SYEIKH Mahmud Syaltut

Syeikh Mahmud Syaltut, Syiah, dan Mut’ah
Syeikh Syaltut sangat tegas terhadap Syiah. Terutama dalam masalah Kawin Kontrak (zawaj al-mut’ah)
Syeikh Mahmud Syaltut, Syiah, dan Mut’ah
Syeikh Mahmud Syaltut
SYEIKH Mahmud Syaltut (23 April 1893-19 Desember 1963) merupakan ulama terkenal asal Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Beliau pernah menjadi Syeikh Al-Azhar dan dianggap sebagai salah seorang ulama yang moderat dan berpikiran maju.
Salah satu pandangan yang cukup kontraversial adalah mengenai ide taqrib: upaya mendekatan Sunni dengan Syiah. Bahkan konon beliau sempat mengeluarkan fatwa Dimana salah satu fatwanya tentang dibolehkannya melakukan ibadah (al-ta’abbud) dengan menggunakan mazhab Syiah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah Ja’fariy menjadi perdebatan dan diskusi panjang hingga hari ini. Melalui fatwa ini beliau disebut-sebut sebagai penggagas taqrib atau biasa disebut rekonsiliasi antara Suni dan Syiah.
Sementara Syeikh al-Qaradhawi, misalnya, menafikan adanya fatwa Syeikh Syaltut itu.
Pertanyaannya: Benarkah Syeikh Mahmud Syaltut mengeluarkan fatwa itu? Jika ia, apakah itu mewakili institusi Al-Azhar atau merupakan pandangan pribadinya?
Fatwa Problematis
Banyak yang mencatat bahwa Syeikh Syaltut pernah mengeluarkan fatwa tentang bolehnya beribadah dengan berpegang kepada madzhab Syiah Imamiyyah Ja’fariyah. Fatwa ini konon dikeluarkan pada 6 Juli 1959. Namun fatwa ini ternyata problematis: menjadi perdebatan pendapat bahkan sampai hari ini. Meskipun di Indonesia fatwa ini termasuk yang dielu-elukan oleh pihak Syiah. (Lihat, www.majulah-ijabi.org/taqrib/syaikh-al-akbar-mahmud-syaltut-syiah-sah-diikuti, diakses pada Senin, 28 Februari 2016). Bahkan di Mesir sendiri yang menyatakan bahwa fatwa ini ada juga ada (Lihat, http://www.ikhwanwiki.com/diakses pada Selasa, 1 Maret 2016).
Syeikh Yusuf al-Qaradhawi yang juga pada mulanya mendukung upaya taqrib merasa ditipu oleh Syiah. Beliau kecolongan, karena kebaikan Sunni tidak pernah dibalas dengan baik oleh Syiah. Ini pula yang disampaikan oleh Syaikh Al-Azhar sekarang, Prof. Dr. Ahmad al-Thayyib. Fatwa Syeikh Syaltut itu, kata Syeikh al-Qaradhawi, ternyata tidak pernah dibukukan dalam kumpulan fatwanya. (Lihat, Fahmi Salim, “Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah”, www.hidayatullah.com, Senin 11 Februari 2013).
Bahkan, Prof. Dr. Husain Muhammad Mahmud ‘Abd al-Mutthalib, dekan Fakultas Dirasat Islamiyah di Universitas Al-Azhar ketika mendapat dua pertanyaan penting: mengenai boleh tidaknya beribadah berpegang kepada madzhab orang yang mengkafirkan Sahabat dan apakah ada fatwa Syeikh Syaltut yang membolehkan beribadah dengan madzhab Ja’fari?
Dua pertanyaan itu dijawab dengan:
1. Tidak dibenarkan beribadah dengan menggunakan madzhab yang mengkafirkan Sahabat Nabi dan menuduh zina Aisyah ra. Siapa yang meyakini hal itu maka dia kafir. Karena Allah telah mensucikan Sayyidah Aisyah dari tuduhan itu.
2. Tidak ada fatwa Syaikh Syaltut yang menyatakan demikian. Siapa yang menyatakan ada, maka dia harus menghadirkan bukti yang menguatkannya. Jika pun fatwa itu ada, maka itu pendapat pribadi Syeikh Syaltut. Dan dia tidak mewakili institusi Al-Azhar secara resmi. (Lihat, http://alwafd.org, diakses pada Selasa, 1 Maret 2016, pukul 10:11 wib).
Kawin Kotrak (Zawaj Mut’ah)
Salah satu pandangan kritis Syeikh Mahmud Syaltut terhadap doktrin Syiah adalah mengenai ‘Kawin Kontrak’. Mengenai ini beliau menulis demikian,
“Kawin Mut’ah adalah: kesepakatan laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dengan laki-laki lain agar ia (perempuan) dapat bermukim dengan laki-laki untuk beberapa waktu tertentu: ditentukan batas waktunya atau tidak ditentukan sebagai konsekuensi dari jumlah harta yang telah disepakati antara keduanya. Ini adalah bentuk perkawinan yang hanya untuk menyalurkan kebutuhan (biologis) saja. Ia akan berakhir tanpa talak (cerai), sesuai lamanya waktu yang disepakati. Atau berpisah begitu saja jika waktunya memang tak ditentukan. Perkawinan model ini tidak diragukan lagi adalah bentuk dari perkawinan yang tidak disyariatkan oleh Islam dan sesuai dengan fungsi diturunkannya Al-Qur’an.
Syeikh Syaltut kemudian menjelaskan bahwa dasar pernikahan menurut Al-Quran adalah: menggapai sakinah, mawaddah, wa rahmah antara dua pasangan suami-istri. Buah dari ini semua adalah membangun rumah keluarga dan menghasilkan anak serta cucu. Sehingga mereka dapat dididik melalui kerjasama yang baik. Sementara Kawin Mut’ah sangat jauh dari tujuan ini dan tidak mencapai buah dari itu semua.
Selain itu, pernikahan di dalam Al-Quran berkaitan dengan banyak hukum: pewarisan (al-tawaruts), penetapan nasab, nafkah, talak (cerai), ‘iddah, ila’, zhihar, li’an, dan pengharaman nikah dengan perempuan kelima (dengan lima istri). Hukum-hukum ini semua tidak ada di dalam Kawin Mut’ah. (Lihat, Syeikh Mahmud Syaltut, al-Fatawa (Kairo: Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1421 H/2001 M), 272-273).
Kemudian Syeikh Syaltut memberi kesimpulan yang sangat menarik,
“Syariat yang membolehkan seorang perempuan untuk menikah dengan 11 laki-laki dalam satu tahun. Dan membolehkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi perempuan setiap hari, sesuai kemampuannya. Dan itu tanpa mengeluarkan beban pernikahan. Maka, syariat yang membolehkan perkawinan model ini jelas bukan syariat Allah, Tuhan semesta alam. Juga bukan syariat yang memberikan benteng kesucian dan kehormatan.” (Syeikh Syaltut, al-Fatawa, 275).
Dari pemaparan di atas sejatinya tampak jelas bahwa pandangan Syeikh Syaltut sangat tegas terhadap Syiah. Terutama dalam masalah Kawin Kontrak (zawaj al-mut’ah). Mengenai ada atau tidaknya fatwa beliau mengenai bolehnya beribadah dengan menggunakan Madzhab Ja’fary ternyata sudah dibantah oleh Al-Azhar sendiri. Artinya, itu merupakan pandangan pribadinya. Lebih dari itu, pandangan Syeikh Syaltut itu memang tidak menyinggung masalah aqidah. Ia hanya menyentuh masalah fiqih. (Lihat, http://wiemasen.com/taqrib/diakses pada 1 Maret 2016). Wallahu A’lam bi al-shawab.
Qosim Nursheha Dzulhadi
 Penulis adalah staf pengajar di PP. Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara

No comments: