Kebahagian Iman Al-Ghazali

bunga
TAK terelakkan kehidupan yang bahagia meruapkan sesuatu yang diidamakan bagi semua orang. Miskin atau kaya. Tampan atau cantik. Semua orang yang memiliki akal dan juga jiwa yang sehat pastilah ingin bahagia dalam kehidupannya. Bukankah begitu?
Tetapi banyak orang yang salah mengartikan kebagahagian itu sendiri. Tak jarang yang berpandangan bahwa bahagia itu hidup tanpa aturan, bebas kemana saja, atau pun melakukan hal yang diinginkan. Tetapi arti bahagia tidak sesempit dan sesederhana itu. Memuaskan hawa nafsu itu bukan bahagia tetapi terjebak dalam kelalaian yang nyata. Misalnya saja, seseorang yang hedonis. Dengan hidup yang serba bergelimangan barang-barang mewah, uang dan harta benda yang serba berlebihan. Mereka menganggap bahwa menghabiskan dan mengamburkan uang yang dimiliki merupakan sebuah kebahagiaan dalam hidupnya. Stop! Bahagia bukan itu tahu.
Pada suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Yahya bin Khalid Al-Barmky –seorang Wazir yang mansyhur di dalam Daulat Bani Abbas— lalu ia berkata, “Apakah bahagia itu, tuanku?” Beliau pun menjawab, “Sentosa pengrangi, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud.”
Menurut Hutai’ah ia bersyair, “Menurut pendapatku, bukanlah kebahagian itu pada mengumpul harta benda. Tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia. Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan. Pada sisi Allah-lah kebahagiaan para orang yang taqwa.”
Zaid bin Tsabit bersyair, “Jika petang dan pagi seorang manusia telah beroleh aman sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia.”
Orang yang berpegang teguh dengan agama, kebahagiannya ialah ketika meninggalkan barang yang terlarang, mengikut yang tersuruh, menjauhi yang jahat, mendekati yang baik. Bahagianya ialah ketika menjalankan perintah agama.
Ibnu Khaldun menguraikan bahwa, “Bahagia itu ialah tunduk dan patuh mengikut garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan.”
Abu Bakar Ar-Razi merupakan seorang tabib Arab yang mansyur, ia memaparkan bahwa, “Bahagia yang dirasa oleh seorang tabib, jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan menggunakan aturan makanan saja.”
Imam Al-Ghazali menyatakan, “Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.”
“Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan sebagai sarana mengingat Allah. Demikian hati, tatkala yang dahulunya belum ada ma’rifat kepada Allah, kemudian ia mendapat nikmat mengenalNya, ia sangat gembira dan tidak sabar ia menunggu masa akan bertemu dengan Allah SWT.” Lanjut Imam Al-Ghazali.

IMAM Al-Ghazali menyatakan, “Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.”
“Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu ialah bila kita merasakan nikmat kesenangan dan kelezatannya, dan kelezatan itu ialah menurut tabiat kejadian masing-masing, maka kelezatan ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain di tubuh manusia. Adapun kelezatan hati ialah teguh ma’rifat kepada Allah, karena hati itu dijadikan sebagai sarana mengingat Allah. Demikian hati, tatkala yang dahulunya belum ada ma’rifat kepada Allah, kemudian ia mendapat nikmat mengenalNya, ia sangat gembira dan tidak sabar ia menunggu masa akan bertemu dengan Allah SWT,” lanjut Imam Al-Ghazali.
“Oleh sebab itu, tak ada satu ma’rifat yang lebih lezat daripada ma’rifatullah. Tidak ada pula pandangan yang lebih indah dari pandangan Allah. Sebab segala kelezatan, kegembiraan, kesenangan, dan suka cita yang ada di dunia ini, semuanya hanya bertumpu pada pertimbangan nafsu, dan suatu saat nanti akan terhenti pada suatu batas, yaitu kematian. Akan tetapi berbeda tatkala kita merasakan kelezaran ma’rifatullah bukan bertumpu pada nafsu, ia bertumpu pada hati. Maka perasaan dan hati tidak terhenti tatkala jasad ini mati dan terbujur kaku. Hati nurani itu tak akan rusak bilapun mengalami perpindahan dari fana (dunia) ke baka (akhirat). Tatkala jasad ini mati, hati nurani ini terbebas dari alam yang sempit, masuk kea lam yang luas, keluar dari gelap gulita menuju terang benerang,” urai Imam Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali, memaparkan, “Kesempurnaan bahagia itu bergantung pada tiga kekuatan. Perrtama, kekeuatan marah. Kedua, kekuatan syahwat. Dan yang terakhir, kekuatan ilmu.”
Maka sangatlah perlu setiap insan berjalan di tengah-tengah di antara tiga kekuatan itu. Jangan berlebih-lebihan dalam mengikuti kekuatan marah, sebab memudahkan yang sukar dan membawa kepada sesuatu yang binasa. Jangan pula berlebih-lebihan pada kekuatan syahwat sehingga menjadi seseorang yang humuq –pandiar—yang merusakan pula. Maka kekuatan marah dan kekuatan syahwat itu ditimbang baik-baik dan di letakkan di tengah-tengah, luruhlah perjalannya menuju ridha Allah.
Kalau kekuatan marah itu berlebih dari yang seharusnya, maka akan terjadi seperti sekarang ini. Banyak pembunuhan dan kekerasan sosial. Tetapi jikalau kurang kekuatan marah ini pula akan menimbukan hilangnya dalam diri rasa kecemburuan, dan hilang pula perasaan bertanggungjawab atas agama dan keperluan hidup atas dunia. Tetapi marak jika di letakkan di tengah-tengah, akan memimbukan kesabaran, keberanian dalam perkara yang memerlukan keberanan, dan segala pekerjaan dapatlah dikerjakan menurut hikmat.
Demikian pula halnya dengan syahwat. Kalau syahwat itu bertambah-tambah, terjadilah fsiq (melanggar perintah Allah), berbuat onar –keributan. Kalau syahwat kurang teguh, terjadilah kelemahan hati, dan pemalas. Kalau syahwat berjalan di tengah-tengah, timbullah ‘Iffah artinya dapat memerintah diri sendiri, dan qana’ah yang memiliki arti cukup dengan apa yang ada  serta tidak berhenti berusaha.
Menurut Imam Al-Ghazali juga, “Di dalam bathin manusia juga terdapat beberapa sifat yang ganjil, sifat kebinatangan, sifat keganasan dan sifat malaikat. Tetapi dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engaku tahu, wahai manusia, bahwa sifat-sifat yang tersebut tadi bukan berasal dari jiwamu yang asli, melainkan sifat-sifat yang dating kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan baik-baik dan ketahui pula hal apa saja yang dapat menjinakan sifat-sifat tadi, untuk mencapai bahagia.”
Lantas, apa ciri-ciri dari sifat-sifat tersebut dan cara menjinakan sifat-sifat itu agar menuju kebahagian yang sejati.
Pertama, kebahagiaan sifat kebinatangan ialah makan, minum, tidur, dan sebagainya. Jikalau seserang dimasuki oleh sifat kebinatangan ini lebih dari ukuran yang semestinya, tentu ia hanya akan memikirkan bagaimana memenuhi makanan dan mimun saja. Bagaikan orang yang hanya memikirkan perut dan perut saja. Ataupun kebutuhan raga saja.
Kedua, kebahagiaan sifat  keganasan ialah memukul dan meusak. Kesenagan dan kebahagian setan ialah memperdayakan manusia dan mejerumuskan serta menghelah. Jikalau sifat setan itu ada pada diri seseorang , maka ia akan memperdayakan orang lain, mejerumuskan orang lain pada kesesatan, menghelah-helah, megundur-ngundur suatu perkara, sebab demikian tercapailah kebahagiaan dan kesenangan setan. 
MENURUT Imam Al-Ghazali juga, “Di dalam bathin manusia juga terdapat beberapa sifat yang ganjil, sifat kebinatangan, sifat keganasan dan sifat malaikat. Tetapi dirimu yang sejati ialah nyawamu, rohmu. Hendaklah engaku tahu, wahai manusia, bahwa sifat-sifat yang tersebut tadi bukan berasal dari jiwamu yang asli, melainkan sifat-sifat yang dating kemudian. Sebab itu hendaklah engkau perhatikan baik-baik dan ketahui pula hal apa saja yang dapat menjinakan sifat-sifat tadi, untuk mencapai bahagia.”
Lantas, apa ciri-ciri dari sifat-sifat tersebut dan cara menjinakan sifat-sifat itu agar menuju kebahagian yang sejati?
Pertama, kebahagiaan sifat kebinatangan ialah makan, minum, tidur, dan sebagainya. Jikalau seseorang dimasuki oleh sifat kebinatangan ini lebih dari ukuran yang semestinya, tentu ia hanya akan memikirkan bagaimana memenuhi makanan dan mimun saja. Bagaikan orang yang hanya memikirkan perut dan perut saja. Ataupun kebutuhan raga saja.
Kedua, kebahagiaan sifat  keganasan ialah memukul dan meusak. Kesenangan dan kebahagiaan setan ialah memperdayakan manusia dan mejerumuskan serta menghelah. Jikalau sifat setan itu ada pada diri seseorang, maka ia akan memperdayakan orang lain, menjerumuskan orang lain pada kesesatan, menghelah-helah, mengundur-ngundur suatu perkara, sebab demikian tercapailah kebahagiaan dan kesenangan setan.
Ketiga, kesenangan dan kebahagian sifat malaikat ialah menyaksikan keindahan Hadhrat Rububiyah, keindah Hikmat Ilahiyah. Marah dan syahwat tidak berpengaruh atas orang yang bersifat begini. Jikalau, seseorang mempunyai sifat dari jauhar (intan) malaikat ini hendaklah ia bersungguh-sungguh menyelidiki asal kejadianmu, sehingga  akhirnya ia tahu, jalan manakah yang harus ditempuh untuk mencari  Hadhrat Rubbiyah itu, sampai akhirnya ia beroleh bahagia yang mulia dan tinggi, yaitu musyahadah, menyaksikan keindahan dan ketinggian di sisi Allah, terlepas dirimu dari ikatan syahwat dan marah.
Di sanalah ia akan mengetahui kelak bahwa syahwat dan kemarahan itu dijadikan Allah atas dirimu, bukan supaya ia terperosok dan tertawan, tetapi supaya ia dapat menawannya. Dapatlah keduanya ia pergunakan jadi perkakas untuk mencapai maksudnya menuju jalan ma’rifat tadi, yang satu ia jadikan kendaraan, yang lain ia jadikan senjata, hingga mudahlah ia mencapai keberuntungan, bahagia dan kesenangan.
Kalau ia lihat salah satu anggota kerajaan hati itu melanggar undang-undang hidup, yaitu salah satu dari syahwat dan marah, hendaklah ia lawan sepenuh tenaga. Jika dia kalah sekali-kali jangan dibunuh, kerena kerajaan hati tidak akan sentosa kalau keduanya tidak ada lagi.
Kalau ia jalankan resep demikian, tentu akan beroleh bahagia. Dapat ia memegang dan mempergunakan nikmat Allah SWT menurut yang mestinya. Tentu pada suatu waktu yang telah ditentukan Tuhan di dalam ajalNya, ia akan beroleh peringatan kehormatan yang tinggi daripadaNya. Kalau ia langgar petaruh ini, tentu ia celaka, ia dapat siksa yang bukan seperti, yang membuat ia menyesal.
Secara garis besar kebahagian menurut Imam Al-Ghazali ialah pada kemenangan memerangi nafsu dan menahan kehendaknya yang berlebih-lebihan. Itulah yang bernama peperangan besar, lebih besar dari menaklukan negeri.
Nabi Muhammad SAW kembali dari peperang Uhud yang paling besar. Tidak ragu lagi, bahwa orang yang menang dalam peperangan yang demikian, lebih daripada segala kemenangan. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Kembalinya dari perang Uhud itu ialah kembali dari perang yang sekecil-kecilnya, menempuh perang yang sebesar-besarnya, yaitu perang dengan nafsu.”
Maka kemenangan di dalam peperangan dengan nafsu ini ialah induk dari segala kemenangan. Karena orang yang berperang ke medan perang itu sendiri, ada juga yang mencari nama dan kemegahan. Pada lahir ternama, padahal bathin amalnya belum tentu diterima Allah SWT. sedangkan orang yang berperang dengan nafsu itu, kerapkali tidak dilihat manusia lahirnya kemenangan itu, tetapi tertulis dengan jelas di sisi Allah SWT. [dry/islampos].
Referensi: Tasauf Modern/Hamka/Pustaka Panjimas/1990

No comments: