Berlomba Membangun Gedung-gedung

Ilustrasi: www.everbluetraining.com
Ilustrasi: www.everbluetraining.com

SAAT ini kita sering dihadapkan pada sebuah biografi atau auto biografi pengusaha sukses. Seringkali mereka berangkat dari keadaan terlilit hutang, miskin, atau broken home. Dalam beberapa biografi pengusaha yang saya baca, diceritakan dalam waktu kurang dari lima tahun mereka telah mencapai kesuksesan yang luar biasa. Sebagian dari biografi itu menunjukan pencapaian yang didapatkannya itu melalui foto-foto sukses diri bersama rumah yang megah, atau mobil-mobil yang mewah yang berjajar di halaman rumahnya bersma istrinya yang cantik lagi menarik. Lebih kentara lagi dalam dunia artis, tanpa malu-malu mereka memamerkan pencapaian sukses ekonomi mereka dengan menunjukkan villa mereka, mobil sport mereka atau apartemen mewah mereka sekali lagi bersama istri/suami mereka yang menarik. Sebagian dari mereka adalah muslim.
Saya juga cukup terperangah ketika mengamati fenomena yang sama di daerah-daerah. Orang-orang yang tadinya hidup pas-pasan lalu bekerja di ibukota atau berwirausaha berangkat dari nol dan mencapai sukses ekonomi, orientasi mereka dalam menunjukan simbol sukses mereka adalah dengan membangun rumah mewah, kendaraan megah dan fasilitas yang mewah. Ini sepertinya sudah menjadi pola umum di masyarakat muslim kita. Barangkali karena panutan yang di ajarkan media dan buku adalah seperti yang saya sebutkan diatas tadi.
Kalau kita mengkaji kembali warisan nabawi, fenomena di atas memang akan terjadi. Sang Utusan pernah bersabda yang diriwayatkan oleh imam Ahmad,
“Sesungguhnya diantara syarat-syarat kiamat adalah apabila kamu melihat orang-orang (yang asalnya) peggembala kambing menjadi pemimpi umat dan kamu melihat orang-orang yang asalnya tanpa alas kaki, telanjang dan kelaparan berlomba membangun gedung-gedung,….” (HR. Imam Ahmad)
Di suratkan dalam hadits bersanad jayyid tersebut, bahwa orang yang tadinya serba kurang akan menjadi berlimpah kekayaan dan “berlomba membangun gedung-gedung”.
Melupakan Jihad Ekonomi
Frasa berlomba ‘berlomba membangun gedung-gedung’, dapat kita baca dengan bahwa kalangan masyarakat muslim kita telah meninggalkan Jihad Ekonomi. Dalam perspektif pengusaha, seperti yang di jelaskan dalam Clash Flow Quadrant, Robert T Kiyosaki, bahwa harta yang paling baik adalah harta yang terus bergerak dan terus mengalirkan kembali ke arus kas. ‘berlomba membangun gedung-gedung’ bisa kita baca bahwa arus keuangan sebagian masyarakat kita mengendap dalam bangunan yang semakin ia ingin tinggikan, yang justru terkena beban biaya perawatan dan pajak. Ini berarti konsep ekonomi masyarakat kita tidak cerdas financial, dipimpin oleh pengetahuan, apalagi dipimpin iman. Inilah yang mengerikan, masyarakat kita tidak mengalirkan aliran keuangan mereka pada hal yang lebih produktif, apalagi mengalirkannya kepada pengokohan ekonomi umat. Mereka justru menumpuknya menjadi liabilitas (beban) berupa rumah mewah, mobil mewah dan fasilitas mewah. Mereka melakukan hal paling primitif, hal yang termudah dengan uang mereka, memperbagus tempat tinggal mereka.
Tidak seperti itu yang dicontohkan 14 abad yang lalu oleh orang-orang kaya negara madinah. Mereka tidak pernah membiarkan kekayaanya mengendap tak bergerak. Para Sahabat Nabi itu terus membuat arus kasnya mengalir. Seperti Abdurahman bin Auf, dengan modal nol atau modal dengkul sampai dia mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah, menjadi terkaya di Madinah. Tapi tidak berhenti disitu, kekayaan besarnya itu juga mengalir kepada umat, untuk mengokohkan negara madinah, membiayai militer Islam. Usman bin Affan sendiri mengalirkan kekayaanya untuk menambah fasilitas umum kaum muslimin di tengah paceklik, membebaskan sumur Raumah dan membiayai militer islam dalam berbagai perang. Begitu pula sahabat kaya yang lain. Waktu itu syariat zakat dan sedekah menjamur diamalkan . Dan lebih lagi syariat wakaf, berlomba diamlkan, menjadi tulang punggung pembangunan masyarakat waktu itu. Karakter kekayaan para sahabat nabi adalah kaya berdaya dengan cerdas financial bervisi profetik.
Kaya Ekonomi, Miskin Narasi
Jim Rohn, seorang pemikir barat, mengatakan bahwa abad 21 ini adalah abad peluang ekonomi. Sejuta kesempatan survive ekonomi akan bisa masyarakat raih. Bisa dibilang era ini adalah era enterpreneur. Bahkan di Indonesia saat ini sedang memasuki era melimpahnya kelas menengah baru. Yang menurut banyak pengamat ekonomi akan semakin menumbuhkan kesempatan majunya ekonomi. Banyak orang baru yang dengan ajaib tiba-tiba menjadi orang kaya baru. Inilah sebab dengan mudahnya orang-orang yang tadinya“tanpa alas kaki, telanjang dan kelaparan” menjadi orang-orang yang “berlomba membangun gedung-gedung”. Mudahnya peluang itu menjadikan masyarakat muslim kita memasukinya tanpa narasi yang jelas. Ketidak jelasan narasi itu diejawantahkan dengan melakukan hal yang termudah dengan uang mereka, memperbagus tempat tinggal mereka.
Di tengah ekspansi ekonomi ribawi, ekonomi asing dan kekuatan ekonomi salibis, sikap “berlomba membangun gedung-gedung” adalah sikap yang naif, bodoh, egois dan sama sekali tidak bertanggung jawab.
Ditengah merajalelanya bank-ribawi, jelas naif dan polos, masyarakat kita malah hanya “berlomba membangun gedung-gedung”, dengan tidak berjihad ekonomi membangun permodalan islami. Atau masyarakat muslim kita malah menggunakan riba? Ditengah kekuatan ekspansi indom***t & alfam***t yang merajalela, jelas egois dan tak bertanggung jawab, masyarakat kita hanya “berlomba membangun gedung-gedung” dengan tidak berjihad ekonomi menciptakan pasar minimarket kalangan muslim sendiri. Saya sangat apresiatif kepada Muhammadiyah yang mulai membangun minimarket2 dan Hidayatullah di Surabaya dengan minimarket sakinahnya. Ditengah ekspansi produk2 asing dan yahudi dalam customer goods, jelas tidak bertanggung jawab, masyarakat kita malah “berlomba membangun gedung-gedung” dengan tidak berjihad ekonomi bereksperimentasi dengan produk khas negeri sendiri. Di tengah arus tonton yang makin tidak jelas dengan sponsor yang besar, jelas egois dan tak bertanggungjawab, masyarakat kita malah “berlomba membangun gedung-gedung”, dengan tidak berjihad ekonomi membantu membangun tontonan yang lebih beradab.
Memang sangat menyedihkan melihat fenomena rapuhnya ekonomi Islam hari ini. Tapi mememang ini sudah menjadi prediksi kenabian. Ibnu Katsir mengutip lagi hadits bersanad jayyid dan qowiy dalam huru-hara hari kiamat, yang memperjelas hakikat ini,
“Kiamat tidak akan terjadi sebelum orang yang paling banyak mengumpulkan harta justru si rendah budi, anak si rendah budi” (HR. Imam Ahmad)
Sangat jelas akhirnya mengapa mereka “berlomba membangun gedung-gedung” meninggalkan jihad ekonomi, karena pelaku ekonominya orang yang rendah budi keturunan si rendah budi pula. Padahal rendah budi, menurut ulama adab, disebabkan minimnya iman dan ilmu, terutama ilmu syari. Kita memang tidak bisa menghentikan laju prediksi nubuat ini, inilah memang tanda akhir zaman. Tetapi kita dapat menghindarkan keluarga dan kalangan kita dari fenomena ini, dengan cara membekali iman dan ilmu syari dan model yang benar dalam bisnis sebelum mereka terjun ke dunia bisnis dan dunia kekayaan.
Wallahualam.
Ibnu Sayuti
 Pekalongan, Jawa Tengah

No comments: