Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 7

Qanun

Kerajaan Islam Aceh Darussalam jelas merupakan kerajaan besar yang sangat teratur, menjunjung tinggi hukum positif yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta menghargai ilmu pengetahuan. Ini berbeda dengan kerajaan-kerajaan Eropa pada masanya di mana raja dianggap sebagai representasi Tuhan yang bisa melakukan apa saja terhadap rakyatnya.

Aceh Darussalam Salah Satu Kekuatan Islam Dunia

Sejak masih bernama Kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pase hingga Aceh Darusalam, Islam telah menjadi dasar dan konstitusi tertinggi kerajaan. Dari yang paling tinggi, struktur perundangan dan hukum yang berlaku adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama, dan Qiyas. Ini tercantum jelas dalam Adat Meukuta Alam (Undang-Undang Dasar Kerajaan Aceh Darussalam).

Adalah menarik untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bahwa sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang mendasarkan diri pada Al-Qur’an dan Sunnah ini ternyata pernah dipimpin oleh empat orang muslimah yang bergelar Sultanah dari 31 raja yang pernah memimpin kerajaan ini. Para muslimah ini memimpin dalam empat periode berkesinambungan. Mereka adalah:

    Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H),
    Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H),
    Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan
    Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H).

Selain Sultanah, perempuan-perempuan Aceh juga tampil sebagai pemimpin masyarakat bahkan pemimpin perang. Mereka adalah:

    Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis;
    Cut Nyak Din yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid;
    Teungku Fakinah, seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda, usai perang Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran;
    Cut Meutia, selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase yang akhirnya menemui syahid karena Meutia bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada kape Belanda;
    Pocut Baren, seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906;
    Pocut Meurah Intan, juga serig disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904;
    Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912,
    Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.

Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal dalam setiap peperangan tidak pernah mundur atau pun melarikan diri, bahkan mereka pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah kape (sebutan untuk kafir).


tempo

(Catatan Penulis: coba bandingkan kiprah R.A. Kartini yang sesungguhnya adalah kisah perjuangan yang kalah, dengan perjuangan Srikandi-Srikandi Aceh Darussalam ini yang sangat hebat. Jika mau adil, seharusnyalah tokoh emansipasi Indonesia itu adalah Srikandi-Srikandi Aceh ini, bukan R. A. Kartini. Namun disebabkan intervensi “sejarawan kolonialis Belanda” maka fakta ini sengaja dihilangkan dan bangsa Indonesia disodori Tokoh Emansipasi yang dalam sejarahnya ternyata harus mengalah demi realitas. Sebab itu penulisan sejarah Indonesia harus diulang!)

Amat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan-perempuan Aceh yang sangat luas, tidak berbeda dengan kaum lelakinya, maka hal ini turut mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. HAMKA menulis,

“Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”[1]

Hal itu pula yang menjadi sebab, mengapa sejarah Teuku Umar Johan Pahlawan tidak dapat dipisahkan dari sejarah isterinya Teuku Cut Nyak Dien yang bertahun-tahun setelah suaminya syahid diterjang peluru Belanda, isterinya itu masih meneruskan perjuangan, walau tinggal seorang diri. Cut Nyak Dien tetap bertahan di dalam gua di tengah belukar hutan yang amat lebat meneruskan perlawanan, walau dirinya sudah buta dan hanya ditemani sisa laskarnya, para perempuan Aceh, yang berjumlah sekitar 4-5 orang.

Seorang pengawalnya tidak dapat menahan kesedihan menyaksikan penderitaan yang dipikul Cut Nyak Dien yang sangat tegar dan tabah. Didorong oleh perasaan kasihan dan melihat kemungkinan perang sudah sulit dimenangkan karena kekuatan sudah tidak lagi seimbang, maka ia keluar dari hutan dan memberitahu serdadu Marsose Belanda tempat persembunyian komandannya itu. Pasukan elit Belanda itu segera menerobos hutan belukar berhari-hari dan akhirnya mereka menemukan sebuah gua terpencil yang di dalamnya terdapat Cut Nyak Dien yang sudah tua, matanya buta, dan badannya sangat ringkih karena kurang makan.

Tatkala opsir Belanda hendak memapah Cut Nyak Dien dengan memegang lengannya, Srikandi Aceh itu dengan tegas berkata, “Bek kamat ke, kapeh celaka!” (Jangan pegang tanganku, kafir celaka!”). Dengan tertatih dan berkali-kali tersandung dan jatuh, Cut Nyak Dien bersikeras berjalan sendiri tanpa dipegangi tangan si kafir keluar dari persembunyiannya.

(Catatan Penulis: Cut Nyak Dien merupakan seorang pejuang muslimah yang sangat taat pada Islam. Percayakah kita jika seorang Muslimah yang taat digambarkan dalam foto-foto sekarang ini sama sekali tidak menutup rambutnya yang merupakan aurat? Para Srikandi-Srikandi Aceh seluruhnya mengenakan jilbab!)

Keteguhan Cut Nyak Dien ini membuat kagum seorang HAMKA yang menulis: “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”[2]

    MR. T. H. Moehammad Hasan, putera Aceh mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam biografinya[3] mengutip pengakuan seorang perwira tentara kolonial Belanda yang bertugas saat perang kolonial di Aceh bernama H. C. Zentgraaf. Perwira Belanda itu menyatakan, “Orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang tidak kurang satrianya daripada bangsa lain: mereka itu tidak kalah gagahnya daripada tokoh-tokoh perang terkenal kita.”[4]

Rakyat Aceh sangat paham bahwa tiada hal yang patut dibanggakan di dunia ini selain menjadi seorang Muslim yang taat. Islam adalah harga diri yang tidak bisa ditukar dengan apa pun selama hayat dikandung badan. Ini tertanam dalam-dalam di setiap dada orang Aceh. Kebanggaan mereka akan Islam mengurat-akar dalam-dalam dan memiliki catatan historis yang sangat panjang dan membanggakan.

Di awal abad ke-16 saja, setelah lama jatuhnya kekuatan Islam di Baghdad dan Cordoba, dunia mengenal lima kekuatan besar Islam. Menurut Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in Modern History, kelima besar Islam dunia itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.

Sejarawan Aceh A. Hasjmi memaparkan, “Kemunculan lima besar kekuatan Islam dalam arena percaturan internasional dilihat dengan cemas oleh Dunia Barat Kristen, karena mungkin sekali menurut analisa mereka, bahwa kekuatan Islam yang baru ini akan membangun kembali Zaman Baghdad dan Zaman Cordova dengan gaya baru.” Yang membuat Barat Kristen (maksudnya Eropa) cemas karena mereka melihat kekuatan Islam terus berkembang. Kerajaan Islam Maroko berkembang pengaruhnya dari Afrika Utara ke seluruh Afrika, bahkan ada kemungkinan Thariq bin Ziyad yang baru akan menyeberangi Selat Gibraltar menuju Bumi Andalusia.

Kekhalifahan Turki Utsmaniyah setelah menduduki seluruh Asia Kecil, mereka mulai membebaskan pulau-pulau di Lautan Tengah, menyeberangi Selat Dardanella ke arah Balkan, hingga tentaranya yang hebat telah berada di gerbang kota Wina dan sangat mungkin menduduki jantung Eropa, jantungnya Terra Biblica!.

Kerajaan Islam Isfahan yang juga kuat dilihatnya sedang mengambangkan kekuasaannya ke Barat dan Timur, menuju Tashkent Kazakhstan. Kerajaan Islam Acra dilihat akan menyeberangi Pegunungan Himalaya menuju Nepal dan Tibet. Lalu Kerajaan Aceh Darussalam yang berkembang pesat di Asia Tenggara, angkatan lautnya telah menguasai hampir seluruh pulau Sumatera dan Malaya. Pengaruh dakwah Islam kerajaan Aceh Darussalam juga telah mewarnai gugusan kepulauan Nusantara. Inilah yang menyebabkan Barat Kristen bersatu untuk menyerang, menjajah, dan merampok kekayaan negeri-negeri Islam tersebut. Selain saja tentunya, nafsu imperialisme yang ingin mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya. (Rizki Ridyasmara)

[1] Prof. Dr. HAMKA, ibid, hal.153

[2] Ibid, hal.155.

[3] DR. T. H. Mohamad Hassan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa; ditulis oleh Drs. Dwi Purwoko, Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

[4] Ibid, hal.5.

No comments: