Myanmar Gunakan Cara Nazi Untuk Habisi Muslim Rohingya

antarafoto-Aksi-Save-Rohingya-270712-ds-1

Rezim militer Myanmar menggunakan cara Nazi dan ketakutan terhadap Islam, atau Islamfobia, untuk memusnahkan Muslim Rohingya secara sistematis.
Penyelidikan selama 18 bulan yang dilakukan peneliti Queen Mary University of London mengungkapkan pemerintah, dengan dukungan militer di tingkat negara bagian — didukung biksu nasionalis gerais keras — mendalangi penghancuran minoritas paling tertindas di negeri itu.
Kepada Sydney Morning Herald, beberapa peneliti mengatakan memiliki bukti yang mengungkapkan betapa penganiayaan terhadap Rohingya, termasuk mendorong mereka ke dalam ghetto, pembantaian sporadis di sejumlah tempat, adalah strategi jangka panjang pemerintah Myanmar untuk mengisolasi, melemahkan, dan akhirnya menghilangkan Muslim Rohingya.
Dalam laporan bertajuk Countdown to Annihilation: Genocide in Myanmar, peneliti dari International State Crime Initiative (ISCI) menyimpulkan bahwa teknik dehumanisasi dan stigmatisasi yang digunakan rejim Myanmar nyaris sama dengan yang dipakai Adolf Hitler tahun 1930-an dan Rwanda di awal 1990-an.
Menariknya, peneliti menemukan perlengkapan Nazi; helm dan t-shirt, dalam dokumen resmi Partai Nasional Arakan di negara bagian Rakhine. Salinan Mein Kampt, buku yang ditulis Hitler di penjara dan menjadi manifesto Nazi, dijual di jalan-jalan Rakhine.
Dalam salah satu editorial di majalah resminya, terbitan tahun 2012, Partai Nasional Arakan mengatakan;……dalam rangka bertahan hidup suatu negara, kejahatan terhadap kemanusiaan atau tindakan tidak manusiawi dapat dibenarkan untuk dilakukan.
Dalam editorial lainnya, majalah itu menulis; “Kami akan tercatat dalam sejarah sebagai pengecut jika mewariskan masalah Rohingya ke generasi berikut tanpa berbuat apa pun.”
Profesor Penny Green, direktur (ISCI), mengatakan Muslim Rohingya terus melemah dan mengalami trauma di kamp-kamp dan ghetto. Mereka hidup dalam ketakutan, setelah rejim Myanmar secara sistematis mengingkari hak-hak hidup mereka.
Myanmar secara resmi menyebut Rohingya sebagai Bengali, atau orang dari Bangladesh. Sebagian besar Rohingya adalah imigran gelap di tengah 90 persen masyarakat pemeluk Buddha.
Jelang Pemilu 8 November, yang dianggap sebagai transisi dari pemerintah militer ke era demokrasi, hak politik Muslim Rohingya juga dirampas. Tidak ada partai yang menempatkan Muslim sebagai kandidat anggota parlemen, lokal atau nasional.
Terakhir, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) — partai oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi — juga menyingkirkan semua Muslim dari daftar kandidat. Adalah Aung San Suu Kyi, satu-satunya sosok harapan Rohingya, yang melakukan penyingkiran itu.
NLD takut berhadapan dengan kelompok Buddhis ultra-nasionalis Ma Ba Tha, atau Asosiasi Perlindungan Ras dan Agama.
Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia juga telah memperingatakan akan kemungkinan bencana kemanusiaan bagi Muslim Rohingya pada pemilu ini. Muslim Rohingya yang menyadari bahaya ini sebisa mungkin lari. Terlebih, musim hujan telah berakhir di Teluk Benggala.
Banyak lembaga hak asasi manusia mendokumentasikan penganiayaan panjang Rohingya. Sedangkan Queen Mary University of London menemukan Muslim Rohingya sebenarnya menghadapi tahap akhir genosida, namun tidak terlihat jelas di Rakhine.
“Bisa saja semua itu dihentikan, tapi tanpa fakta yang tidak bisa dikonfrontir membuktikan terjadi genosida,” kata Profesor Green.
Temuan ini didukung Tomas Ojea Quintana, pelapor khusus PBB untuk hak asasi di Myanmar antara 2008 sampai 2014. “Pada titik ini, situasi Rohingya di Rakhine tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan kemungkinan genosida,” ujarnya.
Selama beberapa dekade, ujar Quintana, Muslim Rohingya menjadi korban kebrutalan pemerintah. Quintana yakin Muslim Rohingya sedang berada pada tahap kehancuran menyeluruh.
INILAHCOM. Bangkok — Rejim militer Myanmar menggunakan cara Nazi dan ketakutan terhadap Islam, atau Islamfobia, untuk memusnahkan Muslim Rohingya secara sistematis.
Penyelidikan selama 18 bulan yang dilakukan peneliti Queen Mary University of London mengungkapkan pemerintah, dengan dukungan militer di tingkat negara bagian — didukung biksu nasionalis gerais keras — mendalangi penghancuran minoritas paling tertindas di negeri itu.
Kepada Sydney Morning Herald, beberapa peneliti mengatakan memiliki bukti yang mengungkapkan betapa penganiayaan terhadap Rohingya, termasuk mendorong mereka ke dalam ghetto, pembantaian sporadis di sejumlah tempat, adalah strategi jangka panjang pemerintah Myanmar untuk mengisolasi, melemahkan, dan akhirnya menghilangkan Muslim Rohingya.
Dalam laporan bertajuk Countdown to Annihilation: Genocide in Myanmar, peneliti dari International State Crime Initiative (ISCI) menyimpulkan bahwa teknik dehumanisasi dan stigmatisasi yang digunakan rejim Myanmar nyaris sama dengan yang dipakai Adolf Hitler tahun 1930-an dan Rwanda di awal 1990-an.
Menariknya, peneliti menemukan perlengkapan Nazi; helm dan t-shirt, dalam dokumen resmi Partai Nasional Arakan di negara bagian Rakhine. Salinan Mein Kampt, buku yang ditulis Hitler di penjara dan menjadi manifesto Nazi, dijual di jalan-jalan Rakhine.
Dalam salah satu editorial di majalah resminya, terbitan tahun 2012, Partai Nasional Arakan mengatakan;……dalam rangka bertahan hidup suatu negara, kejahatan terhadap kemanusiaan atau tindakan tidak manusiawi dapat dibenarkan untuk dilakukan.
Dalam editorial lainnya, majalah itu menulis; “Kami akan tercatat dalam sejarah sebagai pengecut jika mewariskan masalah Rohingya ke generasi berikut tanpa berbuat apa pun.”
Profesor Penny Green, direktur (ISCI), mengatakan Muslim Rohingya terus melemah dan mengalami trauma di kamp-kamp dan ghetto. Mereka hidup dalam ketakutan, setelah rejim Myanmar secara sistematis mengingkari hak-hak hidup mereka.
Myanmar secara resmi menyebut Rohingya sebagai Bengali, atau orang dari Bangladesh. Sebagian besar Rohingya adalah imigran gelap di tengah 90 persen masyarakat pemeluk Buddha.
Jelang Pemilu 8 November, yang dianggap sebagai transisi dari pemerintah militer ke era demokrasi, hak politik Muslim Rohingya juga dirampas. Tidak ada partai yang menempatkan Muslim sebagai kandidat anggota parlemen, lokal atau nasional.
Terakhir, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) — partai oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi — juga menyingkirkan semua Muslim dari daftar kandidat. Adalah Aung San Suu Kyi, satu-satunya sosok harapan Rohingya, yang melakukan penyingkiran itu.
NLD takut berhadapan dengan kelompok Buddhis ultra-nasionalis Ma Ba Tha, atau Asosiasi Perlindungan Ras dan Agama.
Amnesti Internasional dan kelompok hak asasi manusia juga telah memperingatakan akan kemungkinan bencana kemanusiaan bagi Muslim Rohingya pada pemilu ini. Muslim Rohingya yang menyadari bahaya ini sebisa mungkin lari. Terlebih, musim hujan telah berakhir di Teluk Benggala.
Banyak lembaga hak asasi manusia mendokumentasikan penganiayaan panjang Rohingya. Sedangkan Queen Mary University of London menemukan Muslim Rohingya sebenarnya menghadapi tahap akhir genosida, namun tidak terlihat jelas di Rakhine.
“Bisa saja semua itu dihentikan, tapi tanpa fakta yang tidak bisa dikonfrontir membuktikan terjadi genosida,” kata Profesor Green.
Temuan ini didukung Tomas Ojea Quintana, pelapor khusus PBB untuk hak asasi di Myanmar antara 2008 sampai 2014. “Pada titik ini, situasi Rohingya di Rakhine tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan kemungkinan genosida,” ujarnya.
Selama beberapa dekade, ujar Quintana, Muslim Rohingya menjadi korban kebrutalan pemerintah. Quintana yakin Muslim Rohingya sedang berada pada tahap kehancuran menyeluruh.(ts/inilah)

No comments: