Terorisme dan New Khawarij

Maka, langkah-langkah kongkrit harus ditempuh, setidaknya harus ada gerakan yang sungguh-sungguh untuk menghilangkan ketidak-adilan terhadap umat Islam, Terorisme dan New Khawarij
Jihad memiliki rukun dan syarat, aturan dan ketentuan yang diberlakukan secara ketat

Rangkaian ledakan mengguncang Jakarta, Tujuh orang, lima di antaranya pelaku, meninggal di kawasan belanja Sarinah, Thamrin Jakarta Pusat. Sedikitnya puluhan orang lainnya terluka, enam di antaranya anggota Polisi, peristiwa memilukan itu berlangsung Kamis pagi, 14 Januari 2016 lalu.
Berbagai spekulasi muncul terkait pelakunya. Kapolri langsung terang-terangan menuduh ISIS otak utama pelaku. Tapi BIN membantah, dan lainnya memepertanyakan, Jika ISIS pelakunya, dari mana informasi itu bisa cepat masuk pada kepolisian padahal penyelidikan belum dilakukan, serta para pelaku semuanya telah meragang nyawa, ada pula yang mempersoalkan kinerja BIN yang dengan mudahnya kecolongan.
Namun yang jelas, aksi yang lebih mirip “tontonan” banyak menimbulkan kecurigaan.
Karena itu, diskursus tentang aksi terorisme kembali menggema, para mantan praktisi, akademisi, hingga semua orang “menjadi ahli di bidang terror” dan ikut berlomba-lomba mengutarakan difinisi, latar belakang, ideologi, hingga tujuan yang ingin dicapai para pelaku. Tulisan ini berusaha meneropong sisi lain tentang terorisme.
Perbuatan yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika ‘Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional’, (Pasal 6).
Dari pasal tersebut dapat disarikan bahwa suatu aksi atau tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila mengandung unsur: Dilakukan dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan; Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara luas; Menimbulkan korban massal, baik dengan cara marampas kemerdekaan atau dengan menghilangkan nyawa atau harta benda orang lain;Mengakibatkan kerusakan pada obyek-obyek vital, lingkungan hidup atau fasilitas publik.
Namun yang menarik, prilaku korupsi, kapitalisme, ketimpangan sosial, prostitusi, perjudian, dan semisalnya bukan bagian dari teorisme, walaupun dampaknya bisa melebihi kejahatan terorisme, dan pada tahap tertentu bisa masuk dalam extra ordinary crime.
Sesungguhnya aksi terorisme perlu diselesaikan dengan mengevaluasi akar masalah. Jika disederhanakan terdapat dua faktor penyebab:
Pertama, faktor eksternal umat, yaitu masalah kesenjangan sosial yang membuahkan ketidakadilan.
Data yang ada, satu persen penduduk menguasai limapuluh persen kekayaan Indonesia. Dari duabelas orang terkaya di Indonesia tahun 2015, hanya satu orang muslim. Ketidakadilan dan kemiskinan adalah tanah yang subur bagi terorisme. Yang paling merasakan kemiskinan adalah kaum muslim, tidak heran jika mereka banyak yang melakukan tuntutan keadilan.
Jika pemerintah ingin menyelesaikan terorisme, maka jalan keluarnya, tumbukanlah keadilan di tengah masyarakat. Jangan ada perasan bagai numpang di negeri sendiri. Cukuplah pengalaman dari peristiwa Ambon dan Poso yang faktor penyebabnya ketidakadilan sosial.
Kedua, faktor internal dari SDM umat sebagai akibat pendidikan yang pradigmanya harus diubah. Kita perlu pendidikan Islam komprehensif dengan memperkenalkan semua aspek yang berkembang dalam sejarah Islam.
Maka, langkah-langkah kongkrit harus ditempuh, setidaknya harus ada gerakan yang sungguh-sungguh untuk menghilangkan ketidak-adilan terhadap umat Islam, di mana kita merasakan antara lain, kebijakan pemerintah dalam mengembangkan pendidikan Islam/pesantren, madrasah, perguruan tinggi Islam, dibandingkan dengan bantuan pemerintah kepada pendidikan umum, walaupun tahun-tahun terakhir ini sudah mulai mengalami perbaikan, dan diharapkan akan terus meningkat. Selain itu, pendidikan Islam yang konprehensif diharapkan melahirkan generasi yang tidak mengkafirkan sesama muslim yang berbeda dalam pengamalan masail furu’iyah, tapi dalam waktu yang sama, mereka mempunyai keyakinan yang kuat terhadap apa itu kekafiran, siapa itu orang kafir dan paham betul bagaimana bergaul dengan orang-orang kafir menurut ajaran Islam.*
Ilham Kadir
Peserta Kaderisasi Seribu Ulama Baznas-DDII

No comments: