Tafsir Yahudi, Tafsir Liberal, Tafsir Iblis

Kaum Yahudi yang menghalalkan perkawinan sejenis itu berpandangan, hukum agama mereka boleh diubah-ubah mengikuti perkembangan zaman Tafsir Yahudi, Tafsir Liberal, Tafsir Iblis [1]
ilustrasi

LAMAN http://www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita “US Jews among the most supportive of gay marriage”. Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei “Pew Research Center for the People and the Press.”
Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan sesama jenis; sedangkan 18 persen menentang, dan 8 persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan dengan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen).
Bahkan, angka 76 persen itu lebih tinggi dibandingkan dengan dukungan terhadap perkawinan sesama jenis di kalangan kaum Demokrat (61 persen) dan kaum yang mengaku dirinya “liberal” (72 persen). Di kalangan warga AS yang mengaku tidak berafiliasi dengan satu agama saja, jumlah yang mendukung perkawinan sejenis sebanyak 75 persen; masih di bawah 1 persen dari komunitas Yahudi. (http://www.timesofisrael.com/us-jews-among-the-most-supportive-of-gay-marriage/).
Itulah salah satu prestasi kaum Yahudi dalam legalisasi perkawinan sejenis. Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: “Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes”.
Dikatakan, bahwa:
“Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues.
Biden says culture and arts change people’s attitudes. He cites social media and the old NBC TV series “Will and Grace” as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, “Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those changes, whether it’s in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in the industry.” Biden says the influence is immense and that those changes have been for the good.”
Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh Yahudi-lah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa Amerika terhadap perkawinan sejenis. Bahwa, budaya dan kesenian adalah media yang berhasil mengubah sikap dan perilaku masyarakat. Ia pun menyebut peran penting media sosial dan satu film serial TV “Will and Grace” di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu dimainkan oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial.
Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor menulis, “Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six.”
Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, “If there is Jewish power, it’s the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers.” Ia pun menambahkan, “And if you can shape opinion, you can shape events.” Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa membentuk opini, maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004).
Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan sejenis – seperti disebutkan Joe Biden – tentu tak lepas dari proses liberalisasi pemikiran tentang homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok, dalam bukunya, Modern Judaism, (New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98), mengungkapkan perkembangan pemikiran kalangan Yahudi reformis terhadap status hukum homoseksual. Menurut mereka, perumusan hukum-hukum Yahudi modern harus memperhitungkan aspek psikologis. Homoseksual misalnya, meskipun dilarang dalam Bibel, saat ini perlu dibolehkan, sebab saat ini manusia telah memiliki pemahaman terhadap seksualitas yang lebih tercerahkan (a more enlightened understanding of human sexuality).
Padahal, Bibel Yahudi (Perjanjian Lama) telah menegaskan: “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” (Imamat 18:22). “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian … (Imamat 20:13).
Jadi, pada intinya, kaum Yahudi yang menghalalkan perkawinan sejenis itu berpandangan bahwa hukum-hukum agama mereka boleh diubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Tidak ada hukum yang dipandang tetap dalam hukum-hukum agama mereka. Meskipun banyak kaum Yahudi yang masih memandang homoseksual sebagai suatu kejahatan, tetapi mereka saat ini kalah dominan dengan Yahudi-yahudi yang sudah mendukung perkawinan sejenis. Agama dijadikan sebagai permainan.
Al-Quran menjelaskan bahwa salah satu sifat bangsa Yahudi ini adalah menyelimuti kebenaran dengan kebatilan. “Janganlah kalian mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan dan kalian sembunyikan kebenaran, sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS al-Baqarah: 42). Kaum Yahudi juga terkenal dalam merusak kitab sucinya sendiri, sehingga tidak diketahui lagi mana yang asli dan mana yang tambahan. (QS al-Baqarah: 75, 79).
Dalam kasus LGBT, perubahan sikap kaum Yahudi sangat mencolok. Di Israel, kaum homoseksual telah mendapatkan kebebasan yang sangat luas. Aktivitas seksual sesama jenis telah disahkan tahun 1988. Diskriminasi berdasarkan orientasi seksual telah dilarang tahun 1992. Juga, kaum homoseksual ini mendapatkan hak untuk menjadi tentara Israel. Jajak pendapat terakhir menunjukkan mayoritas warga Israel mendukung perkawinan sejenis. (https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_in_Israel).
Tafsir Liberal dan Iblis
Dalam sebuah tulisannya yang beredar di media online seorang pegiat paham liberal melakukan penafsiran dengan cara tertentu, sehingga ia berkesimpulan, bahwa perkawinan sesama jenis bisa diterima, dengan alasan “kemaslahatan”. Ia menulis di ujung artikelnya: “Perlu diakui, sebagaimana tidak (ada) dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Lalu, apa prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan perkawinan sejenis dapat dibenarkan? Jawabnya, konsep kemaslahatan yang bermuara pada terwujudnya kesataraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Konsep kemaslahatan ini muncul cukup awal dalam tradisi yurisprudensi Islam dan terus berkembang hingga sekarang, yang mengindikasikan bahwa konsep itu merepresentasikan “spirit” agama yang mampu menyerap perkembangan zaman.”Tidak sulit untuk berargumen secara rinci kenapa atas nama kemaslahatan perkawinan sejenis dapat dibenarkan. Karena keterbatasan ruang (dan waktu), saya dapat katakan bahwa pelembagaan perkawinan sejenis memungkinkan pasangan dapat menikmati berbagai hak keistimewaan (privileges) yang dinikmati suami-istri lain.” (https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda).
Artikel ini telah mendapatkan tanggapan luas karena bersamaan dengan munculnya gerakan secara masif untuk melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia. Tentu saja kesimpulan model penafsiran semacam ini memunculkan ketakjuban di kalangan para ilmuwan tafsir. Sebab, selama 1400 tahun lebih, baru ada orang yang berani menafsirkan ayat-ayat tentang kisah Luth dan kemudian menyimpulkan perkawinan sejenis dibolehkan. Ada dua kemungkinan: selama 1400 tahun lebih para ulama Islam tidak ada yang paham al-Quran, atau pegiat liberal ini memiliki kecerdasan di atas seluruh sahabat Nabi saw dan para ulama Islam sedunia. Atau ada kemungkinan lain.

 (Dr. Adian Husaini
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM

No comments: