Tragikomedi Perang Salib dan Penghianatan Assassin

Tragikomedi Perang Salib dan Penghianatan Assassin
Wiki
Ilustrasi Tentara Salib di Kota Acre
Gelombang yang akhirnya mulai menerpa dan mengancam para Kesatria Salib Franj adalah serentetan pemimpin Muslim yang masing-masing lebih besar dari yang pernah ada.
Yang pertama di antara mereka adalah Jenderal Imaduddin Zanki dari Turki, yang memerintah Mosul, lalu mengambil Aleppo, dan kemudian menyerap kota-kota lainnya yang dikuasai Franj, dan pada akhirnya membuat sebuah teritorial yang ia sebut Suriah Bersatu, Zanki adalah rajanya.
Inilah kebangkitan awal sejak lima puluh tahun, sebuah negara Islam lebih besar daripada satu kota dan sekitarnya di Syam.
Pasukan Zanki dihormati karena dia sosok prajurit arketipal. Hidup apa adanya sebagaimana rakyatnya, makan apa yang mereka makan, dan tidak angkuh. Dia lalu menebar semacam propaganda bahwa umat Islam memiliki musuh bersama (common enemy) lalu mengatur kampanye melawan musuh itu.
Pertama, ia menyaring habis seluruh kelemahan mesinnya dengan melenyapkan para penjilat dari istana serta para pelacur dari pasukannya, dan terpenting, dia membangun jaringan informan propagandis di seluruh Suriah untuk memastikan semua gubernurnya tetap sejalan.
Tahun 1144, Sang Jenderal menaklukkan Edessa, yang menahbis dirinya menjadi pahlawan bagi dunia Muslim. Edessa bukanlah kota terbesar di Timur, tapi merupakan kota pertama yang cukup besar yang berhasil direbut kembali kaum Muslimin dari pasukan Salib, dan dengan merebut Edessa berarti merampas salah satu dari empat ‘Kerajaan Tentara Salib’, dan gelombang harapan mulai menjalar ke segenap pelosok Syam, di lain pihak, gelombang kecemasan telah menerpa Eropa Barat, lalu menginspirasi para raja dan pemuka agama untuk melancarkan: Perang Salib Kedua.
Zanki, mendorong dan mendukung para khatib di masjid-masjid untuk mengobarkan semangat jihad sebagai alat mempersatukan umat, dan itu sangat efektif. Sayangnya, Sang Jenderal memiliki kekurangan secara personal, dan tentu saja tidak disenangi para ulama. Karenanya dianggap tidak layak memimpin pasukan jihad.
Hal terpenting dari jasa Jenderal Zanki adalah ia telah menciptakan sebuah gerakan Anti-Salibis yang dapat dilanjutkan oleh penguasa lain yang lebih shaleh dan maju ke depan sebagai panglima jihad. Ia telah membangun kanal untuk diairi generasi mendatang.
Itulah kenyataannya, putra penerus tahtanya, Nuruddin Mahmud Zanki. Nuruddin Zanki memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sang ayah. Meskipun memiliki energi kemiliteran sama dengan ayahnya, Nuruddin berperawakan lebih halus, diplomatik, dan shaleh. Dia menyerukan umat Islam untuk bersatu berpegang teguh pada ajaran Ahlus Sunnah wal-Jamaah. Karena itu, sejarawan Barat menjulukinya sebagai pemimpin dogmatis dan menjadikan jihad sebagai salah satu tujuan dalam beragama.
Ia telah menghidupkan citra tentang orang adil dan Shaleh yang berjuang bukan untuk ego, atau kekayaan, kekuasaan, tapi untuk umat. Dan, telah membangunkan umat dari mimpi panjang, mengembalikan kesadaran mereka, dan hebatnya, ia dapat memelihara semangat jihad yang dapat digunakan penguasa lain yang lebih besar dan mampu menyusun kemenangan politik dalam arti sesungguhnya.
Dalam kisahnya, Nuruddin Zanki, pernah bermimpi berkali-kali, Nabi minta tolong padanya, kenyataannya, ada orang Yahudi sedang menggali kuburan Nabi untuk mencuri jasadnya.
Pemimpin dan penguasa yang datang setelahnya adalah Salah Al-Din Yusuf ibn Ayub, bahasa Kurdish disebut Silhedine Eyubi. Bahasa Parsinya Selahuddin Eyyubi. Orang Barat menyebutnya, Saladin. Tapi umat Islam mengenalnya sebagai Shalahuddin Al-Ayyubi, keponakan salah satu jenderal tinggi Nuruddin Zanki.
Pada tahun 1163, Nuruddin mengirim paman Shalahuddin untuk menaklukkan Mesir di bawah Dinasti Fathimiyah, ia memang Ahlus Sunnah yang paham akan bahaya dan kesesatan Syiah. Sekaligus untuk berjaga-jaga jangan sampai direbut oleh Tentara Salib atau menghindari adanya kerjasama pasukan Salib dan Syiah.
Sang Jenderal, membawa serta ponakannya, lalu berhasil merebut Mesir, dan tak begitu lama kemudian, ia pun wafat, meninggalkan Shalahuddin sebagai pewaris tanggungjawab. Secara resmi, Mesir masih milik Dinasti Fathimiyah, namun kekuasaan sesungguhnya milik wazirnya, dan pengadilan Mesir dengan senang hati menerima Shalahuddin sebagai wazir baru pengganti sang paman, terutama karena ia masih muda, baru berumur 29 tahun, dan para pembesar istana berpikir bahwa usia muda dan minimnya pengalaman akan membuat ia mudah diperalat.
Shalahuddin, di bawah bayang-bayang pamannya, hanya sedikit menunjukkan tanda-tanda kebesarannya. Berwatak diam dan bersahaja, tidak menunjukkan kecendrungan untuk berperang apalagi ambisi sebagai penguasa. Segera setelah mengambil alih Mesir, Nuruddin memerintahkan untuk menghapus secara total Dinasti Fathimiyah.
Di saat yang sama, Pemimpin Dinasti yang Syiah-Rafidhan itu, adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun namun sakit-sakitan. Ia benar-benar tidak memerintah, hanya sekadar boneka para pembesar istana.
Shalahuddin  Al Ayyubi _Ghassan Massoud1
Shalahuddin al Ayyubi (yang diperankan Ghassan Massoud dalam film Kingdom of Heaven) sedang bernegosiasi dengan Pasukan Salib
Shalahuddin menunaikan perintah Nuruddin secara lembut namun terencana. Menggulingkan Khalifah Fathimiyah secara perlahan, sehingga Sang Khalifah bahkan tidak mengetahui akan hal itu. Suatu Jumat, Shalahuddin hanya mengatur agar seorang warga negara berdiri di atas mimbar membaca khutbah atas nama Khalifah Abbasiyah di Bagdad.
Tak ada seorang pun yang protes, dan tindakan penggulingan yang lembut namun jitu itu, tuntas. Sedang, pemimpin dinasti yang muda dan sakit-sakitan itu pun kemudian wafat tanpa ia sadar bahwa dirinya telah menjadi warga biasa dan dinastinya talah lenyap. Lalu, menjadikan Shalahuddin sebagai penguasa tunggal Mesir.
Atasannya di Suriah, Nuruddin selalu mengatur pertemuan dengan sang bawahan, Shalahuddin. Namun, bawahannya selalu ada alasan untuk tidak bertemu dan mengelak. Namun, dia berfikir, senior tidak mesti diperlakukan tidak sopan, dan tetap rutin bekoordinasi dengan Nuruddin, termasuk mengirim upeti dan hadiah, (Ash-Shalabi, 2013).
Dan, tetap bertahan, bahwa dirinya adalah bawahan Nuruddin sampai atasannya meninggal dunia. Kemudian, Shalahuddin menyatakan dirinya adalah penguasa tunggal Mesir dan Suriah. Beberapa pengikut Nuruddin mengutuknya, dan menyebutnya pemula yang sombong dan tak tahu diri, tetapi mereka berenang melawan arus sejarah. Sang Penyelamat telah tiba.
Shalahuddin, berperawakan kecil, tampangnya seperti orang termenung, sorot matanya melangkolis. Tetapi ketika tersenyum, dia bisa memecahkan keheningan ruangan. Sangat dermawan, sampai-sampai memiskinkan dirinya sendiri, rendah hati terhadap yang lemah, tapi gagah di hadapan orang kuat. Tak ada yang dapat mengintimidasi dirinya, namun, kharismanya dapat mengintimidasi seluruh musuhnya. Sebagai seorang pemimpin militer, dia terbilang kawakan, tapi tidak istimewa. Kukuasaan dan kekuatannya, hakikatnya terletak pada kenyataan bahwa rakyat amat mencintainya. Kehidupan pribadinya amat zuhud, dan kerasnya terhadap diri sendiri, sebagaimana atasannya dahulu, Nuruddin, namun tidak menuntut orang lain atau bawahannya untuk ikut seperti dirinya. Para pengkhianat dan penjilat yang datang kepadanya justru heran, karena diberi hadiah atas kelakuannya. Dan inilah manusia yang pernah berkata, Bagiku, uang dan debu tidak ada bedanya, (Syamsuddin Arif, 2007).
Hashashin berusaha keras untuk membunuh Shalahuddin, sebagaimana yang kerap mereka lakukan pada penguasa sebelumnya. Dua kali mereka menerobos langsung ke kamar tidurnya ketika ia sedang terlelap. Sekali mereka melukainya di kepala tetapi dia sedang mengenakan penyangga leher dari bahan kulit dan helm logam di bawah serbannya. Setelah dua percobaan pembunuhan, Shalahuddin memutuskan untuk menumpas habis Hashashin. Dia merencanakan pengepungan benteng mereka di Suriah.
Apa yang terjadi terjadilah. Hashashin yang digambarkan sebagai teroris, mafia, dan bandit yang bagitu besar pengaruhnya bagi imajinasi publik, dan setelah membuat dua kali percobaan pembunuhan pada Shalahuddin, justru menggali lobang kuburan sendiri, dan menjadikan Shalahuddin laksana Hang Tuah dalam sejarah heroik dunia Melayu-Indonesia. Tak terkalahkan!



Shalahuddin, tidak pernah mengumumkan bagaimana memotong jantung kekuatan dan kehidupan Hashashin, yang jelas, setalah pengepungan itu, Hashashin benar-benar telah disapu lalu dimasukkan dalam kuburan galian mereka sendiri. Walaupun, masih ada yang tersisa, itu hanya sel-sel kecilnya yang berserakan di mana-mana, dan tidak pernah terdengar lagi gaungnya. Walaupun sejarah pernah mencatat bahwa Hashashin pernah berusaha membunuh Hulagu pada tahun 1226 M, namun dia gagal, kemudian kisah Hashashin lenyap sama sekali.
Para sejarawan mencatat kemenangan demi kemenangan diraih Shalahuddin dalam berbagai peperangan. Tapi, sesungguhnya kemenangan itu bermula ketika ia berhasil menyapu bersih para pentolah Hashashin-Syiah, dan perlahan namun pasti, mengunci mereka dalam ‘tong sampah sejarah’.
Shalahuddin bergerak dengan hati-hati, menyatukan umat dan melunakkan musuh-musuhnya. Dia tipikal penguasa yang suka, jika musuhnya kalah sebelum perang. Dan, perang hanya meledak jika semua jalan damai telah sumbat. Lihatlah, dia berusaha merebut kembali semua apa yang pernah dicaplok Tentara Salib tanpa melalui pertumpahan darah secara sengit, walau ia mampu memanggang musuhnya dalam perapian satu persatu: cukup dengan pengepungan, embargo ekonomi, dan negosiasi.
Tahun 1187, ketika pindah ke Yerussalem, dia memulai dengan mengirim semacam proposal perdamaian berisi ‘pengusiran’ agar Tentara Salib Franj segera angkat kaki dari kota suci Yerussalem dengan damai. Sebagai konpensasi, orang Kristen yang ingin ikut dapat membawa harta benda milik mereka untuk kembali ke Eropa. Dan, orang Kristen yang ingin tetap di sana boleh-boleh saja, dan dapat mengamalkan agama mereka tanpa gangguan. Gereja akan dilindungi dan, para peziarah akan dipersilahkan masuk-keluar dengan aman. Terang saja, para kesatria Salibis tak ingin melepaskan Yerussalem, karena itu adalah kemenangan hakiki mereka dan tujuan dari seluruh perang dan penaklukan. Shalahuddin, lalu mengepung kota suci itu, mengambilnya dengan paksa lalu menanganinya persis apa yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khattab: tidak ada pembantaian, tidak ada penjarahan, dan membebaskan semua tawanan, setelah membayar tebusan.
Walaupun dilakukan dengan lembut, perebutan kembali Yerussalem oleh Shalahuddin dengan sepenuhnya mengembalikan apa yang telah dirampas oleh Perang Salib Pertama dalam sejarah Islam, menimbulkan gejolak baru di Eropa dan mendorong tiga raja paling berpengaruh untuk merencanakan serangan Perang Salib ketiga yang sangat terkenal. Salah satunya adalah Frederick Barbarossa dari Jerman, yang jatuh dari kudanya ke dalam air setinggi beberapa inci dan tenggelam dalam perjalanan ke Tanah Suci. Yang lainnya adalah Raja Prancis Philip II, berhasil sampai ke Yerussalem, mengambil bagian dalam penaklukan pelabuhan Acre, dan kamudiaan pulang kelelahan.
Yang tersisa tinggal Raja Inggris Richard I, dikenal bangsanya sebagai Hati Singa. Dia adalah perajurit perang yang tangguh, tetapi ia tidak layak menjadi kesatria teladan: dia mudah mengingkari janjinya dan rela melakukan apa saja demi memenangkan peperangan. Dia, dan Shalahuddin saling berhadapan selama satu tahun, dan Richard memenangkan pertempuran utama mereka, tapi ketika mengepung Yerussalem pada Juni 1192, penyakit telah mengurangi kekuatannya dan udara panas membuatnya sesak napas. Shalahuddin mengiriminya dokter dan buah segar serta salju dingin lalu menunggu Richard menyadari bahwa dia tidak memiliki cukup kekuatan untuk merebut kembali Yerussalem. Akhirnya, Richard setuju berdamai dengan Shalahuddin, dengan syarat: kaum Muslimin akan tetap memiliki Yerussalem, tetapi melindungi gereja-gereja milik orang Kristen, dan membiarkan mereka menjalankan iman tanpa gangguan, juga membiarkan para peziarah datang dan pergi sesuka hati. Richard dan segenap pasukan Perang Salib yang tersisa beranjak pulang, didahului oleh berita bahwa dia telah meraih semacam kemenangan di Tanah Suci. Ini terasa lucu, sebab kenyataannya, dia menyetujui persis seperti yang ditawarkan Shalahuddin sejak awal. Dan, telah diperaktikkan selama perebutan kembali Yerussalem.
Setelah Perang Salib ketiga usai, tidak banyak lagi hal penting yang berlaku, ada pun perang-perang yang terjadi, misalnya pada tahun 1206 di mana pasukan Salib hanya kelelahan di sepanjang jalan, sebab dipukul mundur oleh pasukan yang ada di kota-kota Islam rute menuju Yerussalem. Dan, pada pertengahan abad ke-13, seluruh dorongan Perang Salib telah melemah di Eropa dan pada akhirnya pupus.
Penutup
Kekalahan Pasukan Salib telah menjadi dendam sejarah dan berusaha untuk membayarnya, walaupun pada dasarnya umat Islam memandang bahwa perang telah usai, tidak ada dendam, dan hanya merebut kembali apa yang menjadi hak milik mereka. Selain itu, pasukan Salibis selama pencaplokannya di berbagai negeri Muslim tidak membawa apa-apa kemajuan apalagi peradaban, yang diingat hanya kebengisan dan kebiadaban bahkan kanibalisme. Mereka justru menangguk ilmu dan meniru peradaban yang ada di negeri Timur, membawa balik ke Barat, lalu menyusun strategi, dan kembali ke Timur pada beberapa abad kemudian, dalam bentuk formasi pasukan Salibis yang jauh lebih canggih, di saat umat Islam sedang tidur terlelap berkubang kemalasan, kemunduran, dan kejumudan.
Kini, episode Perang Salib terus terulang, dan umat Islam terus saja berada dalam kekalahan dan tekanan, terutama pasca pencaplokan Yerussalem melalui tangan Yahudi pada tahun 1967 usai Perang Enam Hari. Setiap ada yang bersuara untuk menyatukan umat, maka, ia akan dicap radikalisme dan terorisme. Nampaknya, Hashashin tetap ada di balik layar dalam bentuk yang berbeda, sayang umat terlalu lugu dan mudah diadu-domba.
Negara-negara Islam di bawah Ahlus Sunnah satu-persatu rontok dan jatuh dalam lubang ular, sebagaimana yang terjadi di Irak, Mesir, Libiya, Lebanon, Suriah, dan kini Yaman.
Negara-negara di kepulauan Nusantara pun jadi target, kaum Hashashin tersebar dengan formasi elegan, mengajak persatuan tapi menebar racun pada umat dengan memaki dan mengumpat sahabat Nabi. Hashashin-Syiah dapat bekerjasama dengan siapa dan apa pun untuk merontokkan Ahlus Sunnah, karena itu jangan heran jika Muslim Rohingya dibantai lalu diusir oleh Buddha Miyammar, para penggiat HAM-Barat cuek saja, atau Muslim Tolikara-Papua dilempari baru ketika salat Ied dan dibakar masjid, rumah dan tempat usahanya oleh Umat Kristen, Hashashin bersuka ria. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir
 Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII; Kandidat Doktor Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor

No comments: