11 Tahun Tsunami Aceh: Abi Kami Tunggu di Surga

allah-1

Ini merupakan satu kisah nyata yang dimuat di dalam buku “Keajaiban sekitar tsunami : keanehan dan ayat-ayat Allah dalam tragedi tsunami 26 Desember 2004 (Rizki Ridyasmara). Semoga kita semua tidak melupakan tragedi ini dan bisa mengambil ibrahnya. Amien Ya Rabb…
“Tetaplah Dalam Iman dan Takwa, Abi Kami Tunggu di Surga…”
(dipaparkan oleh Zulfadhli M. Juned)
Tanggal 23 Desember 2004, Ayi—demikian panggilan suami dari suami Diana Roswita—baru keluar dari Rumah Sakit Kesdam, Banda Aceh, setelah diopname selama dua pekan karena menderita malaria dan lever yang kambuh lagi (bawaan bulan Februari 2004).
“Untuk perawatan lanjutan, saya dan istri memutuskan untuk tinggal sementara waktu di rumah mertua, No. 46 Jalan Rawa Sakti II Perumnas Jeulingke Banda Aceh),” ujar Ayi.
Ayi mengisahkan pengalamannya yang tidak akan terlupakan seumur hidup saat bencana tsunami terjadi. “Pada hari Ahad, 26 Desember 2004 Jam 8 pagi, saya dan istri baru selesai sarapan pagi. Tiba-tiba kami merasakan gempa yang sangat hebat Kami sekeluarga berhamburan keluar,” demikian Ayi memulai cerita.
Saat itu saya, lanjutnya, masih mengenakan kain sarung, baju lengan panjang, dan kaus kaki. Kami semua duduk di jalanan lorong dua, sementara para tetangga juga melakukan hal yang sama. Jalan-jalan terasa bergoyang dan terlihat kabel-kabel listrik berayun-ayun. Pada saat itu ada kepulan debu di ujung lorong. Rupanya ada ruko empat pintu yang runtuh, rata dengan tanah.
Pasca gempa sekitar jam 9.00 pagi, mamak mertua saya yang membawa anak kembar pertama saya (si abang M. Jihad Al-Fathi) datang dengan mobil sedan dari Tungkop (Aceh Besar, sekitar delapan km dari rumah mertua). Saat itu beliau baru saja selesai mengunjungi rumah kami yang hendak disewa pada awal tahun 2005.
Saat itu si adek (M. Imad Farahat) masih berada di lorong lima (rumah orang tua saya). Tak lama kemudian isteri saya, Diana Roswita, menggendong si abang, dengan dibonceng Dian Fajrina (adik ipar). Mereka menuju lorong lima sambil jalan-jalan melihat kondisi Perumnas.
Sementara saya mulai masuk kedalam kamar mengenakan celana panjang, lalu mengambil dompet dan HP saya. Saat itu saya hanya berpikir untuk berjaga-jaga, dengan memakai celana panjang saya lebih mudah berlari bila terjadi gempa. Tak lupa saya kenakan kembali kaus kaki, jaket sebagai baju penghangat, dan kain sarung saya lilitkan di leher untuk mengurangi rasa kedinginan karena malaria yang saya derita.
Jam 9.15 terjadi hiruk pikuk. Beberapa mahasiswa yang kost di lorong dua berlarian dari arah jembatan Krueng Co. Mereka memasuki jalanan lorong dua sambil berteriak-teriak, “Air laut meluap…air laut meluap!!”’.
Saat itu banyak di antara warga yang belum mengerti apa yang akan terjadi. Sementara para anak kost berlarian dengan motor mereka. Banyak warga yang masih bertanya-tanya. Saya mengajak bapak dan mamak mertua saya untuk naik ke mobil. Saat itu di rumah mertua saya ada sekitar 13 orang yang tinggal.
Ke 13 orang itu adalah bapak, mamak, saya, abang ipar saya, Denni Ridwan saudara dari kampung Dik Erni dengan mamak dan adik bungsunya Rizki, dan Fitri, masih berada di rumah. Istri dan kedua anak saya berada di lorong lima. Sementara Dian Fajrina, Dini Haniefa (adik ipar), keluar dari kawasan perumnas melihat-lihat kondisi kota Banda Aceh.
Saat itu saya mendengar gemuruh air dari arah rawa sakti timur. Dari ujung lorong terlihat kontainer sampah yang terbuat dari baja sudah terangkat seperti perahu. Kepanikan pun terjadi. Air di selokan naik meluap ke jalan. Orang-orang berlarian menjauhi arah air dari timur menuju barat.
Bapak terlihat mencoba mengeluarkan mobil kijang merah dari dalam gudang, sementara waktu semakin sempit, air mulai memasuki lorong dua bagian tengah tempat kami tinggal, saat itu baru setinggi mata kaki.
Saya melihat mamak mertua saya dengan tergesa-gesa lari ke dalam mobil, dan memanggi saya (nama panggilan saya Ayi). “Ayi…Ayi, sudahlah nak….cepat naik mobil,” saya pun membuka pintu belakang mobil.
Mamak menekan pedal gas dalam-dalam, sementara di jalanan lorong yang sempit saya melihat saudara-saudara saya sekampung yang serumah dengan bapak berhamburan dengan warga sambil berlari.
Pada saat tiba di bagian ujung lorong terjadi kemacetan. Tiba-tiba terdengar gemuruh dari arah depan, tembok pembatas kawasan perumahan Brimob setinggi tiga meter roboh, dan muncullah aliran air kedua dari arah timur, sementara sedan kami belum keluar dari jalur lorong dua. Belum habis rasa terkejut kami, aliran air ketiga dari arah Laut Alue Naga (aliran air utama) datang dari utara.
Air yang berwarna hitam pekat ini membawa material bangunan dan kendaraan yang berada di jalan. Saya lihat tiga mobil bertumpukan diseret arus kearah selatan, sementara dari arah depan mobil kami arus dari barat membawa rongsokan bangunan dan papan. Bodi mobil kami terhantam, mamak terus mencoba mengendalikan mobil, tapi desakan arus semakin deras. Kami menghantam pagar sebelah kanan, dan mobil semakin mundur. Bersamaan dengan itu arus air dari belakang datang, mobil kami terhantam dengan seekor ternak lembu dan rongsokan berat lainnya.
Ayiiii…Ayi…uroe nyoe hana leu tanyo neuk, ya Allah nepeurempok kamo lam iman, ya Allah ….Lailahaillallah”, saat itu saya juga mulai mengucapkan kalimat thoyibah, kami terus beristighfar sementara mobil terus berputar.
Syukurlah putaran arus menyeret mobil ke dalam halaman rumah disamping rumah kepala lorong dua, dan bertepatan dengan itu mobil membentur dinding rumah kepala lorong yang belum diplester. Air mulai memasuki mobil sampai selutut.
Tergesa-gesa saya buka jendela mobil, lalu keluar dan menginjakkan kaki di tonjolan tembok pembatas. “Mak, cepat keluar lewat jendela.” Dengan susah payah saya menggapai balkon lantai kedua. Begitu sampai di atas saya mulai menarik mamak mertua, saat itu gelombang semakin deras dan mencapai ketinggian tiga meter.
“Sudah nak, lepaskan saja saya…,” ujar Mamak. Saat itu pegangan mamak makin lemah. Beliau nampaknya tidak bersemangat lagi. Saya berteriak minta tolong pada kepala lorong dua yang juga sudah berada di lantai dua. Berdua kami mencoba menarik mamak agar melewati pagar balkon.
“Usaha dulu Mak, kalau belum datang ajal kita wajib berusaha.” Saya mencoba menyemangati mamak. Setelah mengambil nafas dan berdiam dengan bergantungan di pagar balkon, akhirnya dengan susah payah (waktu itu beliau mengenakan pakaian jilbab dengan pakaian bawah rok, sehingga agak menyulitkan) kami berhasil menariknya.
Saat itu di depan saya, saya berdua kepala lorong, melihat tangan Mutia Maida (salah seorang penulis Forum Lingkar Pena), tetangga sebelah rumah kami, menggapai-gapai. Saya mencoba menarik, tidak sampai. Ketika kepala lorong dua mencoba Bantu menarik, kira-kira tinggal dua jengkal lagi, datang air yang menyebabkan arus berputar. Tubuh Mutia tersedot ke bawah seiring dentuman tertutupnya permukaan air dengan papan dan rongsokan.
Tangan Mutia yang merah dengan tanda daun pacar, sebulan setelah pernikahannya, perlahan lenyap dari hadapan kami. Ya Allah …innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Perlahan air mulai tenang. Pada saat itu ada setengah jam setelah arus deras berlalu saya melihat pemandangan lain yang menyedihkan. Seorang anak laki-laki remaja, Dik Fani dari lorong empat (ibunya adalah kakak dari artis Aceh, Cut Yanti) terapung di air yang setinggi 5 meter dengan kedua lehernya terjepit kayu, saya mencoba menolong tapi tak ada tali yang dapat dipergunakan untuk menggapai lokasi dia yang hanya berjarak lima meter dari saya berdiri.
Akhirnya dengan meminta maaf saya tinggalkan dia….saya mencoba mencari tali, tapi yang ada cuma kain sarung saya dan itu tidak cukup menjangkau dia (belakangan dia selamat sendiri dengan mengapung pada papan sehingga bersambungan dengan sela-sela pagar balkon).
Saya berdua ibu naik ke atas balkon yang lebih tinggi. Pemandangan saat itu dipenuhi dengan orang-orang yang berada diatas atap rumah penduduk. Saat itu saya tak tahu keadaan anak istri saya.
Tepat jam 11.30 siang di antara kerumunan orang-orang yang mengungsi ke atas atap rumah kepala lorong dua, saya menemukan Eva, adik sepupu saya yang tinggal di lorong lima.
“Bang Ayi, tadi Eva lihat Kak Ita terakhir kalinya. Saat itu kami mencoba naik mobil kijang, lalu datang air yang menghantam pintu mobil hingga tertutup. Saya masih berada di luar mobil, sementara Kak Ita bersama Jihad ada di dalam mobil. Saya berteriak agar Kak Ita menolong saya, namun tidak berhasil.”
Dari cerita orang-orang lain saya belakangan mengetahui bahwa mobil itu terus mengapung dan Eva adik sepupu saya terbenam ke bawah mobil. Ketika arus deras datang sekali lagi, mobil itu tergulung, sehingga terbalik-balik dalam air berlumpur. Sementara Eva atas kehendak Allah tersapu air sampai selamat keatas bubungan atap perumahan Brimob.
Tepat jam 13.00 air mulai turun sepinggang, setelah dari jam 10.00 sampai jam 12.00 mencapai ketinggian lima setengah meter. Orang-orang mulai turun mencari sanak saudaranya. Saat itu saya mencoba turun ke air, tapi dilarang oleh kepala lorong dua, karena melihat kondisi saya yang masih sakit malaria dan tidak boleh terkena air (saya shalat dengan tayamum).
Saat itu saya muntah-muntah karena kambuhan. Saya cuma bisa berbaring di dalam salah-satu kamar kos di lantai dua yang ditinggalkan penghuninya. Ketika saya mencoba keluar dan melihat keluar, saya melihat Juniazi (suami kakak Eva, Elsa) sedang menyusuri jalan utama perumnas satu. Saya berteriak memanggil dia. Ternyata dia sedang mencari anak dan istrinya yang terjebak air di lorong enam.
Sekitar jam 13.30 dia kembali dan berhasil membawa anak istrinya. Saat itu saya mendapat kabar dari Juniazi bahwa dua orang adik kandung saya, Zidni Rahmi (sarjana arsitektur alumni Unsyiah 2004) dan Zakiul Fuadi (mahasiswa teknik elektro letting 2004) telah meninggal dunia.
Pukul 16.30 sore saya mendapat kepastian bahwa isteri dan kedua anak saya juga meninggal dunia. Dari cerita ayah saya yang berada di lorong lima, saat kejadian adik bungsu saya, Zaki, membawa lari anak kembar kedua saya. Zaki saat itu telah lebih duluan berlari keluar dibandingkan anggota keluarga yang lain, sambil terus membopong Imad.
Tapi karena panik, dia hanya berlari saja keluar dari lorong lima tanpa terpikir untuk menaiki satu bangunan bertingkat pun. Karena hampir semua orang saat itu, termasuk Zaki berpikir sangat berbahaya menaiki bangunan bertingkat dalam kondisi baru diguncang gempa, sehingga tidak menyadari bahaya gelombang tsunami yang lebih besar.
Saat itulah datang air deras menyapu dia berdua keponakannya. Berdua mereka terseret arus sampai keujung komplek dekat jalan raya. Arus dari utara ke selatan tersebut akhirnya mentok dengan gunungan mobil, truk tanah dan tangki yang bertimbun di ujung komplek. Arus tersebut berputar dan membelokkan jasad orang-orang menghantam bangunan rumah dan ruko di kiri dan kanan jalan.
Zaki dan anak saya terseret masuk kedalam wartel, dan akhirnya meninggal dunia karena termampatkan dalam ruangan yang sempit. Saat evakuasi jenazah ada sekitar duabelas orang yang meninggal bertumpukakan dalam wartel kecil di Lorong satu. Jenazah adik dan anak saya ditemukan berada di pojokan dinding wartel berpisah sekitar dua meter oleh Budi, salah seorang sahabat saya yang menjadi jamaah Masjid Komplek.
Alhamdulillah, pada hari itu juga semua jenazah keluarga saya ditemukan anak-anak remaja masjid aktivis PKS. Istri dan kedua anak saya ditempatkan dibubungan rumah kepala dusun, zaki ditempatkan pada tumpukan jenazah yang mudah dijangkau di dalam truk yang tersangkut di atas rongsokan kayu setinggi tiga meter depan rumah kepala dusun, sementara jenazah Zidni diletakkan di atas kasur bekas terbawa air, di pinggiran jalan perumnas satu di samping rumah kepala dusun.
Hal ini memudahkan kami dan keluarga melakukan pengambilan jenazah. Kemudian kelimanya dibawa keluarga kami ke Desa Doi Ulee Kareng untuk dimakamkan. Pada saat itu mereka dikuburkan dalam satu liang yang semua jenazah sudah di fardhu-kifayahkan, jumlahnya 21 orang, lima di antaranya anak-anak balita, termasuk anak saya si kembar Jihad dan Imad.
Pada selasa dini hari setelah penguburan, saya bermimpi seolah sedang melayang dan melihat sebuah gerbang yang begitu besar dan megah. Dalam ruangan gerbang itu berdiri kedua anak saya, Jihad dan Imad, mengenakan baju berwarna hijau menyejukkan sambil menenteng ceret dari emas, sementara isteri saya juga ada di sana, berdiri sambil tersenyum seraya memegang pundak kedua anak saya. Mereka semuanya tersenyum ke saya. Senyum yang sangat damai.
Pemandangan dalam gerbang itu begitu indah, dilatar belakang terlihat kedua adik kandung saya, Zidni Rahmi (adik yang sangat pemalu, kata orang adik wanita saya yang paling cantik dan putih dikalangan kami lima bersaudara), dan Zaki yang masih muda belia (sangat berbakti pada orangtuanya dan menjadi teladan bagi saya yang lebih tua) duduk di atas hamparan rumput nan hijau, mereka berdua berbincang-bincang tanpa menghiraukan saya yang berada di luar gerbang.
Lalu kedua anak saya yang masih kecil-kecil itu berkata “Abi, neu saba beuh, nyoe abi tetap dalam Iman dan Takwa, Insya Allah abi meurempok lom ngon kamo.” Kedua anak saya berpesan agar saya tetap dalam keimanan dan ketakwaan supaya nanti bisa berkumpul kembali. Saya lihat isteri saya terus tersenyum. Mereka melambaikan tangan.
Saya terjaga dari tidur. Ternyata saat itu sudah jam lima shubuh. Setelah sholat, saya bangkit dan menuju kamar tempat mamak mertua berada beserta keluarga ipar. Saya ceritakan bahwa saya bermimpi berjumpa isteri, anak, dan kedua adik saya.
Pada awalnya mereka menghibur saya karena mereka mengira saya akan menceritakan hal-hal yang sedih, karena saya adalah orang yang paling merasa kehilangan dibandingkan keluarga terdekat lainnya.
Namun setelah saya menceritakan mimpi yang barusan saya alami, saya dan mereka semua bersyukur, diiringi do’a dan pengharapan kepada Allah agar memasukkan kedua anak saya yang masih suci, istri saya yang shalihah, adik perempuan saya yang pemalu, dan Zaki yang taat beribadah dan berbakti kepada orangtuanya ke dalam surga-Nya. Amien.
Sesungguhnya di balik musibah ini saya mendapatkan kebahagian yang besar dengan masuknya anggota keluarga saya ke dalam surga. Saya ridha pada isteri saya, semoga keridhaan Allah lebih besar. (ts/Rizki Ridyasmara)

No comments: