MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah

MIAI: Wadah Ukhuwah Islamiyah

Kantor Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI)
Sarekat Islam berusaha lebih maju dalam mempelopori gerakan Islam. Pada tahun 1927, Sarekat Islam membentuk Majelis Ulama
Secara formal, perselisihan antar kalangan umat Islam sebenarnya sudah terjadi di kongres-kongres Al-Islam hingga terbentuk wadah bersama sebagai ikatan ukhuwah


DEBAT masalah Wahabiyah dan Asy’ariyah, bahkan soal demokrasi dan khilafah, seolah tak lelah-lelah berhenti. Energi sebagian dari kita justru terperas oleh perseteruan  dan bantah-membantah masalah furu’iyyah. Lantang merendahkan dan lirih meninggikan jalan juang saudaranya, dan semua itu dilakukan dengan semangat 45!

KH. Wahid Hasyim suatu ketika mengatakan;

    “Tidak ada ucapan yang amat mudah dikeluarkan semudah mengatakan semboyan yang umum dikeluarkan orang, yaitu bersatu menyebabkan teguh dan bercerai membawa roboh. Sungguh mudah benar mengucapkan perkataan ini, akan tetapi mengerjakannya adalah yang paling sukar dan paling rumit.” (H.Aboebakar, Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim, Mizan: Bandung, 2011, hlm. 356)

Masalah persatuan memang masalah lama yang senantiasa baru. Dulu perbedaan pandangan di antara kalangan umat Islam, telah ciptakan perselisihan yang berkembang jauh dan berkepanjangan.

Pada tahun 1926, seorang ayah di Kudus menikahkan anak perempuannya dengan mengajukan syarat yang aneh kepada calon suami. Kalau setelah menikah si calon suami masuk Muhammadiyah, maka harus cerai dengan anaknya. [G.F. Pijper dengan penerjemah Yessy Augusdin dan Tudjimah, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia tahun 1900-1950, UI:Jakarta, 1984, hlm.113]

Di tahun yang sama, terjadi pertikaian antara orang Muhammadiyah dan NU di masjid di Babat, Jawa Timur dipicu perbedaan pandangan mengenai pemerintahan Saudi di Tanah Suci. Orang NU mencelanya dengan menyebut berita yang beredar tentang keburukan Wahabi, sedangkan orang Muhammadiyah memujinya karena keamanan di tanah suci menjadi lebih terjamin. [G.F. Pijper dengan penerjemah Yessy Augusdin dan Tudjimah, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia tahun 1900-1950, UI:Jakarta, 1984, hlm.113]

Di Kepanjen, Malang, terjadi perebutan pengaruh antara kalangan tradisionalis dan modernis. Ketika itu, Tokoh Muhammadiyah yang juga penasihat Central Sarekat Islam, KH. Ahmad Dahlan, sering berkunjung ke sana untuk keperluan berdagang dan organisasi Sarekat Islam. Buah pikirannya mudah diterima warga setempat karena beliau memang dihormati di sana. Namun ada seorang ulama dari Kudus yang juga mempunyai hubungan dagang dengan orang-orang Kepanjen, namanya KH. Asnawi, menentang pikiran-pikiran Muhammadiyah dan bahkan mengajak orang-orang Kepanjen berbuat seperti yang beliau lakukan. [Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Iindonesia 1900-1942, LP3ES:Jakarta, 1982, hlm.247]

Di luar Jawa, bila Muhammadiyah bergerak di daerah-daerah kaum tradisionalis, pasti mendapat tantangan dari pejabat dan penduduk setempat. Sebab mereka mengganggap Muhammadiyah membawa paham baru.

Secara formal, perselisihan antar kalangan umat Islam sebenarnya sudah terjadi di kongres-kongres Al-Islam. Di kongres Al-Islam pertama tahun 1922, yang dihadiri oleh Muhammadiyah, Al-irsyad, dan Sarekat Islam serta kalangan tradisionalis, terjadi polemik. Pemimpin kalangan tradisionalis KH. Wahab Hasbullah beserta pendukungnya, mengaku setuju dengan pemakaian sistem sekolah dan pendidikan agama yang modern, namun mereka menolak perubahan kurikulum. Sebab kitab-kitab madzhab masih tidak dapat diganti. Sedangkan kalangan modernis sepakat bahwa paham madzhab lah yang bertanggung jawab atas kemunduran pemikiran Islam.

H. Agus Salim menceritakan bahkan kongres hampir saja gagal ketika kaum muslimin sudah saling mengkafirkan dan memusyrikkan. Meski kompromi dilakukan, namun kongres itu tetap tidak dapat menyatukan hati kalangan tradisionalis dan modernis. Padahal kongres yang diselenggarakan atas kerjasama Sarekat Islam dengan Muhammadiyah itu bermaksud mencari isu pemersatu antara kaum tradisionalis dan modernis serta penyeimbang kaum nasionalis sekuler. [Harry J. Benda dengan penerjemah Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya:Jakarta, 1980, hlm. 77]

Yang menonjol dari kongres ini adalah sikap kongres yang menentang ordonansi (peraturan pemerintah kolonial) mengenai guru pendidikan agama Islam. Ordonansi itu dinilai telah menghambat kegiatan guru agama Islam. Sebab mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama, dan harus membuat daftar murid-muridnya yang harus dikirim secara periodik kepada kepala daerah.

Dalam kongres ini, Sarekat Islam dipilih sebagai pimpinan kongres 1922 dan kongres-kongres berikutnya. Alasannya karena antara kalangan modernis seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad dengan kalangan tradisionalis, memiliki perbedaan pendapat. Sementara kedudukan Sarekat Islam dalam dunia Islam unik dan mempunyai pengalaman dalam organisasi.

Namun di kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan desember 1924, Sarekat Islam dan Muhammadiyah berselisih karena perbedaan pandangan tentang khalifah. Sebelumnya, Komite Khilafat didirikan pada 4 Oktober 1924 untuk menyambut maksud negara Mesir mengadakan kongres khilafah.

Topik utama yang dibicarakan dalam kongres ini seputar ijtihad, kedudukan tafsir Al-Manar, serta ajaran Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Dan kongres memutuskan Muhammadiyah dan Al-Irsyad bukan wahabi. Kedua organisasi itu tidak dianggap menyimpang dari madzhab, tidak mencap kafir golongan yang bertawassul (berdo’a kepada Allah melalui perantara), menghormati kitab yang ditulis ulama mu’tamad (dapat dipercaya) dan yang dibenarkan oleh ulama fuqaha muhadditsun (pakar hadits).

Di tahun itu pula, terjadi peristiwa yang menghebohkan di Hijaz, Arab Saudi. Kala itu, Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah. Raja Ibnu Sa’ud lalu mulai membersihkan kebiasaan praktik keagamaan sesuai dengan pandangannya tanpa melarang pelajaran madzhab di masjidil haram. Aksinya ini mendapat sambutan baik dari sebagian umat Islam di Indonesia, sebagian lainnya menolak.

Ibnu Sa’ud kemudian mengundang umat Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makkah. Undangan itu dibicarakan di Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta pada 21-27 Februari 1925 dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung pada 6 Februari 1926. Hasil kongres di Bandung memutuskan untuk mengirim Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur dan Tokoh Sarekat Islam Tjokroaminoto ke kongres Makkah.

Atas nama kalangan tradisionalis, KH. Wahab Hasbullah mengusulkan kepada kongres Bandung, agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa dalail al-khairat, dan ajaran madzhab, dihormati oleh Ibnu Sa’ud dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. Namun Kongres Bandung tidak menyambut baik usul-usul ini. Sehingga KH.Wahab Hasbullah dan tiga orang pendukungnya keluar dari komite khilafat.

KH.Wahab Hasbullah selanjutnya berinisiatif mengadakan rapat-rapat bersama ulama kalangan tradisionalis di Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite “Meremboek Hidjaz” atau Komite Hijaz.[ Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm.9, KH. Saifuddin Zuhri, Mbah Wahab Hasbullah Kiai Nasionalis Pendiri NU, Pustaka Pesantren: Yogyakarta, 2010, hlm. 21, Deliar Noer, Ibid]

Komite inilah yang diubah menjadi NU pada rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926.

NU dibentuk untuk, “mengajak berpegangan dengan sekuat-kuatnya pada salah satu dari madzhab-madzhabnya Imam empat (yaitu imam kita Muhammad bin Idris Asy-syafi‘i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’man dan Imam Ahmad bin Hambal) serta mendatangkan sebab-sebab bagai segala kemaslahatan yang berjalan di atas syara’ agama Islam.” [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm.9]

Rapat yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Bisyri Syansuri (Jombang), KH. Ridwan (Semarang), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Nakhrowi (Malang), dan KH. Alwi Abdul Aziz (Surabaya), dan beberapa ulama lainnya itu, masih tetap menempatkan masalah hijaz sebagai keputusan utama.

Rapat memutuskan untuk mengirim dua delegasi menghadap Ibnu Sa’ud, supaya memperjuangkan hukum-hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya serta memperbaiki keadaan perjalanan haji. Namun kedua utusan itu tak jadi berangkat karena terlambat pesan tempat di kapal. Sebagai gantinya NU mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Arab Saudi dengan tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam Undang-undang Hijaz.

Tak ada jawaban terhadap permintaan ini. Maka NU menganggap Kongres Islam di Makkah tahun 1926, yang dihadiri oleh KH. Mas Mansur dan Tjokroaminoto, sebagai suatu “kegagalan” karena tak ada satu pun masalah agama yang dibicarakan.

Tak lama setelah kongres Al-Islam keenam di Surabaya pada September 1926 -kongres yang mengubah kedudukannya menjadi cabang Kongres Islam di Makkah-, NU menyatakan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Lebih dari itu, NU mengajak kaum muslimin agar membenci ajaran wahabi dan penguasanya di tanah suci, serta menyarankan orang-orang untuk tidak naik haji.

Namun pada tahun berikutnya, NU mengutus KH.Abdulwahab dan Ustadz Ahmad Ghanaim al-Amir ke Makkah. Mereka berangkat pada tanggal 29 Maret 1928 dan tiba di tanah suci pada 17 April 1928. Setelah menunaikan ibadah haji, mereka menemui Ibnu Sa’ud pada 13 Juni 1928. Di kesempatan itu, mereka meminta kepada Ibnu Sa’ud untuk memberikan kemerdekaan menjalani salah satu madzhab dari Imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali), membuat hukum yang tetap di Hijaz, mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid sebagai maulud sayidatina Fatimah, Darukhaizaron dan lain-lainnya, serta menyiarkan tarif haji. Setelah menyampaikan hal itu, kini mereka menanti jawaban dari Ibu Sa’ud. [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 11-12]* Setelah kongres Al-Islam berhenti 1928-1930, Partai Sarekat Islam berganti nama jadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
Jawaban dari Ibnu Sa’ud pun akhirnya datang. Lewat surat, beliau menegaskan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban kerajaan. Terkait ibadah haji, beliau akan memperbaiki pelayanan haji selama tidak melanggar aturan Islam. Soal madzhab, beliau sependapat bahwa pada umumnya umat Islam bebas menjalankan agamanya, kecuali, “Urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari kitabnya Tuhan Allah dan tiada Sunnah Rasulullah s.a.w. dan tidak ada dalam madzhabnya orang dulu-dulu yang soleh-soleh, dan tidak ada dari sabda salah satu Imam empat.” [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 14]
Mengenai keyakinannya, Ibnu Sa’ud menyatakan bahwa yang ia inginkan ialah apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadits. Dan beliau hanya mengikuti orang-orang dulu yang soleh, yaitu para sahabat dan diakhiri oleh imam yang empat. “Adapun sesungguhnya semua barang dan kemauan kami, itulah mengajak kepada barang yang telah datang di dalam kitabnya Tuhan Allah dan haditsnya Rasulullah s.a.w. Itulah yang kami pakai agama terhadap kepada Tuhan Allah, dan dari fadholnya Tuhan Allah, kami menjalani di atas perjalanannya orang yang dulu-dulu yang soleh-soleh, permulaan orang yang dulu-dulu ialah sahabatnya Rasulullah s.a.w dan penghabisan orang yang dulu-dulu yaitu imam empat.” [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 14]
Surat itu ditutup raja dengan sebuah do’a, “Kami memohon kepada Tuhan Allah Yang Esa, mudah-mudahan semua mendapat pertolongan pada jalan yang baik dan benar dan baiknya hari kemudian. Hal yang demikian itulah barang yang wajib menerangkannya, mudah-mudahan Tuhan Allah melindungi atas kamu sekalian. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”
Kembali ke kongres Al-Islam. Ketika Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur pulang dari kongres di Mekkah, diadakanlah kongres Al Islam keenam pada bulan September 1926 di Surabaya, untuk membicarakan hasil yang mereka dapatkan selama di sana. Sejak saat itu Centraal Comite Chilafat dibubarkan dan diganti Muktamar Alam Islam Hindi Syarqiyah (MAIHS) sebagai cabang Muktamar Alam Islam di Mekkah, yang dipimpin oleh Tjokroaminoto. [Majalah Pandji Islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746]
Sarekat Islam berusaha lebih maju dalam mempelopori gerakan Islam. Pada tahun 1927, Sarekat Islam membentuk Majelis Ulama yang dimaksudkan untuk membimbing kaum muslimin dalam menghadapi masalah-masalah yang diributkan. Majelis Ulama ini kemudian mensahkan terjemahan Tjokroaminoto atas The Holy Qur’an karangan Muhammad Ali.
Terjemahan ini diprotes oleh Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain karena perbedaan masalah teologi dengan organisasi Muhammad Ali, yakni Ahmadiyah Lahore. Tjokroaminoto menjelaskan maksud menerjemahkan karangan Muhammad Ali ini sudah disetujui oleh Tokoh Muhammadiyah H.Fakhroddin dan diketahui Tokoh Muhammadiyah lainnya, KH. Mas Mansur. Tjokroaminoto menuduh Muhammadiyah dengan sengaja menghalangi penerbitan terjemahannya agar tafsir Al-Qur’an Muhammadiyah tak kehilangan pasar. Pada bulan September 1928, Majelis Ulama ini akhirnya mengubah bentuk menjadi sebuah departemen dari Partai Sarekat Islam saja.
Seperti diketahui, Ahmadiyah Lahore, melalui Mirza Wali Ahmad Baig diperkirakan menjejakkan kaki di Yogjakarta pada tahun 1924. Nama Ahmadiyah kala itu masih samar. Belum diketahui segala tindak tanduknya. Yang diketahui hanyalah Ahmadiyah yang menawarkan semangat yang hampir sama dengan semangat reformasi Islam yang sedang melanda tanah air. Ahmadiyah juga saat itu dikenal sebagai penentang gigih kristenisasi. Sehingga Ahmadiyah, mulanya diterima dengan baik oleh para aktivis Islam dari kalangan modernis, terutama Muhammadiyah. [Beggy Rizkiansyah, Jejak Tafsir Qur’an di Indonesia, http://jejakislam.net/?p=374 diakses pada Kamis 28 Januari 2016]
Di kongres Al-Islam kedelapan tahun 1927 di Malang, Muhammadiyah dan NU bersatu menentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dan menolak Al-Qur’an terjemahan Indonesia ala Tjokroaminoto yang didasarkan pada naskah Inggris Ahmadiyah. [Harry J. Benda, Ibid, hlm.78]
Diduga Tjokroaminoto membaca dan tertarik pada Holy Quran hingga berupaya menerjemahkan tafsir tersebut lewat perkenalannya dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Terlebih usaha penerjemahan ini mendapatkan persetujuan pribadi dari H. Fakhroddin, seorang tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Hubungan Sarekat Islam dan Muhammadiyah selanjutnya jadi kian memburuk. Pada tahun 1929, Sarekat Islam mengenakan sanksi disiplin umum kepada Muhammadiyah karena dianggap telah bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Hal ini tercermin dari sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menerima subsidi pemerintah. Sarekat Islam menyebut sikap Muhammadiyah tidak nasionalis. Bahkan Tokoh Sarekat Islam Sukiman menilai Muhammadiyah sebagai organisasi anti politik bertopeng.
Sanksi disiplin itu mengharuskan anggota Sarekat Islam yang berada di Muhammadiyah memilih: Muhammadiyah atau Sarekat Islam. Resolusi keras Sarekat Islam ini rupanya tak hanya kepada Muhammadiyah, tapi juga organisasi Islam yang lain, salah satunya Persatuan Islam (Persis) yang akan dijelaskan setelah ini. Deliar Noer menyebut masa resolusi Sarekat Islam ini sebagai awal pengasingan Sarekat Islam dari organisasi Islam lain.
Masalah antara Sarekat Islam dan Persis lebih kepada perbedaan pandangan soal furu’. Sarekat Islam memandang perselisihan perkara furu’ yang dibesar-besarkan dapat menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Sedangkan Persis menilai pembicaraan perkara furu’ yang dikesampingkan, menyebabkan kemunduran Islam. Oleh karena itu, Persis menyeru anggota Sarekat Islam:
“Janganlah tuan-tuan biarkan cabang-cabang PSI (Partai Sarekat Islam –pen) mencela, mengeji-ngeji dan memusuhi kaum yang memerangi bid’ah dan membicarakan furu’, karena kejatuhan Islam ialah lantaran orang-orangnya meninggalkan pokok agama dan terganti dengan bid’ah. Adapun perkara yang tuan-tuan namakan furu’ ialah hukum-hukum yang sangat perlu bagi orang-orang yang menjalankan ibadah saban hari.
Kalau dilarang orang membicarakan furu’ berarti melarang orang membicarakan ibadah. Sungguhpun tuan-tuan tidak mementingkan hal-hal ibadah yang mana sebagian dari Islam, sebagaimana tuan mementingkan politik, tetapi hal itu menjadi penting bagi golongan yang merasa wajib menjalankan ibadah, walaupun belum merdeka.
Kalau tuan-tuan biarkan cabang-cabang melarang yang tersebut lantaran mereka merasa tidak perlu kepada furu’, nanti orang lain ada hak melarang orang-orang masuk kumpulan politik dengan alasan , yang demikian itu belum perlu sekarang. Jangan tuan-tuan biarkan orang-orang Islam menjalankan bid’ah, dan jangan salahkan kaum lain memerangi ahli bid’ah, dengan alasan hendak menjaga persatuan. Akan jadi sia-sia pekerjaan tuan-tuan, kalau tuan-tuan lakukan begitu, karena tak dapat tuan-tuan persatukan golongan sunnah dengan golongan bid’ah, walaupun sampai kiamat.”
Bagi Persis, masalah furu’ itu penting dan menentang bid’ah sebagai kewajiban berdasarkan ajaran Islam. Dan itu, tambahnya, tidak akan mengurangi kekuatan Islam dalam bidang politik. Justru kekuatan gerakan politik, menurutnya, hanya dapat diberikan oleh orang-orang anti bid’ah dan bukan oleh orang-orang yang pro bid’ah. Akibatnya, Sarekat Islam menskors banyak anggotanya yang berada di Persis Bandung dan Garut.
Ujian persatuan umat Islam juga datang dari luar. Di Kongres Sarekat Islam bulan April 1929, Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII) berselisih dengan Persatuan Puteri Indonesia (PPI) soal poligami. PII mengatakan pengaruh poligami sangat buruk. Sedangkan SPII menegaskan Islam tidak mengharuskan poligami, namun membolehkannya. Poligami, lanjutnya, juga baik untuk mencegah pelacuran mengingat banyaknya jumlah perempuan.
Organisasi Aisyiyah juga sependapat dengan SPII.
Ujian lainnya, pemerintah kolonial dibantu kaum adat berusaha melenyapkan hukum Islam di Indonesia. Hal itu tampak di dalam ordonansi tahun 1929-1937. Di ordonansi 1929, kepala adat dalam kewenangannya sebagai pegawai urusan perkawinan, menyiapkan ketentuan-ketentuan hukum bagi prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perkawinan Islam.
Di ordonansi 1931, wewenang hakim-hakim agama dalam mengurus perkara warisan dihilangkan. Akibatnya, masalah warisan dialihkan ke mahkamah pribumi reguler dan sejak saat itu, masalah warisan tidak lagi diadili dengan hukum Islam, tapi berdasarkan hukum adat. Celakanya lagi, kaum adat juga meminta status quo (ketetapan) hukum, yang berakibat semua pintu usaha tokoh-tokoh Islam tertutup untuk mengembangkan kehidupan sosial. Berkurangnya kewenangan hukum Islam secara tiba-tiba ini, mendorong tokoh-tokoh Islam mendobrak pintu tersebut.
Di ordonansi 1937, pemerintah kolonial mencoba mengajukan undang-undang yang mewajibkan kaum muslimin mencatatkan pernikahannya dan mengharuskan monogami. [Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press:Leiden, 2006, hlm. 158]
Sontak, tokoh-tokoh Islam gencar melayangkan protes. Mereka tidak bisa menerima dan membiarkan ulah pemerintah kolonial yang sudah ikut campur dalam urusan Islam.
Menggalang Persatuan
Setelah kongres Al-Islam berhenti pada 1928-1930 –seolah-olah selama tiga tahun itu, ikatan tali persatuan umat renggang-, Partai Sarekat Islam berganti nama jadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930, berusaha mengencangkan tali itu dengan mengadakan dua kali Konferensi Komite Al-Islam pada tahun 1931 dan 1932. Namun PSII memerlukan momen khusus untuk membangkitkan partainya di kalangan organisasi-organisasi Islam lain dan dunia pergerakan. [Safrizal Rambe, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia:Jakarta, 2008, hlm.278].
“Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa-nafsu yang merusak itu,” demikian pesan KH Hasyim Asy’ari 
Momen itu pun akhirnya datang.
Pada 25 April 1931, seorang yang berinisial “B” (Oey Bee Thay), menghina Nabi Muhammad lewat artikelnya yang dimuat di harian Hoakiau. Ia menulis Nabi Muhammad sebagai, “seorang nabi, jenderal dan legislator yangsangat menyukai wangi-wangian dan seorang yang hampir membunuh diri sendiri dan meninggal dalam keadaan gila.” Nabi Muhammad, lanjutnya, juga seorang yang, “membiarkan pengikut-pengikutnya merampas kafilah untuk menghidupi pengikut-pengikutnya ini” dan“mencintai wanita dan suka berdoa.” Segera setelah artikel ini terbit, orang-orang Islam di Indonesia terutama di Jawa mengadakan rapat-rapat umum untuk menuntut Hoakiau mencabut artikel itu. Tak lama setelah itu, Komite Al Islam di Surabaya segera berdiri.
Menyusul Komite Al Islam di Surabaya, berdiri juga Komite-komite Al-Islam di berbagai kota seperti Bandung, Cilacap, Majalengka, Bangil, dan Banyuwangi. Komite-komite itu segera mengkoordinasikan rapat-rapat protes. Di Palembang Komite Al-Islam memperoleh perhatian dari organisasi-organisasi Islam setempat. Setelah itu rapat-rapat serupa juga digelar di kota-kota lain, di Payakumbuh, Majalengka, Cirebon, Probolinggo, dan Bondowoso yang dihadiri oleh tokoh-tokoh PSII, seperti Tjokrominoto, H. Agus Salim, dan AM. Sangaji sebagai pembicara.
Pada bulan yang sama, muncul lagi artikel yang menghina Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis oleh pendeta J.J.Ten Berge dan dimuat di Majalah Studien itu menyebut Nabi Muhammad sebagai, “seorang Arab yang bodoh yang kehidupannya senantiasa berada di dalam pelukan wanita.”.
Rapat-rapat protes kemudian diorganisir untuk mengecam tulisan itu. Di Batavia, rapat umum segera diadakan di Gang Kenari dengan pembicara Tjokroaminoto dan banyak tokoh lain. Di Makasar pada bulan Juli 1931, Komite Al Islam mengadakan rapat terbuka dan di Palembang rapat protes juga diadakan. Pertemuan yang diadakan oleh Comite Central Islam memutuskan melayangkan surat tantangan, untuk debat terbuka ke pendeta Ten Berge. Karena isu SARA ini mulai membesar, polisi akhirnya menyita majalah Studien guna meredam protes umat Islam.
Safrizal Rambe menilai tantangan-tantangan tersebut kemudian digunakan PSII untuk menggabungkan potensi kekuatan umat Islam. PSII dalam hal ini, lanjutnya, dipercaya kembali sebagai organisasi Islam terdepan, karena mungkin protes-protes yang dilayangkan memiliki muatan politik, dan dalam hal ini pengalaman PSII jelas lebih dibandingkan organisasi-organisasi Islam yang lain. Dipicu oleh adanya musuh bersama, ternyata ini membulatkan tekad kalangan umat Islam tuk bersatu. Sehingga jurang perbedaan di antara mereka kian menyempit. Komite Al-Islam Surabaya pun berinisatif mengundang Komite-komite Al-Islam di kota-kota lain.
Konferensi Komite Al-Islam diadakan di Surabaya pada tanggal 25-28 Juni 1931 atas usaha Central komite Al Islam di bawah pimpinan Tokoh PSII Wondoamiseno. [Majalah Pandji islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746]
Konferensi ini membahas isu pemersatu yaitu peristiwa Studien dan Hoakiau sebagai agenda utama. Sampai-sampai komite mendatangkan penulis artikel di majalah tersebut yang telah meminta maaf secara terbuka. Komite menuntut Hoakiau menerbitkan edisi khusus yang berisi permintaan maaf yang kemudian disanggupi surat kabar ini.
Agenda-agenda lain juga diputuskan, seperti mengakui pentingnya persatuan dalam menghadapi musuh-musuh dari luar , mempererat hubungan kaum muslim baik di Hindia, maupun di luar Hindia Belanda, mempropagandakan pendirian komite Al-Islam, menjaga kesucian, kemurnian, dan ketinggian agama Islam dan mengirim utusan tetap untuk konferensi buruh internasional di Jenewa, menerbitkan media Al Jihad, membentuk Baitul Mal yang dananya diambil dari zakat dan wakaf serta kembali menyelenggarakan kongres Al-Islam setiap tahunnya dan membentuk Comite Central Al Islam.
Sukses mengadakan Konferensi Komite Al-Islam I, PSII selanjutnya menggelar Konferensi Komite Al-Islam II pada tahun 1932. Di konferensi ini, agenda yang dibicarakan hampir sama seperti konferensi I, seperti perbaikan organisasi kongres Al-Islam, penyelenggaraan dana Islam, pengelolaan masjid, aturan-aturan yang menyangkut studi di Mesir dan hubungan konferensi Al-Islam Indonesia dengan umat Islam seluruh dunia. Konferensi ini menjelaskan sasaran yang hendak dituju PSII adalah Pergerakan Al Islam Indonesia. Diharapkan nantinya Pergerakan Al-Islam Indonesia dapat menjadi benteng pertahanan dalam membela Islam, ketika harus terlibat dengan kelompok-kelompok lain.
Dibandingkan dengan konferensi I, konferensi II kurang greget. Tampaknya ini karena menyangkut isu yang dibawa, kalau kongres sebelumnya penghinaan atas Nabi menjadi agenda bersama yang dapat mempersatukan umat, sedangkan isu yang ditawarkan di kongres II sepertinya kurang menarik rasa solidaritas. Dua tahun berjalan, Kongres Al Islam sebagai wadah persatuan organisasi-organisasi Islam, mulai terlihat mundur.
Setelah itu, pada tahun 1933-1937, tak ada kongres Al-Islam. Organisasi-organisasi Islam hanya mementingkan urusan masing-masing. Akibatnya tali persatuan putus dan Centraal Comite Al-Islam mati dengan sendirinya.[Majalah Pandji islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746]
Di tengah kevakuman Kongres Al-Islam, terjadi polemik antara organisasi feminis Isteri Sedar dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Dalam Kongres Kedua Seluruh Perempuan Indonesia tahun 1935, Ketua Persatuan Muslimin Indonesia dari kalangan modernis, Ratna Sari, membalas pernyataan Isteri Sedar yang menganggap poligami memenuhi kebutuhan laki-laki dengan mengorbankan (kebutuhan) perempuan. Menurut Ratna Sari, “poligami memiliki peluang untuk mengurangi prostitusi secara signifikan. Dengan membuka pintu bagi pria untuk memiliki lebih dari seorang istri, Islam telah menyediakan solusi terbaik bagi penyakit masyarakat ini.” [Ratna Sari, Kedudukan Wanita dalam Hukum Islam, dalam Mizan Sya’roni, Ibid, hlm.53 Tentang Isteri Sedar lihat A.K. Pringgodigdo SH, Ibid, hlm. 196-197]
Waktu pasif selama lima tahun rupanya telah menyadarkan organisasi-organisasi Islam akan pentingnya wadah pemersatu. Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur merasa prihatin atas konflik yang berlarut-larut.
“Pada beberapa tahun yang sudah, kita gemar berbantah-bantahan, bermusuh-musuhan di antara kita umat Islam. Malahan perbantahan dan permusuhan itu di antara ulama dengan ulama. Sedang yang dibuat perbantahan itu perkara hukum kecil-kecil saja. Adapun timbulnya permusuhan itu, karena kebanyakan kita berpegang kuat pada hukum yang dihukumkan oleh manusia. Sehingga suatu perkara di utara menyatakan sunnah, di selatan menyatakan makruh, di barat menyatakan wajib, di timur menyatakan haram, begitulah seterusnya sehingga umat Islam yang awam dibuat bal-balan oleh ulama kita. Sana benci kepada sini. Sini benci kepada sana.
Kita sekarang bukan hidup pada 25 tahun lalu (sudah), kita sudah bosan, kita sudah payah bermusuh-musuhan. Sedih kita rasakan kalau perbuatan itu timbul daripada ulama, padahal ulama itu semestinya lebih halus budinya, berhati-hati lakunya. Karena ulama itu sudah ditentukan menurut firman Allah: ‘Ulama itu lebih takut pada Allah.’ Karena ulama tentunya lebih paham dan lebih mengerti kepada dosa dan bahayanya bermusuh-musuhan.” [Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insani:Jakarta, 1996, hlm.18]
Tokoh NU KH. Hasyim Asy’ari juga menunjukkan keprihatinannya. Pada tahun 1935 saat kongres NU ke-11 di Banjarmasin, beliau mengungkapkan:
“….sampailah kepadaku suatu berita, bahwa di antara kamu semuanya sampai kepada masa kini, berkobarlah api fitnah dan pertentangan-pertentangan.
….Wahai ulama-ulama yang telah ta’ashshub kepada setengah madzhab atau setengah qaul (pendapat)! Tinggalkanlah ta’ashshubmu dalam soal-soal ‘furu’ (ranting-ranting) itu! Yang ulama sendiri dalam hal demikian mempunyai dua pendapat. Satu pendapat ialah bahwa setiap orang yang berijitihad adalah benar! Dan satu pendapat lagi: Yang benar hanyalah satu, dan yang salah dapat pahala juga!
Tinggalkanlah ta’ashshub itu dan lepaskanlah diri daripada hawa-nafsu yang merusak itu. Dan belalah agama Islam, berijtihadlah menolak orang-orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Tuhan. Berjuanglah menolak orang yang mendakwahi ilmu yang sesat dan kepercayaan yang merusak. Dan berjihadlah menghadapi orang-orang yang demikian adalah wajib! Alangkah baiknya jika tenagamu engkau sediakan buat itu.
Wahai seluruh insan! Dihadapanmu sekarang berdirilah orang-orang kafir yang mengingkari Tuhan. Mereka telah memenuhi segala pelosok negeri ini. Siapakah diantara kamu yang bersedia tampil kemuka untuk berbahas dengan mereka dan berusaha menuntun mereka kepada jalan yang benar?
Wahai sekalian ulama! Kejurusan inilah pergunakan ijtihadmu dan dalam lapangan inilah kalau kamu hendak berta’ashshub!
Adapun ta’ashshub kamu pada ranting-ranting agama, dan mendorongkan orang supaya memegang satu madzhab atau satu qaul, tidaklah disukai Allah Ta’ala! Dan tidaklah diridhai oleh Rasulullah SAW. Apatah lagi jika yang mendorongmu berlaku demikian, hanyalah semata-mata ta’ashshub, berebut-rebutan, dan berdengki-dengkian. Sekiranya Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Ibnu Hadjar, dan Ramli masih hidup, niscaya mereka akan sangat menolak perbuatanmu ini.
….Bagaimana perasaanmu! Kamu berkeras membicarakan furu’, jang dipertikaikan oleh ulama, tetapi tidak engkau engkari perbuatan haram yang dilakukan orang, yang ijma’ sekalian ulama atas haramnya, sebagai zina (pelacuran), riba (rente), minum-minuman keras dan lain-lain. Tidak ada cemburumu melihat yang demikian itu. Kamu hanya cemburu pada Syafii dan Ibnu Hajar. Sehingga yang demikian itu menyebabkan pecahnya persatuan kalimahmu dan terputusnya hubungan kasih sayang diantara kamu, sehingga orang bodohlah yang menguasai kamu, sehingga jatuhlah haibah kebesaranmu di hadapan orang awan orang yang rendah budi, yang membicarakan cacat-cela kehormatanmu dengan tiada patut. Sehingga binasalah orang-orang itu karena perkataan mereka membicarakan kamu. Karena dagingmu telah bercampur racun, sebab kamu ulama. Dan kamu telah rusak binasa karena berbuat dosa yang besar!”
Kepada ulama kaum modernis, beliau mengimbau:
”Wahai ulama-ulama! Kalau kamu lihat orang berbuat suatu amalan berdasarkan kepada qaul imam-imam yang boleh ditaqlidi (dituruti), meskipun qaul itu hukumnya marjuh (tidak kuat alasannya), maka jika kamu tidak setuju, janganlah kamu cerca mereka, namun beri petunjuklah dengan halus! Dan jika mereka tidak sudi mengikuti kamu, janganlah mereka dimusuhi. Kalau kamu berbuat demikian, samalah kamu dengan orang yang membangun sebuah istana, dengan menghancurkan lebih dahulu sebuah kota.”
Beliau melanjutkan:
“Janganlah kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercerai-berai, berpecah-belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan karena sesungguhnya yang demikian itu adalah melanggar hukum Tuhan dan dosa yang amat besar. Itulah yang menyebabkan runtuh-leburnya bangunan suatu bangsa, sehingga tertutuplah dihadapannya setiap pintu kepada kebajikan. Itulah sebabnya maka dilarang Allah, hamba-Nya yang beriman dari bertengkar-tengkaran… Tuhan berfirman, ‘Dan janganlah kamu bertengkar-tengkaran sehingga gagallah kamu dan hilanglah semangat kekuatanmu.’
….Belum jugakah tiba masanya kita insaf? Belum jugakah tiba masanya kita akan sadar dari kemabukan ini? Dan bangun dari kelalaian kita? Belum jugakah kita mengerti bahwa kemenangan kita semua bergantung kepada bantu-membantu dan persatuan yang padu diantara kita?Disertai oleh bersihnya hati hati sanubari kita diantara satu dengan yang lain?Atau akan kita lanjutkan jugakah perpecahan ini, hina menghinakan, pecah memecah, munafik, pepat di luar pancung di dalam, rasa benci memenuhi hati, dan dengki merusak kawan, dan sesat pusaka lama! Padahal agama kita hanya satu belaka:Islam! Madzhab kita hanya satu belaka:Syafi’i! Daerah kita satu belaka: Jawa (Indonesia –pen)! Dan kita semuanya adalah ahlussunnah wal jamaah belaka.” (Maksudnya, dalam persatuan umat Islam di Indonesia jangan abaikan madzhab mayoritas, yaitu Imam Syafi’i). [KH. Hasyim Asy’ari dengan penerjemah Buya Hamka, Al- Mawaa’izh Sjaich Hasjim Asj’ari, Panji Masyarakat 15 Agustus 1959, hlm.5-6].
Kongres pertama MIAI lalu menuntut agar pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan atas Nabi dan agama Islam
Tekad NU untuk mempersatukan umat tampaknya betul-betul bulat. Pada tanggal 20-24 Juni 1937, mereka mengundang organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang. Bunyi undangan itu, “…kemarilah tuan-tuan yang mulia, kemarilah, kunjungilah permusyawaratan kita, marilah kita bermusyawarah tentang apa-apa yang menjadi baiknya Igama (agama –pen) dan umat, baik pun urusan Igamanya, maupun dunianya, sebab dunia ini tempat mengusahakan akhirat dan kebajikan tergantung pula atas beresnya perikeduniaan.” [Safrizal Rambe, Ibid, hlm.284]
Sikap kompromi dan toleransi seperti ini serta aksi perlawanan kaum muslimin terhadap pemerintah kolonial, kaum adat, dan penista agama, mendorong berdirinya suatu federasi Islam yang baru, bernama Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) di Surabaya pada tanggal 21 September 1937.
MIAI dibentuk atas inisiatif Tokoh NU KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan, Tokoh Muhammadiyah KH. Mas Mansur, dan Tokoh PSII Wondoamiseno. Dalam rapat pembentukan MIAI yang dihadiri beberapa organisasi lokal, tersusun sekretariat pertama yang diisi oleh Wondomiseno sebagai sekretaris, KH. Mas Mansur sebagai bendahara, serta KH. Muhammad Dahlan dan KH. Wahab Hasbullah sebagai anggota.
Sementara itu kedudukan KH. Mansur di Muhammadiyah terus menanjak. Tak hanya berhasil dipilih sebagai ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, tetapi juga ditunjuk sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Jawa Timur. Lebih dari itu, dalam kongres Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1937, beliau dipilih sebagai ketua pengurus besar. Konsekuensinya, beliau harus pindah ke Yogyakarta. [Soebagijo, K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia, Gunung Agung: Jakarta, 1982, hlm.32]
Kepindahannya ke Yogyakarta menyebabkan adanya perubahan dalam susunan pengurus besar MIAI menjadi: KH. Muhammad Dahlan (penasihat), Wondoamiseno (Ketua), Faqih Usman dari Muhammadiyah (Bendahara), serta KH. Wahab Hasbullah, S. Umar Hubeis dari Al-Irsyad, Sastradiwirja dari Persis, dan Abdulkadir Bahalwan dari PSII (anggota).[ Mizan Sya’roni, Ibid, hlm. 58]
MIAI sepakat akan menjadi, “tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan-utusan dari beberapa perhimpuanan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia.” Firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 103 menjadi asas pendirian MIAI, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” [H.Aboebakar, Ibid, hlm. 359]
Tujuan MIAI sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya, adalah untuk “menggabungkan seluruh organisasi Islam untuk bekerja sama, mendamaikan apabila timbul pertikaian di antara golongan umat Islam Indonesia baik yang telah bergabung di dalam MIAI, maupun yang belum, merapatkan hubungan di antara umat Islam Indonesia dengan umat Islam negara lain, menyelamatkan agama Islam dan umatnya, dan membangun Kongres Muslimin Indonesia.” [Ibid, hlm. 348-349
Di balik itu, kata Prawoto Mangkusasmito, ada tujuan politik gerakan MIAI yang tersembunyi, yakni mempersatukan gerakan Islam untuk melawan kolonialisme Belanda. [Prawoto Mangkusasmito, Memfokuskan Masa Lampau ke Masa Depan, dalam Ahmad Syafii Maarif, Ibid, hlm. 19]
Tampaknya ini strategi MIAI agar tak diberangus oleh pemerintah kolonial.
Kemunculan MIAI disambut positif oleh organisasi-organisasi Islam. Kalau di awal kelahirannya hanya beranggotakan tujuh organisasi, yakni PSII, Muhammadiyah, Al-Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Al-Irsyad (Surabaya), Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), dan Al-Khairiyah (Surabaya), maka tahun 1941 bertambah menjadi 22 organisasi, termasuk 15 anggota biasa yaitu Nahdlatul Ulama, PSII, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Jong Islamieten Bond (JIB), Persyarikatan Ulama, Al-Islam (Solo), Al Ittihadul Islamiyah (Sukabumi ), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Singli), Musyawarat Al-Tolibin (Kandangan, Kalimantan), Al-Jami’atul Washliyah (Medan), Nurul Islam (Tanjungpandan Bangka Belitung) dan tujuh anggota luar biasa, yaitu Al-Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), Majelis Ulama Indonesia (Toli-toli, Sulawesi), Persatuan Muslimin Minahasa (Manado), Al-Khairiyah (Surabaya), Persatuan Putera Borneo (Kalimantan), Persatuan India Putera Indonesia dan Persatuan Pelajar Indonesia-Malaya di Mesir (sebuah organisasi mahasiswa Indonesia dan Malaya di Mesir).
Persatuan yang MIAI serukan bukan tanpa kerikil. Setidaknya kita bisa saksikan pada empat kejadian. Kejadian pertama, terjadi perseteruan antara NU dan PSII saat kongres pertama MIAI di Surabaya tanggal 26 Februari-1 Maret 1938. NU yang ketika itu belum menjadi anggota MIAI (KH.Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan mendirikan MIAI atas nama pribadi dan baru masuk pada tahun 1939), mengirim dua utusan ke kongres, yaitu Abdul Fakih dan Abdullah Ubayd. Namun NU segera menariknya kembali ketika kongres sedang berjalan. [Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insani:Jakarta, 1996, hlm.18]
Sebab NU tak mau kongres pertama MIAI dianggap sebagai lanjutan kongres-kongres Al-Islam tahun 1920-an oleh kalangan PSII. NU ingin kongres itu sebagai awal yang baru bagi persatuan umat Islam di Indonesia. Sementara para pemimpin PSII ingin menuntut pengakuan atas usaha mereka di tahun 1920-an. NU menilai itu sebagai hasrat PSII untuk diakui sebagai imam dari organisasi-organisasi Islam, sehingga NU menganggap acara kongres sekadar untuk menutupi keinginan PSII.
Oleh karena itu, NU mengusulkan agar awalan ini hendaknya membicarakan dasar-dasar MIAI dan baru kemudian membicarakan acara yang telah disusun. NU bukan hendak melenyapkan adanya kongres-kongres Al-Islam sebelumnya, namun menganggap ini bersifat “sementara” untuk mencapai maksud pada masa tertentu. Tapi ketika perdebatan memuncak dalam kongres, NU pun mencap kongres-kongres sebelumnya “tidak berguna untuk kaum muslimin.” Perasaan-perasaan seperti ini akhirnya mencair juga. Wondoamiseno dari PSII yang duduk dalam pengurus MIAI tidak mengambil tindakan terhadap NU karena dilarang federasi.
Kejadian kedua, pernah terjadi konflik di MIAI antara Abikusno dari PSII dan Wiwoho dari PII, yang masing-masing mencoba menguasai MIAI. Namun persaingan ini tidak dapat memecah MIAI sebab pada kongres di Surabaya, MIAI dapat mengeluarkan resolusi-resolusi yang penting, terutama karena usaha-usaha diplomatis Wondoamiseno. [Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda, Gramedia: Jakarta, 2014, hlm.192]
Kejadian ketiga, NU dan PSII berbeda sikap terhadap kelompok Ahmadiyah Lahore. Di kongres tahun 1938 itu, NU menolak keberadaan Ahmadiyah Lahore di dalam MIAI. Sedangkan PSII toleran terhadap Ahmadiyah Lahore. Namun akhirnya sidang Dewan MIAI memutuskan penolakan terhadap organisasi tersebut. Keputusan ini diperkuat oleh sidang pleno MIAI di Solo bulan Juli 1941.
Kejadian keempat, MIAI dan anggota-anggotanya, terutama PSII, berselisih mengenai sikap politik. Ketika itu, MIAI mendukung tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang menginginkan Indonesia berparlemen. Namun dukungan MIAI ini bukan tanpa syarat, lebih-lebih ketika GAPI menyusun memorandum mengenai rencana konstitusi negara. MIAI dalam surat edarannya, menyatakan keinginannya membuat amandemen karena antara lain “agama mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam, maka sudah semestinya Staatshoofd (kepala negara) Indonesia adalah orang Islam.” Ini bukan berarti “kepentingan golongan-golongan bangsa Indonesia yang lain kepercayaannya akan terlantar,” terangnya, karena “Islam dengan ajaran-ajarannya yang mencukupi kebutuhan masyarakat maju, tidaklah mungkin bertindak tidak adil.” MIAI juga menginginkan adanya kementerian yang mengurus pengadilan agama, masjid, wakaf, dan perkara-perkara yang menjadi kepentingan Islam.
Mengetahui hal itu, PSII yang bertanggung jawab atas penyusunan GAPI, lalu mengumumkan bahwa surat edaran MIAI hanyalah suatu usul yang akan dipertimbangkan lebih jauh oleh anggota-anggota MIAI. Sedangkan MIAI berpendapat bahwa “sudah sepatutnya … memajukan suatu amandemen (tambahan), ialah suatu desakan kepada GAPI agar supaya tidak melupakan nasib umat Islam Indonesia yang berjumlah lebih kurang 90% daripada rakyat Indonesia pada umumnya.” MIAI juga menambahkan bahwa sebelumnya mereka tidak diberitahu tentang rencana itu.
Meski begitu, GAPI dan MIAI menerangkan, “tidaklah ada perselisihan paham atau perselisihan pendirian tentang menuntut terapainya Indonesia berparlemen,” dan ,” bantuan serta sokongan MIAI dalam kepentingan ini dijanjikan dan telah pula dilakukan dengan sepenuhnya.” Sarekat Islam dan anggota lainnya pun tetap berada dalam MIAI.
Di saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra). Parindra memuat artikel yang melecehkan Islam di majalah Bangun , dalam dua edisi, tanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel yang ditulis oleh Siti Soemandari itu membela rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonial yang berisi penghinaan terhadap Rasulullah dan peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu sebenarnya bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.
Kongres pertama MIAI lalu menuntut agar pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap orang-orang yang melakukan penghinaan atas Nabi dan agama Islam, meminta persoalan-persoalan agama dikembalikan pada umat Islam, mendesak pemerintah untuk menolak pemindahan wewenang pembagian waris dari pengadilan agama ke pengadilan negeri biasa (landraad), yang menurut rencana akan dipindahkan ke pengadilan negeri.
Selain itu, kongres juga mencari jalan agar organisasi-organisasi Islam mau menyatukan pendapatnya mengenai awal bulan puasa dan lebaran, menuntut agar pemerintah menghapuskan bea potong hewan yang dimaksudkan untuk kurban, dan menyeru semua organisasi Islam agar memberi perhatian terhadap pemberian pelajaran agama Islam kepada transmigran Jawa di pulau-pulau lain, menyarankan kepada oganisasi-organisasi Islam agar mereka melakukan shalat ghaib untuk para korban yang jatuh dalam perang Palestina serta menuntut kepada Liga Bangsa-bangsa untuk membatalkan pemisahan Palestina sebagaimana yang dilakukan oleh Inggris. Muhammad Cheng Ho

No comments: