Wafatnya Abizar Sang Pengingat

Makam Abudzar Alghifari
Makam Abudzar Alghifari
Di kampung kecil, Rabadzah, tampak seorang perempuan kurus berkulit kemerah-merahan tengah duduk sambil menangis tersedu-sedu. Di dekatnya, suaminya yang sudah tua berwajah kusam sedang menghadapi sakratul maut.
Suaminya itu berujar, ''Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?'' Istrinya mengatakan, ''Anda akan meninggal, tetapi kita takpunya sehelai kain pun untuk kafanmu,'' jawab sang istri. Mendengar jawaban itu, ia hanya tersenyum.
Setelah itu, ia meninggal. Tidak lama kemudian, datanglah serombongan kaum mukmin yang dipimpin Abdullah bin Mas'ud. Melihat sesosok mayat yang sudah terbujur kaku dalam kondisi yang cukup menyedihkan itu, air mata Ibnu Mas'ud meleleh lebat.
Rupanya, ia mengenal siapa sosok yang meninggal tersebut. Seraya berkata, ''Benarlah prediksi Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang kara, dan dibangkitkan sebatang kara!'' Itulah akhir hayat sahabat nabi yang terkenal gemar mengampanyekan hidup sederhana, Abizar, dari suku Ghifar.
Selain itu, sahabat yang memiliki nama asli Jundub bin Junadah itu, sepanjang hayatnya dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan pribadi. Sikap kritisnya sering membuat merah telinga para pejabat saat itu.
Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling, ia menanyakan harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur Suriah yang merupakan wilayah paling ''basah'' ketika itu.
Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah pertanian. Sambil mengutip Alquran surah At-Taubah ayat 24-35, Abu Dzar kerap mengingatkan mereka, ''Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika api neraka!'' Muawiyah resah.
Ia merasa terancam dengan kehadiran Abizar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk meminta agar Abu Dzar dipanggil ke Madinah. Permintaan dikabulkan. Abizar kembali ke Madinah. Ia akhirnya dipinggirkan. Nasib para pejuang yang lantang membela kebenaran dan kritis kepada penguasa memang selalu tragis.
Sejarah memberitahu bahwa berupaya keras memperjuangkan nasib rakyat lemah sering berakhir dengan ''kehinaan''. Ia Dicampakkan dan dimarjinalkan penguasa dari kehidupan yang layak. Bahkan, kalau perlu dibuang ke luar negeri. Hidup seorang diri, mati seorang diri, dan kelak dibangkitkan seorang diri pula. Sebagai satu-satunya tokoh istimewa dengan kemuliaan tersendiri!
Yusuf Burhanuddin
Sumber : Pusat Data Republika

No comments: