Supersemar Versi Soeharto

Menurut Soeharto, Supersemar menjadi alat penting untuk mengatasi situasi saat itu. Ia mengaku tak menganggap Supersemar untuk memperoleh kekuasaan mutlak.
Supersemar Versi SoehartoPresiden Soeharto saat dilantik dan diambil sumpahnya menjadi Presiden pada 27 Maret 1968. (Pat Hendranto/Kompas)
“Terjadilah kekosongan kepemimpinan yang mencapai puncaknya pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno secara mendadak meninggalkan Sidang Kabinet yang dipimpinnya, yang  menunjukkan kepanikan kepemimpinan waktu itu. Keadaan demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan merobek-robek tubuh bangsa kita sendiri, lebih memburukkan keadaaan ekonomi yang memang telah parah, makin membenamkan rakyat ke dalam kesengsaraan.”
Demikian salah satu pernyataan Soeharto, Presiden kedua RI, pada 5 tahun lahirnya Surat Perintah 11 Maret. Pernyataan itu dikeluarkannya pada Rabu, 10 Maret 1971.
Secara panjang lebar, Soeharto menjelaskan lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) versinya, untuk menjawab berbagai rumor dan tudingan yang diarahkan kepadanya terkait isi surat tersebut.

Harian Kompas, 11 Maret 1971, memberitakan, bagi Soeharto, keberadaan Supersemar untuk mengembalikan kewibawaan negara dan sebagai legitimasi untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ia menyebutkan, tindakan yang dilakukannya untuk menjalankan perintah Supersemar dan mengatasi keadaan politik yang memburuk saat itu.
Soeharto mengungkapkan, selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ia merasa harus mengambil keputusan dengan segera dan harus dipertanggungjawabkan.
“Sebagai seorang pejuang, saya harus berani mengambil risiko, betapapun besar risiko itu bagi diri pribadi saya. Putusan yang harus saya ambil adalah menyelamatkan bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,” kata Soeharto.



Menurut Soeharto, Surat Perintah 11 Maret menjadi alat penting untuk mengatasi situasi saat itu. Ia mengaku tak menganggap Supersemar sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak.

“Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung. Sekarang, Surat Perintah 11 Maret itu masih ada; dan telah mempunyai landasan konstitusional yang kuat menjadi Ketetapan MPRS no IX,” kata dia.

Berawal dari pemberontakan PKI

Terkait lahirnya Supersemar, menurut Soeharto, berawal dari pemberontakan Gerakan 30 September yang dilakukan oleh PKI pada akhir 1965.

Ia menyebut bahwa peristiwa ini telah mengakibatkan terbunuhnya pimpinan Angkatan Darat dengan cara yang kejam dan di luar batas kemanusiaan.

“Pemberontakan ini menimbulkan pemikiran yang mendalam pada pada Pimpinan Angkatan Darat dan ABRI khususnya serta pemimpin-pemimpin masyarakat dan generasi muda pada umumnya,” ujar dia.

Soeharto menganggap, pemberontakan ini harus menjawab sejumlah pertanyaan terkait apa yang menyebabkan terjadi peristiwa itu, serta bagaimana mengatasi akibat yang timbul setelah pemberontakan.  

“Segera kita ketahui bahwa pemberontakan G 30 S itu didalangi oleh PKI dan tujuan akhirnya adalah mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk diganti dengan sistem lain yang tidak kita terima. Usaha PKI ini adalah yang kedua kalinya, sesudah kegagalan pemberontakan mereka dengan tujuan yang sama pada tahun 1948,” papar Soeharto.

Bukan transfer kekuasaan

Sementara itu, Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan yang diberikannya.

Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”.

"Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu suatu transfer of soverignty. transfer of authority. Padahal tidak! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengaman ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal!” kata Soekarno.

Tak tegas

Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) menilai, ada frasa kalimat yang tak tegas dalam Supersemar.

Ia menilai, Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu."

Menurut dia, Supersemar sebenarnya berisi perintah Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum.

Perintah lainnya, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya.


Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno.

"Frasa itu menjadi blunder yang dilakukan Bung Karno. Seorang sipil memberikan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara. Perintah kepada tentara seharusnya itu kan jelas, terbatas, dan jelas jangka waktunya," ujar Asvi. 

Asvi menilai, saat mengeluarkan Supersemar, Soekarno berada dalam kondisi tertekan karena serangkaian peristiwa yang terjadi.

(Inggried Dwi Wedhaswary/Kompas

No comments: