Aceh dan Selat Malaka

PADA era globalisasi ekonomi di abad 21 ini --seiring dengan bangkitnya ekonomi Asia dan Afrika-- Selat Malaka akan semakin padat. Ada sekitar 60.000 kapal melintasi Selat Malaka dan ini dua kali lipat dari kepadatan jalur Terusan Suez. Kapal-kapal yang melintas itu singgah di Singapura dan Tanjung Pelepas yang baru dibangun oleh Malaysia, bukan di pelabuhan milik Indonesia.

Selain itu, sebanyak 90% kapal yang melintas dan beroperasi di perairan Indonesia, termasuk Selat Malaka justru adalah milik asing. Saat ini, Singapura pun ikut memainkan strategi ekonomi yang cantik dengan menguasai pendaratan kapal yang melewati Selat Malaka. Dengan sumber daya alam yang sangat terbatas, Singapura justru menjadi key point bagi Asia Tenggara dengan menjadi second busies port setelah Port Rotterdam di Belanda.

Di sisi lain Singapura membujuk Indonesia agar bersepakat membentuk DCA (Defence Cooperation Agreement) perjanjian bilateral bersama untuk mengamankan Selat Malaka. Cerdiknya, Singapura melibatkan Amerika Serikat (AS) dalam upaya pengamanan di bawah kendali tentara Singapura. Ini sebagai jalan masuk bagi AS untuk bermain dalam politik regional Asia Tenggara.

Selat Malaka merupakan jalan utama untuk menuju wilayah Laut Cina Selatan. Kondisi ini didukung oleh kekayaan minyak dan gas alam, sehingga banyak kapal melintasi Selat Malaka. Sekitar 25% dari jalur pelayaran global melewati Selat Malaka dan menuju ke arah Laut Cina Selatan. Negara-negara yang berebut pengaruh di kawasan Selat Malaka tidak hanya negara Asia Tenggara karena mengingat lokasinya yang langsung mengarah ke Spratly Island yang kaya minyak dan gas alam.

Dalam konteks kemaritiman, posisi strategis Indonesia memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu, alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage). Indonesia memiliki luas laut teritorial dengan potensi sumberdaya kelautan melimpah, sebagai sumber kekayaan negara yang luar biasa besar.

Selat Malaka merupakan perairan yang secara geopolitik memainkan peran penting dalam sejarah Asia. Selain jalur Laut Cina Selatan. Dalam sejarahnya Cina dan India saling berebut pengaruh dalam hal jalur perdagangan menuju wilayah Nusantara. Dalam konteks Aceh, perebutan pengaruh di wilayah ini juga terjadi antara kerajaan Aceh dengan kerajaan Malaka di Malaysia.

Peran Aceh
Dalam konteks lokal Aceh, menurunnya peranan kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka bersamaan dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai, jalur perdagangan di Selat Malaka berkembang pesat. Para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat yang berlabuh di Pidie, Peureulak, dan Pasai. Hal ini karena letaknya yang strategis di Selat Malaka. Berada di tengah jalur perdagangan, Samudera Pasai berkembang pesat dengan menggantungkan perekonomiannya dari pelayaran dan perdagangan.



Fungsi kerajaan Samudra Pasai maupun Kerajaan Aceh sebagai bandar pelabuhan yaitu sebagai tempat penambahan perbekalan untuk pelayaran, pengurusan masalah yang berkaitan dengan perkapalan, pengumpulan barang-barang yang akan diekspor, dan penyimpanan barang dagangan sebelum didistribusikan di wilayah Indonesia.

Sejak Inggris mengambil alih Malaysia pada 1725, Inggris mulai mengeluarkan beberapa kebijakan kerja sama dengan kesultanan Malaysia untuk mengeruk keuntungan dari Selat Malaka. Inggris juga berperan memasukkan imigran dari Cina dan India untuk menjadi pekerja tambahan dengan tujuan ekspansi ekonomi (Vreeland, 1984 dalam Bandy 1997).

Sesungguhnya, telah terjadi distorsi dalam sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara, di mana terdapat kesan bahwa kerajaan Nusantara tempo doeloe seolah-olah sumber kekuatannya lebih berorientasi ke arah darat dibandingkan dengan kekuatan sektor maritimnya. Kerajaan-kerajaan Indonesia yang melegenda adalah kerajaan maritim besar, seperti Kerajaan Tarumanegara (358-670 M), Mataram Kuno (732-928 M), Sriwijaya (683-1030 M), Majapahit (1293-1500 M), termasuk kerajaan Samudra Pasai dan kerajaan Aceh semuanya memiliki armada laut, menguasai jalur perdagangan lintas laut hingga pelayaran internasional sekaligus menanamkan pengaruh.

Selain itu dalam fakta kajian Robert Dick-Read terhadap jejak armada laut Nusantara dalam karyanya The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times (2005), ditemukan jejak sejumlah besar orang laut atau suku bangsa yang hidup dengan kultur dekat dengan laut, seperti orang Tambus, Mantang, Barok, Galang, dan lain sebagainya di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatera.

Negara maju dewasa ini menjaga wilayah perbatasan, baik darat dan laut secara efektif yaitu dengan menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan baru. Hal itulah yang dilakukan oleh Rusia ketika mencoba memindahkan sebagian pusat ekonominya ke arah Vladivostok, timur jauh Rusia, demi mengendalikan pengaruh Cina, Jepang, dan Korea Selatan di Asia Pasifik. Di sini pemerintah Rusia campur tangan terhadap kemajuan perbatasan.

Menambah devisa
Banyaknya kapal asing yang melintasi jalur laut Selat Malaka, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkan untuk menambah devisa negara. Negara dapat menjual jasa bengkel kapal, reparasi, penjualan air bersih, penyediaan bahan bakar minyak (BBM), fasilitas penginapan atau tempat beristirahat bagi kru atau penumpang kapal, hingga pengadaan perusahaan galangan kapal. Langkah ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka seperti Aceh.

Posisi Aceh yang langsung berhadapan dengan negara jiran, tentunya sangat menguntungkan. Oleh karena itu, seharusnya pembangunan pelabuhan Internasional antarnegara di Kota Langsa perlu segera dipercepat. Karena, sebelum mulai membangun ekonomi wilayah pesisir dan laut, pemerintah harus memulai investasi di sektor kepelabuhanan yaitu dengan membangun kembali pelabuhan-pelabuhan dengan standar internasional.




Adapun yang pertama kali harus dilakukan adalah menetapkan prioritas pembangunan pelabuhan di titik strategis secara geografis dan ekonomi politik. Baru kemudian diperkuat dengan manajemen pelabuhan yang baik, tenaga kerja ahli dan akhirnya adalah dukungan teknologi maritim dan pelabuhan yang baik. Ketika jumlah kapal sudah ada, pelabuhan telah dibangun, pada saat bersamaan, membangun kebudayaan maritim.

Matra laut merupakan asset sumber daya penting bagi negara. Laut merupakan jalur perdagangan dan transportasi internasional yang dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Nah!

* Helmy Akbar, peminat kajian kemaritiman, Dosen Universitas Samudra (Unsam) Langsa, Aceh. Email: helmy.akbar85@gmail.com

No comments: