Mohammad Natsir Bedah Buku Pendidikan Moral dan Pancasila

Mohammad Natsir Bedah Buku Pendidikan Moral dan Pancasila
Mohammad Natsir
Kontroversi pecah pasca terbitnya buku Pendidikan Moral dan Pancasila (PMP). Kkritik buku dibalas tuduhan berlebihan pemerintah seolah menolak Pancasila

ulu, kontroversi pecah pasca terbitnya buku Pendidikan Moral dan Pancasila (PMP). Sebagian kalangan mengkritik buku itu. Sayangnya, kritik itu berbalas tuduhan yang berlebihan dari pemerintah. Tak setuju dengan buku PMP sama dengan menolak Pancasila.

Sebenarnya, apa yang salah dari buku itu? Dan yang benar itu seperti apa? Tokoh Islam, M.Natsir, lewat tulisannya di bawah ini, akan membedah masalah itu dengan pisau analisisnya.

***

    “Waspadalah terhadap orang atau golongan yang selalau mengecam dan mengejek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah, karena pada dasarnya, orang atau golongan tersebut tidak bersedia menerima dan menghayati Pancasila sebagai elemen sistem nilai dan ide vital bangsa dan negara nasional kita.”

Kata-kata itu kembali keluar dari mulut Menteri Daud Yusuf di depan civitas akademika Universitas Nusa Cendana di Kupang (Suara Karya, 22 September 1982). Sebelumnya, beliau malah sampai mengatakan, “Meniadakan PMP sama saja dengan meniadakan Pancasila.” (Suara Karya, 10 Juli 1982).

Pancasila hendak diidentikannya dengan isi buku-buku PMP yang justru sedang ditantang terang-terangan oleh umat Islam itu! Apa maksudnya? Boleh dikatakan setiap waktu beliau berbicara di depan umum atau setengah umum, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) kita, tak lupa mengeluarkan kata-kata yang menusuk perasaan.

Beliau tidak mau diajak bertukar pikiran dan argumentasi secara tenang. Ini sudah dialami oleh Komisi IX dalam DPR, di waktu membicarakan buku PMP itu juga. Orang masih ingat bagaimana beliau telah memperlakukan almarhum Buya Hamka selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia, yang datang ke kantor P&K untuk merundingkan soal-soal di bidang pendidikan, seperti soal libur puasa dll.

Sekarang, kata-katanya berisi tuduhan-tuduhan  dan ancaman terselimut, berserakan di mana-mana. Kita tidak hendak membicarakan apa yang rupanya sudah menjadi semacam amalan “ritual” bagi Menteri Kebudayaan kita sekarang itu.

Kita kembali kepada persoalan kreasinya, yaitu buku PMP sendiri.

1.Sebagaimana diketahui, pada tanggal 23 Agustus yang lalu beberapa orang ulama dan Pemimpin Ormas Islam di bidang pendidikan telah mengunjungi gedung DPR dan menyampaikan kepada Pimpinan DPR/MPR satu petisi agar buku PMP itu ditinjau “secara menyeluruh dan mendasar”.

Memang semenjak 6 bulan yang lalu telah didengar kabar, bahwa buku-buku tersebut akan ditinjau oleh satu tim peninjau. Tapi kita belum kunjung mengetahui bagaimana perkembangan selanjutnya.

Yang dapat dibaca dari pihak pemerintah ialah brosur yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Dr.Dardji Darmodihardjo, berjudul “Penjelasan ringkas Tentang Buku Pendidikan Moral Pancasila” (22 Februari 1982). Isinya justru untuk mempertahankan buku PMP dari kritik-kritik masyarakat dan anggota DPR, sebelumnya.

Sekarang tahun pelajaran baru sudah dimulai, sedangkan buku tersebut masih tetap dipakai dengan segala akibat-akibatnya, bagi pertumbuhan anak didik di sekolah-sekolah.

2.Saat kita menunggu-nunggu bagaimana hasil usaha peninjauan Tim Peninjau kembali, maka menarik perhatian sekali apa yang disiarkan oleh majalah Tempo, 11 September 1982, sesudah pertemuan para Pemimpin Ormas-ormas Islam dan Alim Ulama dengan Pimpinan DPR/MPR itu.

Yaitu hasil wawancara wartawan Tempo dengan beberapa anggota Tim Peninjau buku PMP. Kabarnya, sudah 216 banyaknya kata-kata dan kalimat-kalimat yang dikoreksi. Majalah Tempo menamakannya “Koreksi Titik Koma?” Dan sampai sekarang tidak ada bantahan dari pihak Tim mengenai apa yang terungkap oleh majalah Tempo itu. Jadi kita dapat jadikan dasar pengulasan.

Dalam salah satu buku PMP hal. 14 berbunyi “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya. “

Ini sudah terang bertentangan 180 derajat dengan keyakinan umat Islam, dan umat beragama Samawi lainnya sekurang-kurangnya : agama Islam, Katolik, Protestan. Mustail Tim koreksi tidak mengetahui hal ini.

Yang mengherankan, kenapa Tim koreksi terlampau segan mencabut saja kalimat yang sudah terang merupakan sumber sengketa ini? Justru kalimat ini sudah menjadi sebab pertentangan antara murid dengan guru, antara murid dengan ibu-bapaknya, antara guru agama dengan guru PMP yang beragama Samawi dengan dirinya sendiri.

Ini fakta dalam praktik!

Kalau tak percaya adakanlah satu riset lapangan yang ilmiah, objektif dan terbuka, dengan fair play!

Sekarang Tim koreksi rupanya, ingin “memperjelas” kalimat di halaman 14 itu. Bunyinya jadi begini “Semua agama di Indonesia adalah baik dan suci tujuannya menurut agama masing-masing.”

Membaca ini kita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Manapula ada suatu agama yang tidak menganggap dirinya sendiri benar dan suci?

Yang beginikah yang dinamakan “memperjelas” itu? Apakah dianggap sangat perlu PMP ini mengajarkan kepada keturunan kita yang sedang tumbuh itu, umpamanya “Kertas putih ini, warnanya putih!”

Kita tahu bahwa Tim tersebut terdiri dari sarjana-sarjana yang daya intelektualnya sama sekali tidak diragukan. Pertanyaan yang timbul dalam hati kita, dalam memonitor perkembangan di bidang pendidikan semenjak tahun 1978 sampai sekarang, ialah Apakah yang membawa Tim tersebut sampai seperti main kucing-kucingan. Jangan lantaran masyarakat sekarang ini yang lebih suka bersikap diam daripada bicara, dianggap cukup diberi semacam gula-gula permen karet, supaya terus tutup mulut.

3.Satu contoh lagi: tadinya dalam buku PMP untuk SD kelas V hal.13 dikatakan, bila kita melayat jenazah yang berbeda agama: “Sebagai makhluk beragama wajib berdo’a semoga yang meninggal diampuni dan diterima Tuan Yang Maha Esa.”

Sekarang kata “wajib” ditukar dengan “sebaiknya”. Sayang sekali rupanya Tim tidak merasa perlu bertanya kepada orang yang tahu agama bila berbicara tentang agama. Kita mempunyai Majelis Ulama Indonesia. Silakan (sedianya) menanyakan kepada Majelis ini sendiri –kalau tidak mau kepada yang lain- bila berjumpa istilah agama. Nanti Tim akan mengetahui bahwa agama Islam mempunyai satu sistem istilah-istilah hukum fiqih yang pasti, untuk mengelompokkan sesuatu perbuatan atau keadaan. Ada wajib (harus, tak boleh tidak). Ada haram (terlarang). Ada sunnah (dianjurkan). Ada mubah (dibolehkan). Ada makruh (tercela).

Istilah-istilah hukum ini tidak bisa dipasang-pasangkan seenaknya saja. Sekarang istilah “wajib” mengenai mendo’akan seseorang beragama lain hendak ditukar dengan “sebaiknya”. Perkataan “sebaiknya” menurut istilah hukum fiqih disebut “sunnah”. Yaitu “berpahala” bila dilakukan, tak apa, bila ditinggalkan. Tapi tetap dianjurkan.

Padahal menurut syari’at agama Islam mendo’akan jenazah seorang yang berbeda agama itu, hukumnya haram yaitu terlarang, berdosa bila dilakukan. Tidak kurang daripada itu.

Sekarang, apakah kita harus menunggu sampai koreksian selesai dikoreksi lagi? Kita yakin, bahwa selama cara begini ini menghadapi persoalan, koreksian-koreksian seperti ini tak akan selesai-selesainya.  Persoalannya sendiri tak akan kunjung ada penyelesaian.*

Apakah itu yang dimaksud dengan ”Demokrasi Pancasila itu?” Orang bertanya-tanya. Lebih-lebih antara Pemilu II dan Pemilu III dalam Orde Baru ini seringkali timbul pertanyaan dalam hati umat Islam khususnya

Oleh karena itulah, sebagai satu-satunva jalan keluar dari kemelut PMP ini, delegasi para Alim Ulama dan pemimpin-pemimpin Ormas-ormas Pendidikan Islam telah mengajukan cara penyelesaian yang “tuntas”, melalui satu petisi kepada “Pimpinan DPR/MPR”. Intisarinya:

-Buku PMP ini jangan dipakai lagi di sekolah-sekolah. Diganti dengan buku pelajaran kewarganegaraan (civic). Namakanlah “Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila”. Ini lebih cocok dengan materinya. Istilah “moral” mempunyai konotasi lain bagi umat beragama Samawi.

-Kosongkan samasekali buku tersebut dari pembicaraan-pembicaraan tentang ajaran agama manapun. Jangan diteruskan menanamkan ajara aliran kebatinan dan syncretism kepada anak-anak-anak didik dalam mata pelajaran ini atas nama “Moral Pancasila”.

-Soal agama adalah soal yang amat sensitif. Serahkan sajalah kepada guru-guru agama yang lebih berhak berbicara tentang agama masing-masing. Besar resikonya bila urusan dalam agama dicampuri oleh orang luar.

4. Dalam pertemuan delegasi dengan Pimpinan DPR/MPR diajukan juga harapan agar yang berwajib meninjau persoalan ini secara menyeluruh dan mendasar. Sebab penciptaan “Pendidikan Moral Pancasila” seperti yang kita lihat sekarang, ternyata, bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.

Di bidang pendidikan formal melalui sekolah ada buku PMP. Tetapi tidak sampai di situ saja. PMP ini nyatanya, hanya merupakan satu bagian dari satu program yaang komprehensif.

Kegiatan Direktorat Kebudayaan P&K dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengalaman Pancasila (P4) ini meliputi bidang yang lebih luas. Sudah diterbitkan untuk umum beberapa jilid buku:Seri Pembinaan Penghayatan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Ada yang berjudul : Inventarisasi, Sarasehan, Penataran P4, Perkawinan, Sumpah/Janji, Pengarahan Sarasehan, dan lain-lain.

Ini semua diterbitkan guna pendidikan non-formal, untuk masyarakat di luar sekolah. Dimulai dengan menyamakan pengertian bahwa aliran-aliran kebatinan adalah Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahay Esa. Legitimasinya diambil dari pasal 29 UUD 1945 ayat 2.

Sekarang sudah disetujui sekitar 217 organisasi aliran kebatinan atas nama “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bertebaran di seluruh Indonesia. Malah kepercayaan kaharingan di Kalimantan, yang tadinya, dianggap animis, sekarang termasuk daftar cabang-cabang organisasi “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa”, berkantor pusat di Jakarta.

Tadinya, sepanjang pengertian resmi, Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama, melainkan kebudayaan. Tetapi dalam praktiknya ternyata telah diberi peluang untuk melakukan perkawinan secara sendiri.

Dinas Pemakaman DKI Jakarta sudah mencantumkan pada formulir untuk urusan jenazah: “Agama Kepercayaan”. Apa maksudnya.

Dalam rangkaian lima sila dalam Pancasila tercantum dua sila yang berurutan yaitu;

1.Ketuhanan Yang Maha Esa,

2.Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sekarang, koma diantara dua sila itu dihilangkan. Ditukar dengan kata-kata “berdasarkan”. Timbullah doktrin baru, yang berbunyi “Identitas pokok dari kepercayaan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.” (lihat buku “Identitas Kepercayaan Terhadap  Tuhan YME dalam Perkembangannya Sebagai Sumber Pembinaan Budi Pekerti yang selaras dengan Pancasila, hal.5).

Ini berarti, satu instansi resmi Pemerintah Pusat Republik Indonesia mempromosikan pengertian bahwa yang selaras dengan Pancasila itu ialah “Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.” Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil dan beradablah yang menjadi dasar bagi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bukan sebaliknya.

Wahyu Ilahi sebagai sumber keimanan tak ada dalam kamus literatur Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang seolah-olah  Departemen P&K kita ini ingin bertindak sebagai juri, yang menentukan mana kepercayaan yang selaras dengan Pancasila, mana yang tidak!

Apakah yang “tidak selaras” nanti akan dituduh pula anti Pancasila?

Yang menjadi persoalan ialah: ini semua disangkutkan kepada P4. Dan P4 disangkutkan kepada Ketetapan-Ketetapan Majelis Tertinggi dalam tata-negara  kita ini, (MPR), untuk memperoleh legitimasinya. Disangkutkan kepada Tap MPR No.IV/MPR/1973, TAP MPR No.II/MPR/1978, TAP MPR No.IV/MPR/1978 dan lain-lain.

Apakah memang begitu yang dimaksud oleh Majelis Tertinggi (MPR) dalam Ketatanegaraan RI, dengan P4 itu?

Pada waktu soal P4 ini akan diputuskan dengan pungutan suara dalam MPR 1978, fraksi PPP yang berasas Islam -di bawah pimpinan alm. Kiai H. Bisri- meningalkan ruang sidang (walk out) untuk menyatakan protes dan tidak turut bertanggung jawab atas diterimanya ketetapan MPR mengenai P4 itu. Mereka berpendirian lebih baik kalah daripada mengalah dalam satu soal yang prinsipil.

Walau bagaimanapun,  orang tidak akan menyangka pada waktu itu, bahwa akan sampai begini jadinya. Pada masa  revolusi dahulu, berkumandang seruan Bung Tomo di Surabaya dengan takbirnya “Allahu Akbar”, memanggil Umat Islam, laskar-laskar Hizbullah dan Sabilillah, untuk mempertaruhkan harta dan jiwa atas dasar jihad fi sabilillah untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Presiden Sukarno sengaja datang ke Aceh, meminta kepada Tengku Daud Beureueh supaya memaklumkan Perang Jihad untuk mengusir Belanda. Permintaan ini dipenuhi dengan segala baik sangka oleh Tengku Daud Beureueh. Kapal terbang RI yang pertama untuk alat penghubung dengan luar negeri, “Seulawah” dibeli dengan sebagian dari dana dan harta yang terkumpul atas dasar perang jihad itu.

Sekarang orang bertanya-tanya dengan berbisik-bisik: “Betulkah kita akan dilarang pula memakai Islam sebagai asas di bidang politik? Kenapa kita perlu menyembunyikan identitas kita sebagai orang Islam?”

Asas Islam, Marhaenisme, Katolik, Protestan, Sosialisme, dan lain-lain yang tadinya merupakan sumber tenaga, motivasi dan semangat perjuangan, semenjak memulai, sampai menyelesaikan revolusi fisik, serta menutupnya di papan catur diplomasi internasional, hingga berhasil, -apakah itu semua akan digusur saja?

Ini telah cukup menimbulkan keresahan dan keprihatinan dalam masyarakat, baik yang beragama  Islam ataupun yang bukan.

Memang, menurut Tap MPR No. II/MPR/1978, P4 itu tidak merupakan tafsir baru bagi Pancasila sebagai Dasar Negara.

Tapi, perkembangan akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan:Apakah, menurut pemahaman Pancasila di kalangan resmi sekarang, Republik Indonesia kita harus menuju kepada sistem satu partai? Asas satu, ciri satu, nama masih boleh berbeda, asal sesuai dengan petunjuk pihak atasan.

Apakah itu yang dimaksud dengan ”Demokrasi Pancasila itu?” Orang bertanya-tanya. Lebih-lebih antara Pemilu II  dan Pemilu III dalam Orde Baru ini seringkali timbul pertanyaan dalam hati umat Islam khususnya “Apakah ketenteraman umat Islam di negeri kita, masih sama-sama dianggap sebagai salah satu unsur dari apa yang disebut kepentingan nasional itu, yang selalu disebut-sebut dalam pidato resmi di mana saja?”

Inilah yang perlu mendapat jawaban. Kalaupun tidak dengan kata-kata, perbuatan dan keadaan, tolong dengarkan pula suara kami!*

Artikel M.Natsir yang ditulis pada 1 Oktober 1982 ini, diambil dari Majalah Panji Masyarakat No. 375 hal.20-22  dan disunting oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

No comments: