Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 4

tordesillas1
Peta Pembagian Dunia dalam PErjanjian Tordesillas 1494

Pada abad ke-14 M, Kerajaan Budha Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Penyerangan yang dilakukan Majapahit tahun 1377 atas Sriwijaya membuat kerajaan besar ini limbung dan sekarat. Apalagi banyak bandar mulai melepaskan diri dan menjadi otonom. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam kemudian mendirikan kerajaan Islam kecil-kecil. Beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera pada akhirnya bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.
PERJANJIAN TORDESILAS, SAAT PAUS RESTUI PERAMPOKAN
Di saat hampir bersamaan, akibat Perang Salib yang berkepanjangan dan persinggungannya dengan para pedagang dan orang Islam, Eropa mulai bernafsu untuk mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam kebutuhannya ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Orang Eropa mendengar adanya suatu dunia baru yang sangat kaya dengan rempah-rempah, karet, dan kekayaan alam lainnya, termasuk emas permata. Dunia baru itu terletak di selatan.
Tahun 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas.[1]
Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membagi dunia di luar daratan Eropa (Christendom atau Terra Biblica) menjadi dua kapling untuk dirampok sekaligus tujuan penyebaran misi salib, satu untuk Portugis dan yang lainnya untuk Spanyol.
Kedua kerajaan itu, terutama Spanyol, dalam periode tersebut adalah bangsa penjelajah terkenal di Eropa (Congquestadores). Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang pada 100 liga dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi.
Pembagian ini memberikan Dunia Baru—kini disebut Benua Amerika—kepada Spanyol. Afrika serta India diberikan pada Portugal. Perjanjian yang disepakati di kota Tordesillas (Castile) pada 7 Juni menggeser garis demarkasinya Paus Alexander VI ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugal. Jalur eksplorasi (baca: perampokan) bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Katolik Spanyol berlayar ke Barat dan Katolik Portugis ke Timur. Keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.
Jika sebelumnya dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka berkelahi, maka ketika mereka bertemu di Maluku, mereka mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.
Menyaksikan Portugis dan Spanyol yang gemilang melakukan perampokan di berbagai wilayah dunia membuat bangsa-bangsa Eropa lainnya tergiur. Perancis, Inggris, dan Jerman kemudian juga mencoba untuk mengirimkan armadanya masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya.
hqdefault
Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropa tengah mencari daerah kaya untuk dirampok, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristen. Di mana pun bangsa-bangsa Barat ini mendarat dan menjajah, maka mereka juga menyebarkan salib dan iman Kristiani dengan pedang berlumuran darah. Kenyataan ini terus dilakukan hingga sekarang, seperti yang terjadi ketika tentara Salib Amerika menginvasi Afghanistan dan Irak.
Salah satu bukti bahwa misi penyebaran salib senantiasa mengikuti misi imperialisme dan kolonialisme kaum penjajah, maka sejarahwan Belanda J. Wils menemukan bahwa pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti perkembangan gerak maju armada Portugis dan Spanyol. J. Wils menulis, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktis jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Malaka, yang ditaklukkan pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”[2]
Setelah Sriwijaya mengalami kemunduran, perannya langsung digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum besar, Kerajaan Islam Aceh Darussalam ini sebenarnya berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam oleh armada Salib Portugis.
Dalam salah satu bukunya, sejarahwan Aceh A. Hasjmi mengutip M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya itu, dari Malaka yang telah dirampoknya, Portugis mengatur rencana perampokan tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan dirampoknya itu, kalau mungkin menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, hal mana menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan intervensi.”[3]
Strategi licik Portugis ini dikemudian hari diadopsi oleh Snouck Hurgronje untuk memecah belah Aceh dan daerah-daerah lainnya agar bisa dengan mudah dikuasai Belanda (Devide et impera). Politik pecah belah ini juga digunakan oleh Belanda dalam banyak peperangan, antara lain perang melawan Diponegoro dan Imam Bonjol.
Akibat strategi liciknya, Portugis menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan kantor-kantor dagang dengan pengawalan sejumlah pasukan.
Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin jika suatu waktu dalam waktu yang tidak terlalu lama tentara Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Sebab itu, Mughayat Syah mengemukakan hal yang dicemaskannya ini kepada Raja Kerajaan Islam Aceh, Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Sultan yang sudah tua ini sadar bahwa untuk menghadapi Portugis yang licik dan telah berpengalaman dengan kekuatan armada perangnya yang besar dan kuat, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, cekatan, dan cakap.
Sebab itu, dengan segera Sultan Alaiddin Syamsu Syah melantik anaknya untuk menggantikan kedudukan dirinya. Sultan Alaiddin Syamsu Syah sangat memahami hakikat jabatan. Dalam Islam jabatan adalah amanah, sebab itu jika diri sudah merasa tidak sanggup lagi memikul amanah yang berat, maka wajib diberikan kepada yang lebih kuat memikulnya. Maka Ali Mughayat Syah menjadi raja baru dengan gelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah.
Setelah dilantik, Sultan Alaiddin Mughayat Syah bertekad akan mengusir Portugis dari seluruh daratan pantau utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai. Untuk melaksanakan tekadnya memang bukan pekerjaan yang mudah. Sultan yang masih muda ini menganggap adalah mustahil mengusir Portugis yang besar, jika kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu tetap berdiri sendiri-sendiri, tidak bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat.
Dengan pemikiran seperti itulah, maka begitu menjadi sultan, Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal waktu itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja-raja lokal.
Bersama Turki Utsmani Hancurkan Tentara Salib Portugis
Setelah mengumumkan secara sepihak, Sultan yang pemberani ini segera mengirim surat berisi seruan kepada raja-raja lokal di Pidie, Daya, Pase, dan Aru agar mereka secepatnya mengusir Portugis dari wilayahnya masing-masing dan bersatu menjadi satu kerajaan Islam yang kuat dan besar. Peringatan Sultan yang baru ini disalah artikan oleh raja-raja itu sehingga mereka mengira Kerajaan Aceh akan menyerang mereka. Sebab itu, bukannya menggabungkan diri ke Aceh, mereka malah memberi hati kepada Portugis. Melihat perkembangan yang tidak bagus, dengan cepat Sultan Alaiddin Mughayat Syah mengirim bala tentaranya untuk melakukan penyerangan ke kantong-kantong Portugis yang berada di sekitar kerajaan Aceh Darussalam.
c06d807f-9d60-46c7-882a-ce2a26fffef8
Dalam waktu relatif singkat, kekuatan Portugis yang berpusat di Daya berhasil dihancurkan sehingga Raja Daya bersama Portugis kabur ke Pidie. Laskar Islam kerajaan Aceh terus memburu mereka. Di Pidie, laskar Islam kembali berhasil menghancurkan musuh hingga Raja Daya, Raja Pidie, dan Portugis kembali melarikan diri ke Pase. Di belakangnya, laskar Islam Aceh terus mengejar tanpa ampun. Di Pase, angkatan perang Portugis juga mengalami kehancuran total, sebagian besar serdadunya tengelam di Teluk Pase.
A. Hasjmi mencatat, dalam suatu pertempuran antara Aceh melawan Portugis di Teluk Aru, Laksamana Raja Ibrahim menemui syahid pada tanggal 21 Muharram 930 H (Minggu, 29 November 1523). Laksamana Ibrahim digantikan oleh Laksamana Malik Uzair (Putera Sultan Salatin Meureuhom Daya, ipar Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah), yang kemudian juga menemui syahid dalam satu pertempuran pada bulan Jumadil Awal 931H. Jika laskar Islam Aceh hanya kehilangan dua laksamananya, maka di pihak tentara Portugis, mereka kehilangan banyak sekali perwiranya. Di antaranya adalah Laksamana Jorge de Brito yang mati konyol dalam pertempuran (927 H), Laksamana Simon de Souza (934 H), dan lain-lain. (Rizki Ridyasmara)
————————–
[1] Ahmad Mansyur Suryanegara, Ulama dan Perkembangan Islam di Nusantara, Suara Hidayatullah, Juli, 2001. [2] J. Wils, artikel berjudul “Kegiatan Penyiaran Agama Katolik”, salah satu tulisan dalam buku “Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan”; Obor Indonesia; Jakarta; cet.1; 1987; hal. 356. [3] A. Hasjmi, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Bulan Bintang, cet.1, 1977, hal. 13-14.

No comments: