Syahidnya Hasan Al-Banna dan Pemberangusan Jamaah Ikhwan

imam hasan al bana
KARENA kesal dengan kemajuan dakwah Islam dan langkah politis Ikhwanul Muslimin (IM), Raja Farouk (Penguasa Mesir) berkonspirasi dengan Yahudi dan militer berusaha melenyapkan Imam Hasan Al-Banna. Tanggal 12 Februari 1949, para agen Raja Farouk berhasil menyelesaikan tugas mereka: menghabisi pendiri gerakan Ikhwanul Muslimun, Hasan Al-Banna.
Sabtu petang itu, sekitar pukul delapan lebih dua puluh menit, Hasan Al-Banna baru saja keluar dari markas “Syubbanul Muslimin” yang terletak di Jalan Malikah Nazili (sekarang Jalan Ramses), jantung Kairo. Beliau didampingi sahabat sekaligus menantunya,
Ustad Abdul Karim Mansur, yang juga seorang pengacara. Abdul Karim Manshur mengungkap kembali detik-detik terakhir kehidupan Imam Hasan Al-Banna. “Kami berdua keluar menuju Jalan Ramses. Di sana taksi sudah menunggu. Kemudian Imam Hasan Al-Banna masuk ke dalam taksi dan duduk di kursi belakang. Setelah itu saya menyusul masuk. Di dalam taksi kami saling tukar tempat duduk, sehingga beliau duduk di sebelah kanan saya,” ujarnya.
Belum lagi taksi tersebut berjalan, tiba-tiba dua orang tak dikenal menghadang taksi yang mereka tumpangi. “Salah seorang dari keduanya berusaha membuka pintu yang ada di sebelah saya. Tapi saya berusaha untuk menahannya. Tiba-tiba orang itu mengarahkan pistol ke arahku dan memuntahkan pelurunya. Satu peluru mengenai dadaku, peluru selanjutnya mengenai tangan kananku yang berusaha untuk meraih pistolnya. Sedangkan peluru ketiga mengenai kakiku, sehingga aku tak mampu bergerak. Hal tersebut berlangsung dengan cepat,” katanya.
“Setelah melihat aku tak berdaya, ia menuju ke arah Imam Hasan Al-Banna, dan berusaha membuka pintu taksi. Tapi tidak berhasil. Kemudian ia memuntahkan peluru pistolnya ke arah Hasan Al-Banna. Pintu pun akhirnya terbuka. Sambil mundur, ia menembaki Hasan Al-Banna. Tujuh peluru bersarang di tubuh Al-Banna, tapi beliau masih mampu berdiri dan lari mengejar para penembak tersebut sekitar seratus meter. Rupanya sebuah mobil telah menunggu mereka, dan akhirnya mereka kabur menggunakan mobil tersebut,” tutur Abdul Karim Manshur.
Tak lama berselang, Hasan Al-Banna pun menemui panggilan Ilahi di rumah sakit karena kehabisan darah. Dokter jaga pada malam itu dilarang merawat Al-Banna oleh utusan khusus Raja Farouk demi meyakinkan bahwa Al-Banna memang telah benar-benar tak bernyawa lagi.
Sejak peristiwa keji itu seluruh dunia Islam berduka. Para ulama Mujahid sepakat memberi tambahan gelar baru bagi Hasan Al-Banna dengan sebutan “Al-Imam As-Syahid”. Semoga arwah beliau senantiasa dirahmati Allah Taala dan cita-cita perjuangan beliau akan menjadi kenyataan. Sementara itu, semua kekayaan Ikhwan disita oleh pemerintah Mesir.
Para pimpinan Ikhwan ditangkapi dan dijebloskan ke dalam penjara oleh PM Jamal Abdun Naser dan sejak itu IM dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Pada tahun 1951, pemerintah Mesir kembali memberi kesempatan kepada Ikhwan untuk berdiri kembali serta mengembalikan kekayaan Ikhwan yang disita. Mulai tahun itulah, Ikhwan kembali merekonstruksi organisasinya di bawah pimpinan Hasan Hudhaibi, seorang pengacara terkenal Mesir saat itu. Ketika terjadi Revolusi Mesir, 23 Juli 1953, dalam upaya meruntuhkan rezim Farouk, Ikhwan turut ambil bagian.
Bahkan pemimpin revolusi Mesir, Jenderal Muhammad Najib, sempat menyampaikan sambutannya berkenaan dengan peringatan kematian Al-Banna dan disiarkan langsung melalui radio. Pemerintahan pasca revolusi pun sempat menawarkan kepada Ikhwan untuk bekerja sama dalam membentuk pemerintahan. Tapi Ikhwan menolak selama Islam tidak dijadikan sebagai landasan hukum. Penolakan tersebut merupakan awal retaknya hubungan Ikhwan dengan rezim baru.

KESEPAKATAN Suez yang ditandatangani pemerintah Mesir dan Inggris semakin mendorong Ikhwan menjadi oposisi pemerintah. Pada 1954, Ikhwan kembali diberangus. Bahkan beberapa pemimpin Ikhwan dijatuhi hukuman mati di tiang gantungan.
Salah seorang di antaranya adalah Dr. Abdul Qadir Audah, seorang pakar hukum Mesir. Sementara Hasan Hudhaibi, Mursyid Ikhwan dijatuhi hukuman seumur hidup. Penjara sipil dan militer Mesir kembali dipenuhi para pejuang Ikhwan untuk kedua kalinya, setelah peristiwa pemberangusan pertama pada 1948 di zaman rezim Farouk.
Kalau peristiwa pemberangusan sebelumnya diprakarsai oleh Barat, maka pemberangusan anggota Ikhwan 1965-1966 boleh dikatakan atas prakarsa Rusia. Sebab rezim yang dipimpin Naser saat itu mendapat dukungan penuh Soviet. Korban pemberangusan gerakan Ikhwan kali ini adalah Sayyid Qutb, penulis karya monumental Tafsir Fi Zhilalil Quran, yang sampai sekarang sudah dicetak ulang sampai edisi ketiga puluh.
Pada masa Anwar Sadat, tahanan Ikhwan mulai dibebaskan dan mereka diperkenankan untuk bergerak atas nama pribadi. Bukan atas nama gerakan. Tapi gerakan Ikhwan menolak hal tersebut dan ingin tetap berdiri di bawah pimpinan Hasan Hudhaibi. Mereka juga terus mengajukan agar keputusan MPR tahun 1954 mengenai pelarangan gerakan Ikhwan dicabut, sampai wafatnya Hudhaibi.
Barulah pada 21 Januari 1983 permohonan Ikhwan terkabul. Saat itu pemimpin Ikhwan dijabat oleh Umar Tilmitsani sampai beliau wafat pada 1986. Tampuk pimpinan Ikhwan beralih kepada Muhammad Hamid Abu Nashir, sampai beliau wafat pada 1997. Dan sekarang kepemimpinan Ikhwan dipegang oleh Ustadz Musthafa Masyhur, salah seorang murid Hasan Al-Banna generasi pertama.
Walau usia Al-Banna sangat pendek (43 tahun), keberadaannya telah membawa berkah bagi umat. Beliau telah menanamkan bibit kebangkitan umat di abad XX ini. pemikirannya bukan semakin pudar dengan terbunuhnya beliau, melainkan justru tumbuh subur.
Dengan syahidnya Imam Hasan Al-Banna, kaderisasi dakwah IM tidak lantas mati malah membuat anggota Ikhwan semakin kuat dan menyebar di seluruh dunia.
Sistem pembinaan Al-Banna telah diwariskan kepada para pengikutnya. Keluarga Qutb adalah contoh keluarga yang dibina Ikhwan setelah syahidnya Hasan Al-Banna. Sayyid Qutb masuk ke dalam jamaah ini justru setelah Hasan Al-Banna menemui syahidnya. Ketika peristiwa pembunuhan keji itu terjadi Sayyid sedang sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di AS.
Sayyid tertarik dengan pribadi Hasan Al-Banna karena melihat orang-orang Amerika, para dokter dan perawat begitu senangnya mendengar wafatnya Hasan Al-Banna. Bagi Sayyid Qutb, pribadi yang kewafatannya (kesyahidannya) membuat orang-orang kafir menjadi senang tentulah pribadi mukmin sejati yang layak untuk diikuti.
Sepulangnya dari Amerika Sayyid segera bergabung dengan IM. Beliau dan keluarganya terus ditarbiyah oleh para sahabat Imam Syahid. Sayyid Qutb berdakwah melalui lisan dan tulisan.. Selanjutnya, dalam kiprah dakwah, semua anggota keluarga Sayyid Qutb pernah ditangkap tetapi mereka tetap istiqamah.
Sayyid Qutub bahkan sampai dihukum mati, sementara dua saudara perempuannya, Aminah dan Hamidah Qutub, harus mendekam di dalam penjara. Hamidah Qutub ditangkap pada saat pesta pernikahannya. Bukan karena tindak kriminal yang dilakukannya, melainkankan karena membela satu prinsip yang memang tak bisa ditawar-tawar: prinsip akidah. Hamidah baru dapat bertemu kembali dengan suaminya, Kamal As-Sananiry, setelah 20 tahun berlalu dari hari pernikahannya. Sebab si suami ini pun dijebloskan ke dalam penjara.
Kisah-kisah demikian bukan membuat orang semakin jauh dari IM. Melainkan justru semakin mendekat dan tertarik untuk lebih tahu apa rahasia serta konsep pembinaan Ikhwan, sehingga dapat menghasilkan generasi semacam itu. Generasi yang saling mencintai, saling mementingkan kepentingan saudaranya. Generasi yang memiliki pendirian yang tidak bisa dibeli dengan apa pun. Generasi yang lebih mementingkan umat ketimbang kemaslahatan dirinya sendiri.

No comments: