Perjalanan Ibu Harun Al Rasyid, dari Budak Hingga Istana

Abu Nawas dan Khalifah Harun Ar-Rasyid (ilustrasi).
Abu Nawas dan Khalifah Harun Ar-Rasyid (ilustrasi).
< Ibu ibarat rahim peradaban. Dari rahim seorang ibu terlahir generasi baru dengan barbagai sifat dan perilaku. Ibu menjadi madrasah untuk mencetak generasi tersebut menjadi pemimpin-pemimpin di setiap masa.  Peran seperti itulah yang tergambar dari kisah hidup Jurasyiyah binti 'Atha, yang dijuluki Khaizuran. Ia berasal dari Yaman. 
Pada awalnya, Khaizuran adalah seorang budak milik al-Mahdi, khalifah ketiga bani Abbasiyah. Statusnya sebagai budak membawanya ke istana. Ia mengenal baik khalifah dan keluarganya serta sistem pemerintahan dan politiknya.
Sebagai budak, Khaizuran juga memiliki kesempatan untuk menggali ilmu dari perpustakaan pribadi milik al-Mahdi. Ia datang ke majelis-majelis ilmu di Baghdad untuk memantapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Di sela waktunya, ia rajin menghafal Alquran.
Khaizuran tumbuh menjadi perempuan yang cerdas. Ia merupakan salah seorang penasihat pribadi al-Mahdi, baik sebelum maupun setelah diangkat menjadi khalifah. Ia sering hadir dalam rapat-rapat kenegaraan walau masih berstatus sebagai budak.
Kedekatan al-Mahdi dan Khaizuran menimbulkan pro dan kontra. Ini juga membuat istri pertama al-Mahdi cemburu. Dalam kondisi seperti itu, al-Mahdi memilih untuk menikahi Khaizuran dan mengukuhkan posisinya sebagai ibu negara.

Dari pernikahan dengan al-Mahdi, Khaizuran dikaruniai tiga orang anak. Dua anak laki-lakinya bernama Musa dan Harun. Anak perempuannya meninggal saat masih kecil.
Sebagai perempuan yang haus ilmu, Khaizuran selalu mendampingi kedua putranya menuntut ilmu. Ia menemani mereka di Madinah dan rela menderita. Ia menempuh perjalanan jauh,  ikut belajar, dan jauh dari keluarga.  
Khaizuran sangat ambisius. Ia mendidik putra-putranya agar layak memangku jabatan khalifah. Dibalik sikap ambisiusnya, ia juga seorang yang 'legawa. Ia tak keberatan jika ada sosok lain yang dipandang lebih mampu menjadi khalifah.
Dengan keuletan, kepandaian, dan kemauan keras, ia berhasil mendidik anak-anaknya menjadi pemimpin. Musa al-Hadi menjabat sebagai khalifah bani Abbasiyah hingga meninggal.
Ia digantikan oleh Harun al-Rasyid, adiknya. Harun diangkat menjadi khalifah pada September 786 M. Ketika itu, ia masih berusia 23 tahun.

Harun menjadi pemimpin yang taat beragama, shalih, dermawan, dan hampir disamakan dengan Umar bin Abdul Azis dari bani Umayyah. Jabatan khalifah tak menghalanginya turun ke jalan pada malam hari untuk melihat kehidupan rakyatnya. Malam-malam bani Abbasiyah menjadi aman dan tertib dengan tingkat kejahatan yang minim.
Seperti ibunya, Harun al-Rasyid adalah seorang pencinta ilmu. Ia mengangkat salah seorang gurunya, Yahya al-Barmaki, menjadi perdana menteri. Banyak nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya dan menjaga Harun dari penyimpangan agama Islam.
Harun juga sangat memperhatikan nasib para ilmuwan dan budayawan. Mereka selalu dikumpulkan dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Pada masa Harun al-Rasyid, masjid-masjid berkembang menjadi pusat kajian. Perguruan tinggi, madrasah, rumah sakit, hingga sarana kepentingan umum dibangun dengan baik. Di masa ini, tingkat kemakmuran hampir merata dan kesenjangan sosial menurun, sehingga sulit mencari objek distribusi zakat, infaq dan shodaqoh.
Dengan sistem ini, Harun al-Rasyid membawa bani Abbasiyah mencapai puncak kejayaan. Ini tak lepas dari peran Khaizuran yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. 

No comments: