Demi Utsman, Nailah Korbankan Jari-Jari Cantiknya

Jari tangan  (ilustrasi)
Jari tangan (ilustrasi)
Suatu hari, badai pemberontakan menghantam Madinah. Ribuan orang yang memendam kedengkian kepada Utsman bin Affan RA datang di bawah kepemimpinan Muhammad bin Abu Bakar. Mereka datang dengan membawa pedang, menginginkan nyawa  sahabat Rasulullah SAW ini. 
Pasukan itu mengepung rumah Utsman bin Affan RA. Tak lari, Nailah menghadapi serangan itu dan terus membersama Utsman. Ia membesarkan jiwa kekasihnya dan melingkupinya dengan kasih sayang.
Tak tahan sekadar mengepung dan menunggu, dua orang laki-laki akhirnya masuk ke dalam rumah Utsman bin Affan RA. Dalam keadaan seperti itu, Nailah melihat keluar dan melepaskan kerudungnya. Ia berharap para lelaki itu masih memiliki keimanan dalam hatinya dan akan memalingkan wajah meninggalkan mereka.
Utsman bin Affan RA melihat apa yang dilakukan istrinya dan segera menegurnya. “Nailah, tutuplah rambutmu itu dengan kerudung. Demi Allah, lebih mudah bagiku untuk membiarkannya masuk daripada engkau berbuat haram dengan membiarkan rambutmu terurai,” kata Utsman.
Kedua laki-laki itu akhirnya berhasil masuk ke rumah dan sampai di hadapan Utsman dan istrinya. Seorang di antara mereka mengayunkan pedangnya kepada Utsman bin Affan RA. Dengan keberaniannya, Nailah menahan tebasan pedang tersebut hingga terputus beberapa jari-jarinya yang sangat indah.
Bagi Nailah, keselamatan suaminya menjadi prioritas utama. Ia tak peduli jikapun harus berkorban nyawa. Walaupun begitu, Nailah adalah seorang perempuan yang sangat lembut. Ia merasakan sakit yang luar biasa di ujung-ujung jarinya yang terputus. Ia menjerit, memanggil pembantu laki-lakinya yang bernama Rabah.
Muhammad bin Abu Bakar ikut mengayunkan pedangnya ke arah Utsman bin Affan RA. Lagi-lagi Nailah menahan tebasan pedang dengan tangannya yang masih utuh. Beberapa jarinya yang indah terputus.
Jeritan Nailah tak mampu meluluhkan hati Muhammad bin Abu Bakar yang telah dibutakan oleh kebencian. Tindakan Nailah justru membuat dia bersikap lebih kejam. Ia mencabut jenggot Utsman bin Affan RA, memukul kepalanya, lalu menikamnya. Utsman bin Affan RA diperlakukan begitu keji.
Para pemberontak bagai kesetanan. Mereka hendak memenggal kepala Utsman bin Affan RA. Ketika pedang sudah disabetkan ke kepala, Nailah dengan kedua tangan yang tak sempurna memeluk suaminya. Ia bersama putri mereka menutupi tubuh Utsman untuk memberikan perlindungan.
Para pemberontak makin membabi buta. Nailah dan putrinya menjadi bulan-bulanan, menjadi luapan amarah. Mereka dipukul dan diinjak. Nailah yang kesakitan pun berkata, “Sungguh, kalian telah membunuhnya, padahal dia telah menghidupkan malam dengan Alquran dalam rangkaian rakaat.”
Suara Nailah tak lagi dianggap. Kebencian, nafsu, dan rayuan setan menyatu dalam diri pemberontak. Seseorang menyabetkan pedangnya tanpa peduli Utsman sedang memegang Alquran. Darah mengucur, menetes jatuh surat al-Baqarah ayat 137 yang berbunyi, “Maka Allah memelihara engkau dari mereka.”
Nailah memanjatkan doa kepada Allah SWT, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu, dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu.”
Utsman bin Affan RA pun wafat di tangan para pemberontak. Sepeninggal Utsman, Muawiyah bin Abu Sufyan datang kepada Nailah dan melamarnya. Nailah menolak pinangan tersebut. Muawiyah bertanya, apa gerangan yang membuat Nailah menolak dia. “Aku melihat kesedihan ini menyelimutiku seperti pakaian yang menyelimuti diri ini. Aku takut kesedihanku atas Utsman bin Affan ini akan terulang kepada orang lain seperti dia. Ini tidak akan terjadi lagi.” kata Nailah.
“Tidak mungkin ada seorang pun yang mampu menggantikan kedudukan Utsman di dalam hatiku,” kata Nailah lagi.

No comments: