Bandung atas perintah Mayjen Ibrahim Adjie yang saat itu menjabat Panglima Divisi Siliwangi.

Sementara markas PETA sendiri sudah dibongkar. Di lahan itu dibangun Monumen Kebulatan Tekad. "Ini dibangun tahun 50-an, seharga 17.500 rupiah," ujar Idris pemandu lokal, Kamis (3/9/2015).
(Jonathan Adrian/ Kompas

No comments: