Thanksgiving Day, Miss Daventry, dan Pejuang 1945

Perempuan berdarah Inggris dengan selusin julukan itu mengutuk invasi militer bangsanya sendiri ke Indonesia pada November 1945.
Thanksgiving Day, Miss Daventry, dan Pejuang 1945Perempuan berambut pirang itu adalah K'tut Tantri, yang memiliki selusin nama julukan, salah satunya Miss Daventry. Tampak Bung Tomo berdiri bersama putri bungsunya, Ratna Sulistami. Sementara Sulistina Sutomo, istri Bung Tomo, tampak duduk bersama Tantri. Foto ini diambil ketika Tantri berkunjung ke rumah mereka di Jalan Besuki No.27 Menteng, Jakarta, pada 1980. (Arsip Keluarga Sutomo)
“Bohong semoea!” ungkap Miss Daventry. “Tidak ada extremist di Indonesia, jang dikendaki mereka semata2 kemerdekaan belaka. Tetapi orang Inggris dan NICA, mereka adalah extremist kelas satoe. Mereka telah soenggoeh telah keluar dari batas kemanoesiaan.”
Miss Daventry menepis tuduhan yang tersiar hingga ke luar negeri bahwa pihak Indonesia terlibat dalam aksi pembakaran kamp interniran di Ambarawa. Cetusan yang menyiratkan kegeraman itu dikutip oleh seorang jurnalis surat kabar Rajat pada November 1945.
Miss Daventry mengungkapkan rasa muaknya terhadap militer Inggris dan NICA yang menggunakan kedok sekutu untuk mendarat di Surabaya. Akibatnya, pertempuran sengit tak terhindarkan antara tentara Inggris dan warga Surabaya pada 10 November 1945.
“Kemaren kamoe merajakan Thankgiving Day,” ungkap Miss Daventry yang saat itu sebagai warga negara Amerika. “Akoe tak bisa ikoet gembira karena akoe ada di tengah mereka jang dengan darah dan air mata sedang berdjoang mati2-an menontoet rahmat jang soedah kamoe perdapat itoe.”
Thankgiving Day merupakan perayaan rasa syukur warga Amerika, dan menjadi libur resmi. Awalnya merupakan bentuk ucapan terima kasih dan syukur atas musim panen pada akhir tahun. Perayaan ini jatuh setiap Kamis keempat di bulan November.
Surat kabar itu juga menulis bahwa Miss Daventry mengisahkan betapa pejuang Republik memiliki rasa sopan santun. Mereka menerima tentara Inggris-India sebagai tamu, demikian ungkapnya.
Namun, “orang Belanda NICA adalah manoesia paling terkoetoek di doenia ini,” ungkapnya. “Waktoe saja bertjakap2 dengan mereka , semoea mereka menghadap2, Inggris akan mena’loekkan negeri ini. Mereka sendiri adalah segerombolan pengetjoet.”
Miss Daventry merupakan salah satu nama pedengan dari Muriel Stuart Walker. Lahir pada Sabtu, 18 Februari 1899 di Glasgow, Skotlandia, Britania Raya. Dia satu-satunya anak dari pasangan asal Pulau Man, James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle. Dia juga memiliki darah bangsa Viking yang dikenal pemberani dan gemar petualangan.
Singkat cerita, saat kedatangannya ke Bali pada akhir 1930-an, perempuan itu diangkat anak oleh Raja Bangli. Muriel pun menyandang nama K’tut Tantri, nama resminya hingga akhir hayat.
Selain nama pedengan Miss Daventry, sederet nama pernah menjadi julukannya. Molly McTavish, Modjokerto Molly, Merdeka Moll, Tanchery, Oestermann, Solo Sally, Djokja Josy, Vannine, Vannen, Vanessa, Manx, atau Manxy. Sebagian nama itu memang dipilih atas keinginannya sendiri. Bahkan, orang Bali semasa, kerap mengenangnya dengan sebutan “Nyonya Meng”.
Menurutnya, nama "Miss Daventry" awalnya muncul dalam pemberitaan pers luar negeri lantaran jurnalis yang salah mendengar dan mengeja nama "K'tut Tantri".
Miss Daventry atau K'tut Tantri turut menyuarakan perjuangan Republik Indonesia lewat Radio Pemberontakan, sebuah radio propaganda  perjuangan yang diawaki oleh Bung Tomo. Ketika Inggris menguasai kota, dia turut menyingkir dan bergerilya bersama pejuang Republik hingga ke kawasan pegunungan sekitar Mojokerto.
“Ketemu K’tut Tantri di Surabaya waktu itu di Embong Mawar. Awalnya saya tidak tahu siapa itu yang siaran bahasa Inggris,” ujar Sulistina Sutomo di kediamannya, Cibubur. Janda mendiang Bung Tomo itu kini usianya 90 tahun, mungkin saksi terakhir soal kemunculan Miss Daventry di Surabaya pada akhir 1945. “Dia dijuluki Tokyo Rose dari Indonesia—Sourabaya Sue.”
Pun, Bung Tomo mengenang Miss Daventry dalam pengantar buku karya perempuan itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Revolusi di Nusa Damai, yang terbit pada 1964.
“Saya tidak akan melupakan detik-detik di kala Tantri dengan tenang mengucapkan pidatonya di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemancar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo. “Dan kemudian dengan tersenyum menyambut uluran tangan saya sebagai tanda terima kasih kita semua.”
Pada November 1998, pemerintah Republik Indonesia mengganjar Bintang Mahaputra Nararya kepada “Ni K’tut Tantri”. Penghargaan tertinggi kedua itu diterimanya bukan karena keterlibatan dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950. Setidaknya, peran perempuan itu masih dikenang di negeri yang pernah menjadi bagian takdirnya.
Di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales; dia wafat pada Minggu malam, 27 Juli 1997. Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya. Wasiatnya untuk diaben di Bali tak pernah terlaksana.
Dalam halaman pembuka pada buku biografinya, perempuan itu menyisipkan tulisan tangannya sebagai kenang-kenangan. Untaian kata itu ditulis dalam bahasa Inggris, yang artinya: “Kenangan untuk rakyat Indonesia yang begitu mulia memberikan hidup mereka untuk merdeka, 1945-1949 dan bagi mereka yang masih hidup yang akan melihat bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia.

Mahandis Yoanata Thamrin
Jurnalis | Editor untuk National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler Indonesia.

No comments: