Jalan Juang Founding Fathers Menentang Imperialis Asing

Soekarno berpidato, "Marilah kita bergabung menjadi satu kekeluargaan yang besar dengan satu tujuan yang besar: menggulingkan pemerintah kolonial. Melawan mereka, bangkit bersama-sama" Jalan Juang Founding Fathers Menentang Imperialis Asing [1]
Fikiran Ra'yat: Sumber: Cindy Adams, 2014, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat


GELI, jengkel, dan bosan menyaksikan sikap pimpinan negeri ini terhadap PT. Freeport Indonesia. Betapa tidak, sampai detik ini mereka belum menolak perpanjangan kontrak perusahaan yang mengeruk kekayaan alam kita itu. Bahkan gilanya, seorang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia (ESDM) Sudirman Said terang-terangan mengaku sepakat dengan kepastian investasi Freeport pasca 2021 (Republika Online, 9 Oktober 2015). Dasar jongos perlente! Dan akhir-akhir ini mereka malah mau diadudomba oleh imperialis asing itu. Sehingga ributlah satu sama lain di layar kaca dan disaksikan langsung ratusan juta rakyatnya secara eksklusif. Miris! Entah seberapa tebal tembok di muka mereka.
Memang, kontrak PT Freeport baru habis di tahun 2021, namun sebenarnya tak menyalahi kontrak juga bila mereka menolaknya sekarang. Tapi dasar pimpinan negeri ini saja yang takut mengambil resiko, bermental inlander, pasif, pasrah, nrimo, dan minder. Mana Revolusi Mental? Mana Nawacita? Mana Trisakti? Mana Nasionalisme? Mana Pancasila? Tong kosong nyaring bunyinya!
Berbeda dengan sikap founding fathers kita pada penjajah dahulu. Mereka melawan, lalu ditahan, keluar tahanan, tetap melawan, hingga kembali ditahan. Mereka menentang, lalu dibuang, di tempat pembuangan tetap menentang, hingga kembali dibuang. Itu mereka lakukan semata-mata demi kemerdekaan.
Pernah Presiden Bung Karno berpidato di lapangan rapat di Madiun dengan disaksikan langsung oleh polisi Belanda. Tanpa takut, ia katakan;
“Senjata imperialisme yang paling jahat adalah politik Divide et Impera. Belanda telah berusaha memecah belah kita menjadi kelompok yang terpisah-pisah yang masing-masing membenci satu sama lain…
Kita bisa belajar dari firman Sang Maha Pencipta bahwa hanya dalam keesaanlah ada kekuatan. Mungkin aku adalah seorang politikus yang berjiwa romantik, yang terlalu sering memetik kecapi dari idealisme, tetapi ketika orang Israel memberontak terhadap Firaun, siapakah yang menggerakkan kesaktiannya? Nabi Musa. Beliaupun memiliki cita-cita tinggi. Dan apakah yang dilakukan oleh Nabi Musa? Nabi Musa telah mempersatukan seluruh suku menjadi satu kekuatan yang bulat.
Nabi kita juga melakukan yang sama. Nabi Muhammad adalah seorang organisator yang besar. Beliau mempersatukan orang-orang yang beriman, menjadikannya satu masyarakat Islam yang kuat, yang dengan militan melawan peperangan-peperangan, pengejaran, dan penyakit dari zaman itu.
… Marilah kita bergabung menjadi satu kekeluargaan yang besar dengan satu tujuan yang besar: menggulingkan pemerintah kolonial. Melawan mereka, bangkit bersama-sama.”
Mendengar itu, inspektur polisi Belanda yang memegang tongkat, memukulkan tongkatnya ke lantai sambil berteriak,” Stop… Stop….!” Bung Karno lalu dibawa ke kantor polisi. Di sana, ia diberi peringatan keras, “Jangan mencari perkara, Tuan Sukarno. Kalau terjadi sekali lagi, kami akan memasukkan Anda ke dalam sel. Dan Anda akan meringkuk di belakang terali besi untuk waktu yang lama. Mulai sekarang jagalah langkah Anda. Lain kali Anda tidak akan mudah dilepaskan.” Setelah itu, ia akhirnya dibebaskan (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Meski ancaman penangkapan selalu membayanginya, namun Bung Karno tak bungkam. Ia kembali berpidato dalam sebuah rapat umum, menggertak penjajah.
“Kaum imperialis, perhatikan! Apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Perang Pasifik menggeledek dan menyambar-nyambar membelah angkasa, apabila dalam waktu yang tidak lama lagi Samudera Pasifik menjadi merah oleh darah dan bumi di sekitarnya bergetar oleh ledakan-ledakan bom dan dinamit, di saat itulah rakyat Indonesia akan melepaskan dirinya dari belenggu penjajahan dan menjadi bangsa yang merdeka.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Setelah itu, Bung Karno pun kembali ditangkap dan ditahan di penjara khusus orang sakit jiwa di Mergangsan. Hanya satu hari satu malam ia disitu. Ia kemudian dipindahkan ke penjara Banceuy. Setelah 8 bulan ia berada di tahanan, perkaranya dibawa ke pengadilan. Ia dituduh, “mengambil bagian dalam sebuah organisasi yang bertujuan menjalankan kejahatan di samping menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda yang telah ada.”
Di depan pengadilan Bung Karno membacakan pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat.
“Pengadilan menuduh kami telah merencanakan kejahatan. Kenapa? Dengan apa kami akan melakukan kejahatan, Tuan-tuan hakim yang terhormat? Dengan pedang? Bedil? Bom? Senjata kami adalah rencana, rencana untuk mendapatkan persamaan dalam hal pajak, sehingga rakyat Marhaen yang mempunyai penghasilan maksimum 60 rupiah setahun tidak dibebani pajak yang sama dengan orang kulit putih yang mempunyai penghasilan minimum 9.000 rupiah.
Target kami adalah menghapuskan hak-hak luar biasa dari Gubernur Jenderal, yang tidak lain adalah teror yang dilegalkan. Satu-satunya dinamit yang pernah kami pasang adalah jeritan dari derita kami. Medan perjuangan kami tak lain dari gedung-gedung pertemuan publik dan surat-surat kabar umum.
….Kami tahu kemerdekaan memerlukan waktu. Kami tahu kemerdekaan tidak mungkin tercapai dalam satu tarikan napas. Meski demikian kami masih saja dituduh orang ‘menyusun satu komplotan untuk mengadakan revolusi yang berdarah dan terbuka, agar kami dapat merebut kemerdekaan penuh di tahun 1930’ Seandainya ini benar, penggeledehan massal yang Tuan-Tuan lakukan terhadap rumah-rumah kami akan menemukan satu persembunyian senjata-senjata gelap. Tetapi tidak sebilah pisau pun yang ditemukan.
….Suatu negara dapat berdiri tanpa tank dan meriam. Tetapi suatu bangsa tidak mungkin eksis tanpa keyakinan. Keyakinan! Itulah senjata rahasia kami! …Suatu hari nanti, semua negeri Asia berada dalam bahaya penghancuran secara besar-besaran oleh Jepang. Saya hanya mengatakan, menurut keyakinan saya, jikalau ekor naga raksasa itu sudah mengibas-ngibas ke kiri dan kanan, maka Pemerintah Kolonial tidak akan mampu menahannya.
….Kami berjuang dengan kejujuran seorang satria. Kami tidak menginginkan pertumpahan darah. Kami hanya menghendaki satu kesempatan untuk membangun harga diri dari rakyat kami…” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Lewat Fikiran Ra’jat, Bung Karno membuat karikatur-karikatur untuk menghantam kaum imperialis dan menyuarakan kemerdekaan
Di hari berikutnya, pengadilan menyatakan Bung Karno bersalah dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara tanpa pernah dibuktikan. Tak lama setelah itu, ia dipindahkan ke penjara Sukamiskin.
Sementara itu, Indonesia Menggugat telah tersebar ke berbagai pengadilan di Eropa dan banyak protes resmi datang dari ahli-ahli hukum. Perhimpunan Pengacara Austria menilai hukuman itu menciderai rasa kemanusiaan karena tidak pernah dibuktikan. Para ahli hukum Belanda pun membela Bung Karno. Begitu banyak tekanan secara hukum baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga membuat Gubernur Jenderal mengubah hukumannya menjadi 2 tahun.
Pagi tanggal 31 Desember 1931, Bung Karno menghirup udara bebas. Direktur penjara Sukamiskin yang mengiringinya ke pintu keluar, bertanya, “….Apakah Anda betul-betul akan memulai kehidupan baru?” Sambil memegang pintu gerbang dengan tangan kanannya, ia menjawab, “Seorang pemimpin tidak akan berubah karena hukuman. Aku masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan aku meninggalkannya dengan tujuan yang sama.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Bung Karno benar-benar menepati janjinya. Beberapa hari setelah keluar dari penjara Sukamiskin, ia tak kapok-kapok memperjuangkan kemerdekaan. Pada Januari 1932, ia berpidato di depan peserta Kongres Indonesia Raya mengobarkan semangat rakyat. Dengan mata yang berlinang, ia akhiri pidatonya dengan mengatakan, “Kecintaanku terhadap tanah air kita yang tercinta ini belum padam. Juga tidak ada maksudku untuk sekedar berbuat  yang romantis dan berpegangan tangan. Aku bertekad untuk berjuang. Insya Allah, di satu waktu, kita akan bersatu kembali.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Lebih dari itu, ia membuat tulisan berjudul Mencapai Indonesia Merdeka di dalam brosur. Brosur itu dianggap sangat menghasut oleh penjajah, sehingga bararang cetakan itu disita dan dinyatakan terlarang setelah diterbitkan. Banyak yang dirampas, rumah-rumah digeledah, dan rakyat yang berkumpul lebih dari tiga orang digerebek.
Penjajah juga menginstruksikan untuk menahan siapa saja yang membaca majalah itu atau yang memakai peci. Lewat majalah partainya, Fikiran Ra’jat, Bung Karno -dengan nama Soemini- membuat karikatur-karikatur untuk menghantam kaum imperialis dan menyuarakan kemerdekaan.
Tepat delapan bulan dari hari pembebasannya, ia kembali ditahan karena tidak menutup mulut sebagaimana penjajah harapkan. Kali ini ia ditahan di Hopbiro Polisi di Jakarta. Pukul setengah enam pagi, ia lalu dipindahkan ke penjara yang berada di Surabaya. Hari berikutnya ia dilarikan ke palabuhan. Dengan diapit dua orang reserse di kiri dan kanan, ia dibawa naik ke atas kapal barang Jan van Riebeeck  dan dimasukkan ke sebuah kamar kelas dua di sebelah kandang ternak. Delapan hari kemudian, ia  sampai ke tempat pembuangannya di Ende, Flores.
Meski di tempat pembuangan, keyakinan Bung Karno akan kemerdekaan tidaklah sirna. Pernah suatu pagi, seorang stoker menemui Bung Karno di dermaga dan bertanya, “Apa Bung benar-benar yakin kita semua akan merdeka?”
Bung Karno lalu menjawab;
“Kalau ada asap di belakang kapal ini, aku menyimpulkan ada apinya. Keyakinan ini didasarkan pada pertimbangan akal. Ini yang disebut ilmul yakin. Lalu kalau aku berjalan di belakang kapal ini dan melihat api itu dengan mata kepalaku sendiri, itu keyakinan yang didasari penglihatan, ainul yakin. Tetapi mungkin penglihatanku itu salah. Kalau aku memasukkan tanganku ke dalam api dan tanganku terbakar, ini adalah keyakinan yang sungguh-sungguh berdasarkan kebenaran yang tak dapat dibantah lagi, inilah hakkul yakin. Dengan hakkul yakin inilah aku menyimpulkan bahwa kita akan merdeka.
Belanda menyusun barisan berdampingan dengan keju dan mentega, sementara kita menyusun barisan bersama-sama dengan mataharinya sejarah. Suatu hari, betapapun juga, kita akan menang. Dalam fajar itu, kawan, aku tidak akan melarikan diri dari Flores secara diam-diam, tetapi aku berbaris dengan kepala tegak.” (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Suatu ketika Bung Karno tak dapat bangun dari tempat tidurnya. Ia terkena penyakit malaria. Dokter memvonis  ajalnya telah dekat. Mengetahui hal itu, penjajah cepat-cepat memindahkan Bung Karno ke tempat lain yang penduduknya nonpolitis. Penjajah takut bertanggung jawab kalau kalau Bung Karno meninggal dunia. Maka pada bulan Februari 1938, ia dibuang ke Bengkulu.
Di Bengkulu, Bung Karno tak diam. Ia mengisi waktunya dengan merancang masjid dan rumah-rumah untuk rakyat, mengajar para guru Muhammadiyah, menyelenggarakan seminar antar pulau Sumatera-Jawa bagi pemimpin agama, dan menulis artikel (Cindy Adams, 2014, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat).
Tak kalah hebat dari Presiden Bung Karno, Wakil Presiden Bung Hatta pun menentang penjajah dengan gagah. Sewaktu kuliah di Belanda, ia ikut mengganti watak Indische Vereeniging (Perhimpunan Mahasiswa Hindia) menjadi gerakan politik perlawanan. Ia dan kawan-kawannya bahkan menjadi kelompok pertama yang memperkenalkan kata “Indonesia” dengan mengubah nama perhimpunan itu dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).
Perhimpunan itu menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang belakangan diberi nama lebih provokatif, Indonesia Merdeka. Bung Hatta menulis dua artikel di edisi perdana majalah itu. Akibat tulisan-tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial, ia ditahan pada tahun 1927 di Belanda. Ia tak bungkam. Di dalam penjara, ia justru menulis pidato pembelaan yang berjudul  Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) yang nanti ia bacakan selama setengah  jam di depan pengadilan. Judul itu menjadi salah satu manifesto politik yang monumental. Di situlah, tepat di ulu hati kekuasaan kolonial, ia menusukkan tikamannya.
Bung Hatta meninggalkan Belanda pada 20 Juli 1932 dengan menumpang kapal Jerman Saarbrucken yang berlayar melalui Paris, Genoa, lalu melaju hingga Singapura. Di negeri Singa itu, “Ke mana-mana aku selalu diikuti polisi rahasia,” tutur Bung Hatta (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak  yang Melampaui Zaman).
Pulang ke Indonesia dengan membawa gelar sarjana, ia bersama Sjahrir mendirikan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Pendidikan). Di tengah suasana represi politik kala itu, Gubernur Jenderal De Jonge lalu menangkap 13 aktivis PNI-Pendidikan, termasuk keduanya  pada tahun 1934. Bung Hatta dibawa ke penjara Glodok, sementara Sjahrir diangkut ke penjara Cipinang (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan).

Kini, kemerdekaan yang susah payah digapai dan dipertahankan itu dijual dengan murah meriah oleh pimpinan negeri ini kepada imperialis asing
Februari 1935, mereka diangkut ke Boven Digul. Bung Hatta dibuang karena aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya, Daulat Ra’jat.  Mereka kini hidup selama satu tahun di tengah hutan ganas, sungai penuh buaya, lingkungan berpenyakit malaria di Nieuw Guinea yang sekarang namanya Papua.
Tapi dasar Bung Hatta, ia tak bisa lepas dari buku. Dibawanya 16 peti buku ke sana. Buku-buku itu menjadi amunisinya untuk meluncurkan tulisan ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag.  Di sana ia membaca tiap sore, menulis ke surat kabar Adil, Pandji Islam, Pedoman Masjarakat,  dan Pemandangan, menulis tentang filsafat Yunani Antik, dan mengajar ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan.
Di sana Bung Hatta tak mau jadi babu berdasinya penjajah asing. Meski ditawari kerja sama dalam proyek seperti menggali parit, membantu pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, kantor sentral listrik atau menjadi pegawai dermaga, namun ia menolak dengan keras semua tawaran penjajah itu.
Untunglah Bung Hatta dan Sjahrir cepat dipindahkan ke Banda Neira, Maluku pada tahun 1936. Di sana lingkungannya berbeda dengan Digul, alamnya sungguh mempesona. Mereka serasa kembali pada peradaban, kembali hidup normal. Meski begitu, mereka tak lantas berleha-leha.  Mereka mengajar pemuda-pemuda setempat dan di luar Banda Neira. Bung Hatta juga memberikan bimbingan kursus tertulis ekonomi bagi para simpatisannya, menulis untuk surat kabar Pemandangan dan Batavia, dan menulis kembali kuliah-kuliah filsafat Yunani yang pernah ia berikan di Boven Digul  sampai terbit sebagai buku yang kelak menjadi maskawin untuk Rahmi, istrinya.
Pagi, 1 Februari 1942, pesawat terbang amfibi melayang di atas di Pulau Banda Neira dan mendarat di Gunung Api. Hatta dan Sjahrir diangkut ke Jawa. Ada satu pesan mendalam yang ditinggalkan Bung Hatta sebelum meninggalkan Banda Neira,“Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang menerima bantuan.”  (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak  yang Melampaui Zaman)
3 Februari 1942, mereka tiba di Sukabumi dengan kereta api dari Surabaya, dan ditempatkan di rumah dalam kompleks Sekolah Polisi.  Akhirnya mereka kembali ke Jawa, setelah diasingkan tujuh tahun. Tiga tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia, Sukarno Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Meski begitu, penjajah Belanda tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya di Yogyakarta, lalu menangkap pemimpin-pemimpin negeri ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim. Dan mereka dibuang ke Parapat dan Bangka.
November 1949, Bung Hatta pergi ke Belanda untuk perundingan diplomatik dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi yang dihadiri oleh Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan gabungan negara-negara federal itu berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan bangsa Indonesia. Kelak ia mengungkapkan bahwa dalam hidupnya ada dua puncak yang memuaskan hatinya. Pertama, sebagai koproklamator kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kedua, sebagai wakil bangsa Indonesia yang menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ). Bung Hatta pun pulang membawa senyum kemenangan.
Kini, kemerdekaan yang susah payah digapai dan dipertahankan itu dijual dengan murah meriah oleh pimpinan negeri ini kepada imperialis asing. Di mana kemerdekaan yang kita peringati tiap tahun? Setidaknya itu masih bersisa di dalam pasal konstitusi;
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Februari 1935, mereka diangkut ke Boven Digul. Bung Hatta dibuang karena aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya, Daulat Ra’jat.  Mereka kini hidup selama satu tahun di tengah hutan ganas, sungai penuh buaya, lingkungan berpenyakit malaria di Nieuw Guinea yang sekarang namanya Papua.
Tapi dasar Bung Hatta, ia tak bisa lepas dari buku. Dibawanya 16 peti buku ke sana. Buku-buku itu menjadi amunisinya untuk meluncurkan tulisan ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag.  Di sana ia membaca tiap sore, menulis ke surat kabar Adil, Pandji Islam, Pedoman Masjarakat,  dan Pemandangan, menulis tentang filsafat Yunani Antik, dan mengajar ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan.
Di sana Bung Hatta tak mau jadi babu berdasinya penjajah asing. Meski ditawari kerja sama dalam proyek seperti menggali parit, membantu pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, kantor sentral listrik atau menjadi pegawai dermaga, namun ia menolak dengan keras semua tawaran penjajah itu.
Untunglah Bung Hatta dan Sjahrir cepat dipindahkan ke Banda Neira, Maluku pada tahun 1936. Di sana lingkungannya berbeda dengan Digul, alamnya sungguh mempesona. Mereka serasa kembali pada peradaban, kembali hidup normal. Meski begitu, mereka tak lantas berleha-leha.  Mereka mengajar pemuda-pemuda setempat dan di luar Banda Neira. Bung Hatta juga memberikan bimbingan kursus tertulis ekonomi bagi para simpatisannya, menulis untuk surat kabar Pemandangan dan Batavia, dan menulis kembali kuliah-kuliah filsafat Yunani yang pernah ia berikan di Boven Digul  sampai terbit sebagai buku yang kelak menjadi maskawin untuk Rahmi, istrinya.
Pagi, 1 Februari 1942, pesawat terbang amfibi melayang di atas di Pulau Banda Neira dan mendarat di Gunung Api. Hatta dan Sjahrir diangkut ke Jawa. Ada satu pesan mendalam yang ditinggalkan Bung Hatta sebelum meninggalkan Banda Neira,“Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang menerima bantuan.”  (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak  yang Melampaui Zaman)
3 Februari 1942, mereka tiba di Sukabumi dengan kereta api dari Surabaya, dan ditempatkan di rumah dalam kompleks Sekolah Polisi.  Akhirnya mereka kembali ke Jawa, setelah diasingkan tujuh tahun. Tiga tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia, Sukarno Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Meski begitu, penjajah Belanda tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya di Yogyakarta, lalu menangkap pemimpin-pemimpin negeri ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim. Dan mereka dibuang ke Parapat dan Bangka.
November 1949, Bung Hatta pergi ke Belanda untuk perundingan diplomatik dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi yang dihadiri oleh Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan gabungan negara-negara federal itu berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan bangsa Indonesia. Kelak ia mengungkapkan bahwa dalam hidupnya ada dua puncak yang memuaskan hatinya. Pertama, sebagai koproklamator kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kedua, sebagai wakil bangsa Indonesia yang menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ). Bung Hatta pun pulang membawa senyum kemenangan.
Kini, kemerdekaan yang susah payah digapai dan dipertahankan itu dijual dengan murah meriah oleh pimpinan negeri ini kepada imperialis asing. Di mana kemerdekaan yang kita peringati tiap tahun? Setidaknya itu masih bersisa di dalam pasal konstitusi;
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Februari 1935, mereka diangkut ke Boven Digul. Bung Hatta dibuang karena aktif menulis dalam majalah yang diterbitkan partainya, Daulat Ra’jat.  Mereka kini hidup selama satu tahun di tengah hutan ganas, sungai penuh buaya, lingkungan berpenyakit malaria di Nieuw Guinea yang sekarang namanya Papua.
Tapi dasar Bung Hatta, ia tak bisa lepas dari buku. Dibawanya 16 peti buku ke sana. Buku-buku itu menjadi amunisinya untuk meluncurkan tulisan ke koran-koran di Batavia maupun Den Haag.  Di sana ia membaca tiap sore, menulis ke surat kabar Adil, Pandji Islam, Pedoman Masjarakat,  dan Pemandangan, menulis tentang filsafat Yunani Antik, dan mengajar ilmu ekonomi dan filsafat dua kali sepekan.
Di sana Bung Hatta tak mau jadi babu berdasinya penjajah asing. Meski ditawari kerja sama dalam proyek seperti menggali parit, membantu pekerjaan di rumah sakit, kantor telegraf, kantor sentral listrik atau menjadi pegawai dermaga, namun ia menolak dengan keras semua tawaran penjajah itu.
Untunglah Bung Hatta dan Sjahrir cepat dipindahkan ke Banda Neira, Maluku pada tahun 1936. Di sana lingkungannya berbeda dengan Digul, alamnya sungguh mempesona. Mereka serasa kembali pada peradaban, kembali hidup normal. Meski begitu, mereka tak lantas berleha-leha.  Mereka mengajar pemuda-pemuda setempat dan di luar Banda Neira. Bung Hatta juga memberikan bimbingan kursus tertulis ekonomi bagi para simpatisannya, menulis untuk surat kabar Pemandangan dan Batavia, dan menulis kembali kuliah-kuliah filsafat Yunani yang pernah ia berikan di Boven Digul  sampai terbit sebagai buku yang kelak menjadi maskawin untuk Rahmi, istrinya.
Pagi, 1 Februari 1942, pesawat terbang amfibi melayang di atas di Pulau Banda Neira dan mendarat di Gunung Api. Hatta dan Sjahrir diangkut ke Jawa. Ada satu pesan mendalam yang ditinggalkan Bung Hatta sebelum meninggalkan Banda Neira,“Suatu bantuan pembangunan harus bebas dari syarat politik apapun juga, bebas dari campur tangan asing dalam soal-soal dalam negeri bangsa yang menerima bantuan.”  (Tim Penyunting Tempo, 2010, Hatta Jejak  yang Melampaui Zaman)
3 Februari 1942, mereka tiba di Sukabumi dengan kereta api dari Surabaya, dan ditempatkan di rumah dalam kompleks Sekolah Polisi.  Akhirnya mereka kembali ke Jawa, setelah diasingkan tujuh tahun. Tiga tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1945, atas nama rakyat Indonesia, Sukarno Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Meski begitu, penjajah Belanda tak sudi mengakui kemerdekaan Indonesia. Maka pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya di Yogyakarta, lalu menangkap pemimpin-pemimpin negeri ini seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim. Dan mereka dibuang ke Parapat dan Bangka.
November 1949, Bung Hatta pergi ke Belanda untuk perundingan diplomatik dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Konferensi yang dihadiri oleh Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan gabungan negara-negara federal itu berakhir dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan bangsa Indonesia. Kelak ia mengungkapkan bahwa dalam hidupnya ada dua puncak yang memuaskan hatinya. Pertama, sebagai koproklamator kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kedua, sebagai wakil bangsa Indonesia yang menandatangani dokumen pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda (H. Rosihan Anwar, 2010, Sutan Sjahrir Demokrat Sejati, Pejuang Kemerdekaan ). Bung Hatta pun pulang membawa senyum kemenangan.
Kini, kemerdekaan yang susah payah digapai dan dipertahankan itu dijual dengan murah meriah oleh pimpinan negeri ini kepada imperialis asing. Di mana kemerdekaan yang kita peringati tiap tahun? Setidaknya itu masih bersisa di dalam pasal konstitusi;
”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Muhammad Cheng Ho 
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

No comments: