Tekad Pemuda, Mohamad Roem

Mohammed_Roem jpg
Oleh: Ridwan Hidayat, @RidwanHd Penikmat Sejarah Tinggal di Yogyakarta
MOHAMMAD Roem sempat tersinggung ketika salah seorang gurunya yang berkebangsaan Belanda menghardiknya, “Zeg, Inlander!” Kalimat yang bisa diartikan “Dasar, pribumi!” itu membuatnya merasa dihina dan dilecehkan. Pernah juga ia diolok-olok dengan sebutan inlander oleh seorang murid Belanda di sekolahnya. Olokan tersebut berbuah amarah Roem hingga ia meninju perut si murid Belanda hingga muntah-muntah.
Peristiwa yang diceritakan Agung Pribadi pada sebuah artikel di Majalah Hidayatullah Edisi 12/XV-2003 dialami Roem saat ia masih bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS). Agung Pribadi juga menuliskan, peristiwa itu sangat membekas pada diri Roem sehingga membuatnya bertekad untuk memerdekakan bangsanya agar tak lagi dihina bangsa asing.
Tekad itu memang sungguh-sungguh dilakukan oleh Roem. Setelah lulus dari HIS dan melanjutkan sekolah di AMS Jakarta, ia bergabung ke organisasi kepemudaan yang bernama Jong Java di tahun 1924. Di Jong Java ia tak lama, pada 1925 ia memilih bergabung menjadi anggota Jong Islamiten Bond (JIB), organisasi perkumpulan pemuda Islam yang baru berdiri pada tahun tersebut.
Bergabungnya Roem ke JIB tak lepas dari latar belakangnya yang besar di lingkungan keislaman yang kuat. “Sejak kecil di rumah orang tua, saya berada dalam lingkungan santri. Walaupun ayah saya sendiri tidak begitu sempurna agamanya, jarang pergi sholat jum’at, saya memperoleh pendidikan agama dari Pak Wongo, guru ngaji di kampung,” cerita Roem di buku biografinya Mohamad Roem 70 Tahun; Pejuang-Perundingan.
Kemudian Roem melanjutkan sekolah HIS di Pekalogan. Ia tinggal bersama kakak perempuannya yang memiliki suami bernama Ranuwihardjo. Ranuwihardjo adalah seorang aktivis Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang menjabat sebagai sekretaris cabang Pekalongan. Kedekatan Ranuwihardjo dengan aktivitas kemuhammadiyahan melibatkannya ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Pekalongan yang kemudian memiliki kegiatan pengajian rutin bernama Tablig. Roem yang waktu itu masih sekolah di HIS sering mengikuti pengajian tersebut setiap sore. Didikan keislaman inilah membentuk kesadaran Roem dalam beragama.
Ketika terjadi konflik di tubuh Jong Java, Roem berada di kubu Sjamsuridjal, yaitu kubu yang ingin memperjuangkan adanya program pendidikan ke Islaman di tubuh organisasi. Selama ini, kelompok yang sadar akan keislaman terlalu sering bertoleransi kepada kelompok lain yang sering mengadakan kegiatan kedjawen dan studi agama non Islam. Begitu mereka meminta studi Islam masuk bagian dari program, kelompok lain menolak. Sjamsuridjal yang juga Ketua Jong Java pun akhirnya memilih mengundurkan diri. Berkat saran Agus Salim, mereka mendirikan JIB tepat di awal tahun 1925 dengan Sjamsuridjal sebagai ketua pertamanya. Roem mulai berkiprah di sini.
JIB menjawab keresahan pemuda-pemuda seperti Sjamsuridjal dan Roem. Organisasi ini menjadi wadah tempat para pemuda didikan sekolah Belanda untuk mendalami Agama Islam. Di JIB ini juga Roem mulai berkenalan dengan Agus Salim dan menjadi mentornya mengajarkan Islam secara rutin dengan pengurus JIB lainnya seperti Kasman, Prawoto, Natsir, yang kelak mereka semua menjadi pimpinan Partai Masyumi setelah Indonesia Merdeka. Dari semua murid Agus Salim itu, hanya Roem yang paling dekat dan mengikuti jejak perjuangan Agus Salim. Berkat didikan dan dorongan Agus Salim, mereka berhasil menghimpun pemuda-pemuda muslim terdidik demi menjaga kemurnian Agama Islam dari serangan orientalisme yang diajarkan di pendidikan sekolah-sekolah Belanda.
Menurut Ahmad Mansur Surya Negara dalam bukunya Api Sejarah, JIB memiliki pengaruh besar dalam proses terjadinya Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang kini dikenal dengan Sumpah Pemuda. “Kebangkitan Jong Islamieten Bond dengan melepaskan diri dari Jong Java membangkitkan perjuangan menegakkan nasionalisme Indonesia.” tulis Mansur.
Selama ini Jong Java hanya perkumpulan pemuda yang hanya bersifat kejawaan. Mansur juga menuliskan bahwa Jong Java sebagai sayap pemuda dari Boedi Oetomo tak mempunyai cita-cita persatuan nasional. Berbeda dengan JIB yang berhasil menghimpun pemuda-pemuda terdidik dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Tercatat pada kongres pertama JIB, Desember 1925, telah memilki 1.000 anggota di 7 cabang. Mansur juga menjelaskan, JIB menginspirasi lahirnya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi penggerak utama terjadinya Kongres Pemuda II.

SELAMA ini Jong Java hanya perkumpulan pemuda yang hanya bersifat kejawaan. Mansur juga menuliskan bahwa Jong Java sebagai sayap pemuda dari Boedi Oetomo tak mempunyai cita-cita persatuan nasional. Berbeda dengan JIB yang berhasil menghimpun pemuda-pemuda terdidik dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Tercatat pada kongres pertama JIB, Desember 1925, telah memilki 1.000 anggota di 7 cabang. Mansur juga menjelaskan, JIB menginspirasi lahirnya Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi penggerak utama terjadinya Kongres Pemuda II.
Meski bukan tokoh utama di Kongres Pemuda II, Roem juga tercatat menjadi salah satu peserta kongres tersebut bersama anggota JIB yang lain. Aktivitasnya di kegiatan kepemudaan era kolonialisme menyadarkan Roem bahwa menjadi bagian dari aktivis kepemudaan merupakan tekad untuk lepas dari cengkraman imperialisme.
“Di dalam pergerakan Jong Java dan JIB itu kami semua umumnya sudah menyadari bahwa dengan berorganisasi kami kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Waktu itu kaum terpelajar bangsa kita menyadari, bahwa mereka mendapat kesempatan maju, sehingga harus mempunyai tekad untuk memimpin bangsanya yang masih sangat ketinggalan di segala bidang kehidupan.” cerita Roem di buku biografinya Mohamad Roem 70 Tahun; Pejuang-Perundingan.
Tahun 1932, Roem bergabung menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) yang saat itu dipimpin oleh gurunya, Agus Salim. Di usia yang masih sangat muda atau tepatnya berumur 24 tahun, bergabungnya di PSII menjadi salah satu tekad mudanya menghadapi imperialis Belanda sebagai advokad. Seperti yang dikatakannya di buku tersebut, “Keaktifan saya waktu itu adalah membela nasib atau perkara orang-orang PSII di muka pengadilan negeri pemerintah Kolonial Belanda. Yang dihadapi kebanyakan soal-soal tanah partikular; mengenai sikap tuan tanah yang sewenang-wenang. Waktu itu saya sudah menjadi mahasiswa Ilmu Hukum di Rechts Hoge School.”
Roem juga terlibat dalam pendirian Partai Penyadar pecahan dari PSII setelah terjadi kemelut perkepanjangan. Di Partai Penyadar ia mendapat kedudukan pimpinan. Setelah lulus sebagai mahasiswa hukum tahun 1939, ia tak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial Belanda maupun Jepang. Ia lebih memilih bekerja sebagai advokad swasta dan mendirikan kantor pengacara sendiri yang diberi nama “Mr. Mohamad Roem”.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ia pun mendapat jabatan sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) wilayah Jakarta. Ketika terbentuknya Partai Masyumi 7 November 1945, Roem juga tercatat sebagai salah satu pimpinan pusat hingga partai ini dibubarkan tahun 1960.
Karir politik Roem bisa dibilang gemilang pada masa revolusi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia (RI). Dengan usia yang juga dibilang cukup muda, yaitu sekitar 30an, ia membuktikan sebagai diplomat ulung dalam perjuangannya mewujudkan kemerdekaan RI.
Ketika pemerintahan RI diserahkan kepada Perdana Menteri Sutan Sjahril, Roem mendapat jabatan menteri dalam negeri. Jabatan ini mengantarkannya terlibat ke Perjanjian Linggarjati sebagai anggota delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Sjahril.
Selama proses perundingan Linggarjati Roem-lah delegasi Indonesia yang terbilang ngotot dan cukup merepotkan delegasi Belanda. Prof. Schermerhorn, Ketua Delegasi Belanda, dalam catatan-catatan harian yang diceritakan Soemarsono dalam buku Mohamad Roem 70 tahun, mengatakan bahwa Roem merupakan seorang perunding yang bersemangat dan seringkali tidak mudah menghadapinya.
Bagi Prof. Schermerhorn, Roem yang membuat perundingan Linggarjati berlangsung alot. Roem sangat kritis dan detail memperhatikan dan memperdebatan setiap kata dalam pasal.Terutama pembahasan pasal 1 yang membahas soal pengakuan hukum de facto atau de yure kesepakatan batas wilayah Republik Indonesia. Perundingan Linggarjati akhirnya disepakati setelah melakukan perundingan selama hampir 5 bulan.
SELAM proses perundingan Linggarjati Roem-lah delegasi Indonesia yang terbilang ngotot dan cukup merepotkan delegasi Belanda. Prof. Schermerhorn, Ketua Delegasi Belanda, dalam catatan-catatan harian yang di ceritakan Soemarsono dalam buku Mohamad Roem 70 tahun, mengatakan bahwa Roem merupakan seorang perunding yang bersemangat dan seringkali tidak mudah menghadapinya.
Bagi Prof. Schermerhorn, Roem yang membuat perundingan Linggarjati berlangsung alot. Roem sangat kritis dan detail memperhatikan dan memperdebatan setiap kata dalam pasal.Terutama pembahasan pasal 1 yang membahas soal pengakuan hukum de facto atau de yure kesepakatan batas wilayah Republik Indonesia. Perundingan Linggarjati akhirnya disepakati setelah melakukan perundingan selama hampir 5 bulan.
Hasil perundingan Linggarjati memang banyak masalah dan ketidakpuasan di kedua belah pihak. Di pihak Indonesia banyak partai yang menolak hasil perundingan termasuk partai asal Roem sendiri yaitu Masyumi. Begitu juga dengan pihak Belanda yang tidak puas karena mempunyai tafsir sendiri dalam setiap pasal yang tafsirnya tidak disepakati pihak Indonesia. Maka dengan sepihak, Belanda menyatakan tidak terikat pada perjanjian kemudia dilanjutkan dengan Agresi Militer I pada Juli 1947.
Tekanan internasional terhadap adanya Agresi Militer I menekan Belanda dan Indonesia melanjutkan perundingan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Renvile. Perjanjian di atas kapal perang milik Amerika Serikat ini tidak menyertakan Roem sebagai anggota delegasi perundingan yang ketuanya dipimpin oleh Amir Syarifuddin.
Perjanjian Renvile merupakan perjanjian yang dianggap sebagai kegagalan diplomasi oleh pihak Indonesia. Hasil perjanjian ini membuat wilayah Republik Indonesia semakin kecil. Tapi lagi-lagi pihak Belanda dengan sepihak membatalkan perjanjian dan kembali melakukan Agresi Militer II pada Desember 1948 yang membuat para pimpinan negera ditangkap dan wilayah RI dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.

Agresi Militer II ini mendapat respon dunia internasional. Tekanan internasional yang bersimpati pada Indonesia melahirkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tertanggal 28 Januari 1928 yang menekan sikap Belanda. Belanda pun mulai lunak dan mulai mengajak kembali pimpinan RI untuk berunding. Tapi permintaan Belanda itu ditolak karena Yogyakarta sebagai Ibu Kota RI masih dikuasai Belanda dan pimpinan RI masih dipenjara. Tawaran Belanda bisa diterima RI jika Belanda mau menerima syarat yang diajukan RI. Kemudian Soekarno dan Hatta mengutus Roem untuk melakukan pembahasan syarat-syarat yang harus dipenuhi Belanda agar bisa dilanjutkan perundingan setelah tekanan Dewan Keamanan PBB.
Pengutusan Soekarno dan Hatta kepada Roem sempat timbul konflik. Sebab, pada saat tersebut Soekarno dan Hatta bukan lagi sebagai pemerintah dan hanya sebagai tahanan. Pemerintah yang sah adalah Sjafruddin Prawiranegara yang mejabat Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Karena sulitnya berkomunikasi dengan pihak PDRI, Roem tetap melanjutkan perintah dari Soekarno dan Hatta.
Lalu bertemulah delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Roem dengan delegasi Belanda yang dipimpin Van Rojen. Hasil dari perjanjian ini terkenal dengan “Roem – Rojen Statements” atau dikenal dengan Perjanjian Roem – Royen. Perjanjian inilah yang akhirnya diterima oleh semua elite dan partai politik. Tidak seperti perjanjian sebelumnya yang selalu berbuah penolakan.
Roem berhasil mengembalikan martabat Indonesia dan meningkatkan harga dirinya pada Belanda. Prestasi Roem dalam perjanjian itu adalah kembalinya Soekarno dan Hatta memangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden, kembalinya Yogyakarta sebagai ibu kota RI, dan RI siap menghadiri Konfrensi Meja Bundar untuk proses negosiasi penyerahan kedaulatan.
Masih dari buku Mohamad Roem 70 tahun, Seomarsono menuliskan bahwa perjanjian ini merupakan karya puncak Roem dalam diplomasi. “Ini pula telah menempatkan Mohamad Roem dalam deretan nama-nama diplomat dunia dengan hasi karya yang senapas dengan sebutan namanya pribadi,” tulisnya. Lalu Soemarsono juga menuliskan, “Prestasi itu semata-mata merupakan realisasi perjuangannya turut serta menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang sudah dihayatinya semenjak masa remaja di bangku sekolah.”

No comments: