KH Mawardi Labay El Sulthani, Sang Pendidik dari Tanah Minang

KH. Mawardi Labay
KH. Mawardi Labay
ulama yang lahir dari Tanah Minangkabau, Sumatra Barat, sejak zaman perjuangan kemerdekaan hingga saat ini.
Umumnya para ulama dari Minangkabau, Sumatra Barat, dipanggil dengan panggilan kehormatan Buya atau Syekh. Gelar Buya atau Syekh seperti gelar Kiai di Pulau Jawa.

Namun, ada satu ulama asal Sumatra Barat yang dipanggil Kiai. Dia adalah KH Mawardi Labay El Sulthani. “KH Mawardi Labay El Sulthani merupakan satu-satunya ulama asal Minangkabau yang dipanggil Kiai,” kata Evi Afrizal Sinaro, kemenakan Mawardi Labay, mengisahkan jejak rekam sang tokoh kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Sosok kelahiran 5 Maret 1936 di Dusun Surau Ladang, Koto Marapak, Kecamatan Angkat Canduang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat ini, menurut Afrizal adalah sosok pendidik sejati.
KH Mawardi Labay membaktikan hidupnya untuk memajukan pendidikan umat, di samping rutinitas berdakwah dan berceramah.

Bersama-sama Buya Hamka, ia merintis pendirian lembaga pendirikan Al-Azhar di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Awalnya lembaga tersebut masih berupa pendidikan diniyah (pendidikan agama dan keagamaan nonformal). “KH Mawardi dan Buya Hamka ikut mengajar di sekolah tersebut,” kata Afrizal.


KH. Mawardi Labay
KH Mawardi Labay (kanan) bersama Buya Hamka

Bersama Adam Malik, Merintis Pendirian Yayasan Harapan Ibu

Afrizal Sinaro menuturkan, pendirian Lembaga Pendidikan Al Azhar Kebayoran Baru oleh Sang Kiai bersama-sama dengan Buya Hamka bertujuan menanamkan tauhid dan kecintaan anak didik kepada Allah SWT.


Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan tersebut kemudian menjadi Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al-Azhar yang menyelenggarakan pendidikan di berbagai jenjang dari TK, SD, SMP, dan SMA, serta telah berkembang pesat hingga ke berbagai kota di Indonesia.

Pada 1980, Mawardi Labay merintis pendirian Yayasan Pendidikan Harapan Ibu bersama H Adam Malik. Lembaga yang berpusat di Pondok Pinang ini berkembang pesat hingga sekarang.
Bahkan Yayasana Pendidikan Harapan Ibu bisa menyelenggarakan pendidikan dengan berbagai jenjangnya. “Sekolah tersebut menjadi salah satu lembaga pendidikan Islam terbesar di Pondok Pinang,” tutur Afrizal.

Kepeduliannya terhadap pendidikan tak terhenti di situ. Pada 1993, Mawardi merintis berdirinya Perguruan Al Iman di Bojong Gede di Citayem, Bogor, Jawa Barat, yang menyelenggarakan pendidikan TK, SD, SMP Islam Al Iman. Lembaga ini pun terus berkembang seiring perjalanannya. 

Putra dari pasangan Buyung Labay Sutan dan Raiyah ini memperoleh bekal agama dari Sekolah Muallimin Padang Panjang, Sumatra Barat. Selanjutnya ia lebih banyak berguru kepada ulama-ulama, seperti Buya Malik Ahmad, Buya Duski Samad, Buya Nurdin Hakami, dan Buya Hamka.

Mawardi terjun berdakwah saat berusia 40 tahun. Sebelum mengabdikan diri ke dakwah, ia adalah sosok saudagar yang ulet. Pernah menjadi pedagang kaki lima di Bandung hingga akhirnya berdagang ikan asin sampai tekstil di kawasan Roxy, Jakarta Pusat.
KH. Mawardi Labay
KH Mawardi Labay (kanan) bersama Datuk Hakim
Afrizal Sinaro mengungkapkan, selama berdakwah, KH Mawardi Labay aktif mengajar di majelis taklim ibu-ibu dari rumah ke rumah, masjid, dan perkantoran.

Intensitas dakwah ini perlahan melambungkan namanya hingga dipercaya mengisi taklim di hampir semua departemen, lembaga tinggi negara, dan stasiun televisi kala itu. Kiai Mawardi pernah didaulat sebagai guru spiritual Departemen Pekerjaan Umum kala itu.

Gaya berceramah Mawardi sangat khas. Bahasanya sederhana, mudah dipahami, kadang dengan gaya daerah Minangkabau dengan pepatah-petitihnya dan selera humor yang tinggi.
“Mottonya dalam berdakwah adalah Membawa Umat Supaya Sukses dan Selamat. Sukses di dunia selamat di akhirat,” kata Afrizal memaparkan.

Ciri khas Kiai Mawardi Labay inilah yang justru menjadi magnet dan daya tarik. Ceramahnya tidak hanya diterima kalangan bawah, tetapi juga masyarakat kelas menengah ke atas yang didominasi kaum ibu.

Mereka rata-rata mulai belajar mengaji di usia yang tak lagi muda, meski materi mereka berlimpah. Salah satu jamaahnya adalah Ibu Rahman Tamim, Jakarta. “Rahman Tamim merupakan raja tekstil pada 1980-an,” ungkap Afrizal.

Kiprah dakwah Mawardi tak hanya di dalam negeri. Ia berdakwah hingga ke mancanegara, khususnya ke Malaysia. Dunia dakwah ini pulalah yang mendekatkannya kepada sejumlah tokoh ulama ternama seperti Buya Hamka dan Nurdin Hakami. 

Menurut Afrizal, salah satu kebiasaan Mawardi saat berceramah adalah membagikan catatan poin-poin penting materi ceramah kepada jamaah. Hingga suatu saat, seseorang memberikan saran agar catatan tersebut dibukukan. Muncullah gagasan mendirikan perusahaan penerbit buku.

Pada 1994, atas inisiasi Mawardi dan Afrizal berdirilah PT Al Mawardi Prima. Semula, penerbit ini hanya menerbitkan buku-buku karya Mawardi, tetapi seiring perjalanannya banyak menerbitkan karya tulis lebih dari 30 judul. Beberapa di antaranya bahkan masih dicetak ulang. “Oplahnya ada yang menembus ratusan ribu eksemplar,” ungkap Afrizal.
KH. Mawardi Labay
Afrizal Sinaro (kanan) berbincang dengan Mendikbud Anies Rasyid Baswedan.

Pesan Berharga yang Selalu Terngiang

Kurang lebih 30 tahun, Afrizal Sinaro mendampingi KH Mawardi Labay dalam berdakwah. Sosok Mawardi bukan sekadar paman, tetapi juga orang tua, guru, sekaligus sahabat.

Bagaimana tidak? kiai Mawardi banyak berjasa baginya sebagai seorang perantau. Lulus dari MTs di Bukittinggi pada 1981, Afrizal diminta merantau ke Jakarta, hingga berkuliah di IKIP Muhammadiyah Jakarta. “Ia adalah motivator saya,” ungkap ketua Ikapi DKI Jakarta ini penuh syukur. 

Masih terngiang di benak Afrizal, pesan-pesan kebajikan yang dipatrikan sang paman dalam hidupnya. “Evi… dalam hidup ini tanam sajalah kebaikan, nanti kamu akan memetiknya,” katanya, menirukan kata-kata bijak pamannya itu.

Almarhum juga berpesan kepada dirinya untuk mengelola Penerbit Al Mawardi. “Cukup tiga, yaitu RKS (rawat, kembangkan, selamatkan),” tuturnya.             

Sang Pendidik dari Tanah Minang itu wafat di Jakarta, 14 September 2003 di usia 67 tahun. Almarhum membaktikan 27 tahun dari usianya untuk berdakwah menegakkan agama Allah SWT.
Ajal boleh saja menjemputnya, tetapi amalnya akan tetap mengalir lewat karya tulis dan lembaga pendidikan yang ia dirikan. Semoga.

No comments: