MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah Lanjutan

MIAI kelak berganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Jejak yang ditinggalkan MIAI ini setidaknya menunjukkan kepada kita bahwa persatuan umat Islam di Indonesia bukanlah fatamorgana MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah
Kantor Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI)

Mengingat strategisnya MIAI sebagai wadah pemersatu, di samping masih banyaknya persoalan yang belum terselesaikan di kongres pertama MIAI, maka pada bulan Maret 1939, sekretariat MIAI menyebarkan undangan penyelenggaraan kongres kedua MIAI pada tanggal 2-7 Mei 1939 di Solo. Kongres itu dihadiri oleh 25 organisasi. Kali ini, kongres mengulangi pembicaraan pada kongres sebelumnya, mengenai ordonansi perkawinan atau kawin bercatat dan memutuskan untuk memberikan penjelasan mengenai perkawinan menurut Islam, agar kebiasaan berselir tercegah. Mengenai penghinaan pada Nabi dan Islam, kongres memutuskan pembentukan sebuah komisi yang diketuai Persis guna mengadakan penelitian mengenai ini dan melakukan pembelaan kalau hal tersebut terjadi. Kongres memberi perhatian pada kerukunan pemuda Islam dengan mempercayakan pada JIB untuk mengatur persoalan tersebut.
Kongres juga mendesak pemerintah kolonial mengambil tindakan terhadap artikel 177 dan 178 LS (Konstitusi Hindia). Kongres menuntut pemerintah untuk tidak mencabut artikel 177 LS yang mewajibkan para misionaris Kristen memiliki izin beroperasi di daerah yang sudah ditentukan secara khusus. Dan mendesak penghapusan artikel 178 LS yang dinilai membatasi aktivitas agama Islam karena diawasi oleh kepala pribumi.
Pada konferensi MIAI pleno tanggal 14-15 September 1940, MIAI mengubah Anggaran Dasar dan Tetangga serta susunan pimpinan yang disebut Dewan MIAI. Dewan itu terdiri dari lima orang wakil-wakil dari perhimpunan-perhimpunan anggota MIAI, dengan dibantu oleh sekretariat yang terdiri dari tiga orang yang diangkat oleh Dewan MIAI. Dalam perubahan tersebut, yang memegang kemudi Dewan MIAI pada periode pertama adalah KH. Wahid Hasyim dari NU (Ketua), Wondoamiseno (Wakil Ketua), S. Oemar Hoeis dari Al-Irsyad, KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Soekiman dari PII (Anggota). Sekretariat diduduki oleh H. Faqieh Oesman dari Muhammadiyah (Ketua), S. Abdoelkadir Bahalwan dari PSII (Sekretaris), dan Sastradiwirja dari Persis (Bendahara).
Di tahun itu masih saja muncul tulisan-tulisan yang menghina Nabi seperti pada beberapa kejadian sebelumnya. Kali ini artikel tersebut muncul di media berbahasa Inggris dari kalangan Kristen “De ChristelijkeOnderwijzer” 3 Oktober 1940 dan “De Banier” 7 November 1940. Mengetahui hal itu, Sekretariat MIAI meminta pemerintah kolonial untuk mengambil tindakan tegas pada penulis dan surat kabarnya. Peristiwa tersebut seperti kasus-kasus serupa sebelumnya, telah membuat persatuan semakin menguat.
Maka dalam suasana itu, kongres ketiga MIAI yang namanya berubah menjadi Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ketiga, dilangsungkan. Kongres ini diadakan di Solo pada tanggal 7-8 Juli 1941 dan memutuskan beberapa hal. Kongres menuntut pembebasan Dr. Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, seorang tokoh reformis muslim asal Minangkabau yang ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Sukabumi karena kritik-kritiknya. Selain itu, kongres menyarankan perbaikan dalam pengumpulan zakat fitrah, membentuk sebuah komisi di bawah pimpinan Haji Abdurrahman Sjihab dari Al Jami’atul Wasliyah untuk penyebaran Islam, dan menolak transfusi darah bila digunakan untuk keperluan yang berlawanan dengan Islam, seperti keperluan perang melawan orang Islam. [Deliar Noer, Ibid, hlm.266-267 , Safrizal Rambe, Ibid, hlm. 289, dan H.Aboebakar, Ibid]
Lebih dari itu, perhatian kongres juga diberikan kepada orang-orang yang bermukim di Mekkah sehubungan dengan ancaman perang dan kesulitan yang mereka hadapi karena komunikasi yang tak baik dengan keluarga mereka di Indonesia. MIAI lalu mendirikan Komite Penerimaan Mukimin. Dan komite ini berhasil memfasilitasi pemulangan mereka yang jumlahnya kurang lebih 914 orang.
Apakah MIAI bergerak dalam bidang politik? Wakil Ketua Dewan MIAI, Wondoamiseno menjelaskannya dalam kongres ini;
“….apabila pada suatu waktu MIAI membicarakan sesuatu peristiwa yang berkenaan dengan urusan tata negara atau politik, sama sekali bukanlah berarti bahwa MIAI terjun bekerja di dalam lapangan politik, tetapi keadaan yang memaksa, membuat MIAI merasa wajib turut membicarakan dan mempikirkan sesuatu peristiwa tadi, MIAI memandang perlu membuat perhitungan untung atau rugi bagi nasib umat Islam Indonesia pada khususnya. MIAI merasa berdosa apabila hanya tinggal diam dengan memeluk tangan apabila melihat dan mengetahui umat Islam Indonesia bakal terjerumus ke dalam lembah jurang kesengsaraan dan kenistaan, baik moril maupun materiil.” Maka jangan heran kalau sebelumnya MIAI mendukung GAPI.
Selain Wondoamiseno, Ketua MIAI, KH. Wahid Hasyim juga berbicara dalam kongres ini. Beliau menyeru kaum muslimin bersatu;
“….Tidak ada ucapan yang amat mudah dikeluarkan semudah mengatakan semboyan yang umum dikeluarkan orang, yaitu bersatu menyebabkan teguh dan bercerai membawa roboh. Sungguh mudah benar mengucapkan perkataan ini, akan tetapi mengerjakannya adalah yang paling sukar dan paling rumit. Persatuan dapat berwujud, apabila sekalian bagian yang akan dipersatukan suka dan mau akan bersatu,sekalian cabang-cabang yang akan dipersatukan itu rela hati dan ingin akan bersatu.
Dimisalkan arloji, dapatlah bersatu, sebab tiap-tiap roda suka dan mau bersatu; baik roda yang besar, maupun yang kecil, baik roda berputar ke kiri maupun yang berputar ke kanan, baik yang berper, maupun yang tidak, semuanya adalah suka dan mau bersatu.
Dalam pada itu, baik yang di muka maupun yang di belakang, sama saja harganya, sama saja kedudukannya, sama saja artinya. Satu untuk semua dan semua untuk satu. Bersediakah kiranya umat Islam Indonesia untuk itu? Sejarah di masa yang akan datang kelak akan membuktikan sendiri. Jikalau umat Islam Indonesia insaf sungguh-sungguh akan hal ini, tentulah ia akan bersatu, akan berhimpun menjadi satu, akan berkumpul menjadi satu. Marilah kita berjalan bersama-sama; Allah ada pada sisi kita!” [M.C. Ricklefs dengan penerjemah Dharmono Hardjowidjono, Sejarah Indonesia Modern, UGM Press:Yogyakarta, 1995, hlm.294]
Sementara itu, kekuasaan pemerintah kolonial kian terancam. Pada tanggal 8 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, dan Malaya. Negeri Belanda sepakat mengikuti jejak sekutu-sekutunya dengan menyatakan perang terhadap Jepang. Pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang mulai menyerbu Indonesia. Pangkalan Inggris di Singapura yang menurut dugaan tidak terkalahkan juga menyerah pada tanggal 15 Februari 1942. Di akhir bulan itu pula, balatentara Jepang menghancurkan armada gabungan Belanda, Inggris, Australia , dan Amerika dalam pertempuran di laut Jawa. Pemerintah kolonial pun akhirnya menyerah pada tanggal 8 Maret 1942. Berakhirlah kekuasaan mereka di Indonesia. Kini, kekuasaan Indonesia berada di tangan Jepang.
KH.Wahid Hasyim, di kesempatan lain, mengungkapkan pentingnya persatuan;
“Kita dulu di zaman Belanda hidup berselisih-selisihan antara satu golongan dengan golongan lain. Antara golongan penghulu, golongan ulama, golongan pejabat pemerintah, golongan nasional dan lain-lainnya. Kita telah mengalami pahitnya akibat yang ditimbulkan oleh perselisihan-perselisihan itu. Kita telah merasakan kerugiannya nusa dan bangsa karena akibatnya di adu dombakan Belanda dulu itu. Maka sisa-sisa zaman yang tidak enak itu harus kita buang jauh-jauh dan kita ganti dengan semboyan, ‘Dan jadilah kamu sekalian, wahai hamba-hamba Allah, bersaudara.’” [KH. Wahid Hasyim, Melenjapkan jang Kolot, Majalah Soeara Moeslimin Indonesia 9 Jumadil Akhir 1363/1 Juni 1944 No.11 Tahun II hlm. 3]
Bulan Sabit Ditutup Matahari Terbit
Di masa pendudukan Jepang, keberadaan MIAI baru diakui setelah rapat pleno antara tokoh-tokoh Islam dan pejabat-pejabat Jepang pada bulan September 1942 di hotel Batavia. Dalam rapat itu diputuskan untuk memindahkan markas MIAI dari Surabaya ke pusat pemerintahan militer di Batavia dan memilih Wondoamiseno sebagai ketua MIAI. NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya dapat berbesar hati menerima hasil itu.
Kalangan tradisionalis yang hadir: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Wahid Hasyim. Sementara kalangan modernis diwakili oleh KH. Mas Mansur, Kasmat, Dr. Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, Farid Ma’ruf, dan Moh. Natsir. Para pemimpin PSII yang hadir antara lain Abikusno Tjokrosujoso, Harsono Tjokroaminoto, dan Wondoamiseno (Harry J. Benda, Ibid, hlm. 276)
Di bawah Wondoamiseno, ada Harsono Tjokroaminoto dari PSII (sekretaris), R.H.O Djoenaedi, seorang penerbit harian Pembangoen (bendahara), Mr. Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Farid Ma’ruf dari Muhammadiyah, KH. Machfud Siddiq dan KH. Wahid Hasyim dari NU, Dr. Sukiman, dan Raden Adnan (anggota). Ketua Badan Penasihat MIAI diemban oleh KH. Mas Mansur dengan anggota KH. Hasyim Asy’ari, Dr.H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul, Sayed Ali Al-Habsyi dari Masjid Kwitang Jakarta,dan Syaikh Ahmad Sorkati dari Al-Irsyad serta tiga pejabat muslim Jepang dari Shumubu (Kantor Urusan Agama) : Inada, Ono, dan Abdul Hasan. Tiga orang itu sengaja ditempatkan Jepang untuk mengawasi langsung urusan-urusan Islam dan bahkan menentukan kebijakan MIAI secara menyeluruh.
Sejak lahir kembali di bawah pemerintahan Jepang, MIAI memang dipaksa hidup dalam latar belakang politik Jepang terhadap Islam. Tidak jelas pula kegiatan MIAI yang dibatasi Jepang. Dan Shumubu sering kali melangkahi gerakan-gerakan politik MIAI.
Meski begitu, tokoh-tokoh MIAI bukanlah kerbau yang dicucuk hidungnya. Pernah Jepang memaksa umat Islam membungkukkan badan ke istana kaisar –yang dalam bahasa Jepang disebut Saikeirei-, kemudian ditentang oleh Haji Rasul. Haji Rasul menegaskan kepada Kolonel Jepang Horie, bahwa penyembahan kaisar dan monotheisme Islam (percaya satu Tuhan) tak dapat disatukan.
Diprotes seperti itu, Jepang masih belum mau menghapuskan Saikeirei. Akhirnya pejabat-pejabat Jepang dan umat Islam kemudian bertemu membahas itu di Jakarta pada pertengahan tahun 1943. Mengawali diskusi, pembicara asal Jepang, Prof.Ozaki malah menyalahkan umat Islam karena “terang-terangan mau menempati satu posisi yang khusus dan unik” di dalam masyarakat Indonesia. Parahnya lagi ia menambahkan, “Untuk memperoleh kemenangan akhir, apakah tidak mungkin orang-orang Islam membantu tentara Dai Nippon, meski ada beberapa hal pokok yang tidak menyentuh hakikat agama Islam, yang karena kondisi-kondisi yang berlaku tidak bisa diberikan (oleh pemerintahan militer?)”
Gayung bersambut. KH. Mas Mansur menegaskan bahwa umat islam di Indonesia, “Terutama mereka yang telah mempunyi pengertian yang jelas terhadap semua persoalan, berpendapat bahwa kita bisa bekerjasama (dengan tentara Dai Nippon), akan tetapi dengan syarat dipakai suatu jalan yang tidak menghina agama. Namun kalau sekiranya agama dihinakan, maka haruslah disadari bahwa orang-orang Islam yakin untuk membela agamanya, apa pun yang terjadi. Dan hal ini dipahami oleh mereka semua.”
Pemimpin Pemuda Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir, juga mengingatkan Prof. Ozaki, “….cukup banyak orang Nippon yang telah mempelajari prinsip-prinsip Islam… karena itu mereka harus tahu bahwa Islam itu bukan saja agama, akan tetapi seluruh way of life meresapi seluruh masyarakat… Perjuangan melawan imperialis Barat sudah lama kami kenal, sehingga kami menerima tujuan Nippon untuk melawannya… (Tetapi) prinsip yang harus dianut secara ketat untuk mencapai kerja sama (yang diingini) haruslah … kami dengan agama kami, kamu dengan agama kamu. Perbedaan di antara semua kepercayaan kita tidak perlu menghalangi kerjasama kita untuk mengusir Sekutu dari Asia, yang adalah rumah bagi semua agama.”
Kritik terhadap Saikeirei juga datang dari instansi Jepang sendiri, yakni Shumubu, yang ketika itu diketuai oleh Tokoh Sarekat Islam Dr. Hoesein Djajadiningrat. Shumubu akhirnya berhasil membujuk Jepang untuk menghapus Saikeirei dalam pertemuan umat Islam.
Dr. Hoesein Djajadiningrat menyampaikan hal itu kepada seorang tamu muslim dari Sumatera bahwa, “Pemerintahan militer Jepang kini telah menyadari bahwa Saikeirei bertentangan dengan Islam. Konsekuensinya hal itu tidak lagi dituntut di dalam pertemuan-pertemuan umat Islam.”
Tak hanya dengan kata-kata, MIAI juga turun ke lapangan. Mereka membangun kantor pusat perbendaharaan Islam (Baitul Mal) untuk menerima zakat dan menolong kaum melarat, fakir, miskin, pengangguran, pensiunan yang tak bekerja, dan lain sebagainya, serta berdakwah kepada masyarakat. [Wondoamiseno, Baital-Mal, Majalah Suara MIAI 1 Juli 1943 Tahun 1 No.13 hlm.3]
Mereka juga mempublikasikan Baitul Mal secara besar-besaran dalam jurnalnya. Kemudian pada bulan Juni, mereka mendirikan kursus latihan bagi pengurus Baitul Mal. Pada bulan itu juga, mereka melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk berembuk dengan para pemimpin agama di daerah dan kecamatan serta para pejabat pemerintahan mengenai pendirian Baitul Mal yang baru. Bersamaan dengan itu, panitia pusat Baitul Mal menerbitkan peraturan yang seragam tentang Baitul Mal yang baru. Dalam tempo beberapa bulan, Baitul Mal telah didirikan di 35 kabupaten di Jawa.
Perlu dicatat, keberhasilan MIAI membangun jaringan ini tanpa dukungan Shumubu. Harry J. Benda berpendapat hal ini mengancam politik Islam Jepang karena dua alasan. Pertama, Wondoamiseno dan kawan-kawannya menghubungkan Baitul Mal di setiap wilayah dengan dewan-dewan ulama setempat -yang menurut cerita telah bertindak sebagai badan-badan penasihat dalam masalah-masalah hukum agama di bidang sosial-. Dan kalau ini berhasil, menurut Harry J. Benda, menjadi tantangan bagi Shumubu untuk mengontrol ustadz-ustadz di desa.
Kedua, para pemimpin MIAI berusaha membangun jaringan Islam di Pulau Jawa untuk mempersatukan umat Islam atas nama Allah, bukan atas nama Kaisar Tenno Heika. Baitul Mal, seperti ditegaskan oleh Ketua MIAI Wondoamiseno, “haruslah mencapai setiap desa, setiap kampung, sampai lembah-lembah pegunungan, dan menciptakan jiwa kesatuan… dan menjadi benteng Islam yang kokoh … Kita akan menggunakan (kantor-kantor bendahara) tersebut untuk membangun pagar pelindung di sekeliling Islam di desa-desa, terhadap mata-mata Sekutu … Marilah kita semua, para pejabat pemerintah, penghulu, ulama, kiai, membentuk suatu keluarga besar sebagaimana diperintahkan Allah ‘Wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu’ (berpegang teguhlah pada tali Allah dan janganlah berpecah belah.” [Ibid dan Wondoamiseno, Baital-Mal, Majalah Suara MIAI 1 Juli 1943 Tahun 1 No.13 hlm.3]
Jepang pun bereaksi. Pada bulan September 1943, pemerintahan militer Jepang mengumumkan NU dan Muhammadiyah beserta cabang-cabangnya di seluruh Jawa, telah diberikan status hukum. Setelah itu Shumubu dan terutama pengganti Inada, Suzuki, bergabung dengan kedua organisasi Islam ini. Pengakuan resmi kalangan tradisionalis dan modernis ini secara otomatis menghilangkan status hukum organisasi Islam lainnya. Dengan begitu MIAI benar-benar diabaikan oleh Jepang. Hingga akhirnya Jepang dengan sewenang-wenang membubarkan MIAI pada tanggal 24 Oktober 1943. Bulan sabit yang sedang mengorbit itu ditutup oleh matahari terbit.
Meski demikian, MIAI kelak berganti menjadi Majelis
Muhammad Cheng Ho

No comments: