Mengenang Maklumat Perang 26 Maret 1873)

Belanda Oh Belanda

NEGERI kita Aceh jauh berada di kawasan Asia. Namun bila kita lihat bukti, mendengar saksi mata, membaca buku bahwa bangsa kita mempunyai hubungan sejarah dengan Belanda. Bagaimana bisa terkait hubungan sejarah antara bangsa kita dengan Belanda itu? Singkatnya, dulu ada hubungan yang mesra hingga hubungan perniagaan antara Belanda dan Aceh. Di kemudian waktu, disebabkan nafsu kuasa untuk menjajah dan mempertahankan negeri akhirnya berperanglah antara kedua bangsa yang besar itu. Pihak yang mana sebagai penjajah dan pihak mana yang mempertahankan negerinya? Analisa tersebut bisa terjawab sendiri melalui bukti sejarah.

Bila ditelisik dari berbagai alasan, salah satu argumen mengapa hingga hari ini bangsa kita hilang daulatnya dikarenakan oleh Belanda. Sekali lagi, karena Belanda. Tanpa bantahan bila sejarah membuktikan bahwa Belanda mendeklarasikan Maklumat Perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Sebelum tanggal keramat tersebut, negeri kita sebuah negara yang berdaulat. Bangsa kita hidup merdeka, setara dengan bangsa merdeka lainnya.

Di samping analisa tersebut, bisa dilihat sendiri siapa yang datang ke negeri lain untuk menjajah dengan menyatakan perang? Bukti dalam sejarah, Belandalah yang mengawali peperangan dengan mengumumkan Maklumat Perang terhadap negeri kita. Apakah negeri kita dulunya menginginkan perang hingga moyang kita pergi ke Eropa untuk menjajah Belanda? Satu lagi, ketahuilah bahwa bukan hanya negeri kita saja yang diperangi oleh Belanda tetapi hingga kerajaan yang berdaulat lain di sekitar Aceh di Nusantara ini juga ikut dijajahnya.

Coba anda lihat di peta, seandainya terusan Suez tidak dibuka sungguh amatlah jauh jarak antara Belanda dan Aceh itu. Taksirkan sendiri, berapa bulan habis waktu perjalanan dengan kapal laut ke Asia? Berapa ribu serdadu Belanda tewas sia-sia dalam peperangannya? Berapa habis dana yang dibelanjakan oleh mereka dulu. Namun mengapa Belanda berbuat demikian rupa? Semua itu salah satunya adalah mengikuti nafsu untuk menjajah bangsa lain. Dengan demikian, tampaklah nyata bukti pihak mana sebagai bangsa penjajah dan pihak mana sebagai bangsa yang mempertahankan negerinya dari si penjajah.

 Perang terlama
Menurut fakta yang bersumber dari pihak Belanda sendiri, perang dengan Aceh adalah yang terlama, paling banyak korban dan paling besar menguras dana. Akibat perang tersebut wilayah kerajaan Aceh telah sirna, warisan Aceh hancur, ribuah orang Aceh syahid, beserta janda dan anak yatim. Saat itu, struktur daulat negeri bertukar setelah raja Aceh ditangkap oleh Belanda. Walaupun demikian, perjuangan perang terhadap Belanda masih berdenyut dengan bukti adanya inisiatif dari pihak ulama menegakkan sendiri perlawanan yang bersambung hingga anak cucunya.

Belanda, sebagai satu negara anggota Uni Eropa, saat ini hidup beradab. Namun sejarah masa lalunya yang menjajah kita, tidak bisa kita lupakan begitu saja. Portugis juga sebagai satu negara Uni Eropa, tetapi mereka mempunyai tanggung jawab dengan apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka terhadap Timor Timur. Sebagai contoh; saat Portugis pulang ke negerinya setelah menjajah Timor Timur, serdadu Indonesia melalui perintah Soeharto masuk ke Timor Timur. Portugis pun merasa bersalah karena bangsa Timor Leste itu mempunyai hak politik dengan sukarela apakah berintegrasi dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Oleh sebab itulah Portugis sering membantu aktivis Timor Timur untuk kampanye agar meraih solusi Referendum sebagai jalan tengah yang adil untuk menyelesaikan konflik dengan Indonesia. Dalam forum internasional pula, menurut kabar aktivis Timor Timur, hampir di setiap kesempatan Portugis menggoyang Indonesia bila berdiskusi perihal Timor Timur.

Begitu juga perihal HAM dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) hingga aktivis Timor Timur diperbolehkan tinggal di kota Lisabon. Lihat sendiri bagaimana Portugis merasa bersalah ketika moyang mereka membuat kebijakan politik yang salah terhadap Timor Timur dan sebagai tebusan bersalah itulah mereka membantu aktivis Timor Timur. Di luar dari pada doktrin agama, Portugis telah lunas tanggung jawab moralnya akibat apa yang diperlakukan dulu saat keluar dari tanah Timor Timur.

Namun coba anda bandingkan sendiri dengan Belanda yang hingga saat ini masih terikat sejarah dengan Aceh. Mengapa dalam sejarah Aceh, negeri kita ini tidak pernah hidup aman, damai, stabil seperti bangsa lain? Ada saja muncul konflik di sana. Ketahuilah bahwa sumber dari segala sumber kesalahan tersebut adalah Belanda dulunya masuk ke Aceh untuk memerangi kita. Belum habis segala urusan perang Aceh, namun sudah dilimpahkan kuasa penjajah ke dalam genggaman Indonesia (dekolonisasi), kemudian Belanda kembali ke negerinya beserta rampasan harta warisan bangsa Aceh.

Inggris saat menjajah tanah Melayu dan sekitarnya setelah kembali ke negerinya sendiri lalu berinisiatif membuat persatuan Commonwealth of Nations dan Malaysia berada dalam Negara-negara Persemakmuran itu. Portugis dan Inggris meskipun sebagai penjajah dulunya mengetahui kesalahan politik moyangnya. Namun Belanda sendiri apa yang mereka bantu terhadap Aceh untuk menebus kesalahan nenek moyang mereka dulu?

 Tidak membantu
Bila disebutkan Belanda membantu kamanusiaan saat bencana tsunami Aceh 2004, namun negara-negara lain juga yang tiada kaitan sama sekali dengan sejarah Aceh lebih besar bantuannya dari Belanda. Perihal lain, Belanda tidak membantu politik kemanusiaan orang Aceh yang teraniaya dalam konflik Aceh seperti layaknya UNHCR. Tetapi negara lain yang tidak ada kaitan sejarahnya dengan Aceh, malah membatu hingga ratusan keluarga Aceh diselamatkan ke negaranya sebagai status pengungsi atau penerima suaka. Jadi, jelas bahwa politik Belanda berpihak kepada Indonesia, tidak seperti Portugis terhadap Timor Timur atau Inggris terhadap Malaysia.

Seingat saya, kebijakan umum politik Belanda yang tidak bertanggung jawab ini persis serupa seperti petikan ucapan wakil duta besar mereka di Kuala Lumpur, Malaysia. Saat itu, pada bulan puasa 2011, saya meminta waktu untuk berjumpa dengan Duta Besar Belanda untuk Malaysia, namun dipertemukan dengan wakilnya. Saat berjumpa selama 20-30 menit itu, satu pertanyaan yang saya ajukan: “Mengapa Belanda tidak mencabut Maklumat Perang terhadap Aceh 26 Maret 1873 dan bagaimana Aceh bisa menjadi bagian Indonesia?”

Saya terkejut karena bukan dijawab, melainkan disuruh menunggu sebentar untuk search di mesin Google. Kemudian di print out pada kertas sambil diperlihatkan kepada saya. Meskipun bukan lucu tetapi ikut tersenyum karenanya. Saya bertanya kembali: “Dari mana sumber kronologis sejarah tersebut?” Dijawab: “Di bawah kertas itu tertera sumbernya.”

Saat saya perhatikan, ternyata sejarah versi Indonesia. Bila dari sejak awal saya mengetahui demikian, lebih baik tidak perlu saya datang ke kantor mereka karena saya sendiri pun bisa melihatnya di internet. Rupanya sedemikianlah tingkat seorang diplomat wakil duta besar bekas negara penjajah. Bila tidak mengetahui sejarah bangsanya sendiri; bagaimana kita hendak berdiskusi dengan objektif?

Menurut etika sebuah negara yang beradab, seadainya mengetahui politik moyangnya dulu keliru, maka bila ada rasa kemanusiaan, meskipun berat rasa malu, maka tetap akan meminta maaf. Pada 2011 lalu, misalnya, di Belanda ada di sidang pengadilan tentang kasus Rawagede yang pada akhir keputusannya; Belanda sebagai sebuah negara telah berbuat salah dengan membunuh orang-orang sipil tak berdosa di Rawagede pada akhir 1947. Akibatnya, Belanda sebagai sebuah negara harus meminta maaf kepada korban yang masih hidup sambil memberikan subsidi dana terhadap ahli waris keluarga yang sudah renta (kompensasi).

Jumlah korban moyang kita bangsa Aceh lebih besar dibandingkan kasus Rawagede. Masalah Aceh dengan Belanda adalah kaitan sejarah yang hingga saat ini belum selesai. Siapa saja keturunan Aceh berhak untuk mempersoalkan sejarah tersebut. Manusia wajib berusaha tapi tidak wajib memutuskan keberhasilan, karena semua itu keputusan yang Maha Kuasa. Nah!

Asnawi Ali, Ketua Persatuan Masyarakat Aceh di Örebro, Swedia. Email: asnawiali@gmail.com
Editor: hasyim
Sumber: Serambi Indonesia   

No comments: