Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam Part 5

Kesultanan Utsmaniyah
Sepeninggal Laksamana Malik Uzair, Sultan mengangkat putera bungsunya, Malik Abdulkahhar menjadi Amirul Harb (Panglima Perang Besar) untuk kawasan timur merangkap Raja Muda di Aru.

Usai membersihkan wilayah Aceh Darussalam dari Portugis dan kaki-tangannya, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang yang melintang di bawah berwarna putih. Merah putih. Pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530), Sultan Alaiddin Mughayat Syah meninggal dunia.

Sebagai kerajaan Islam, Aceh Darusalam telah menjalin hubungan diplomatik yang sangat erat dengan kekhalifahan Turki Ustmaniyah yang saat itu menjadi kekhalifahan Dunia Islam. Bahkan dari berbagai catatan yang ada, Aceh Darussalam sesungguhnya telah menjadi bagian dari kekhalifahan Utsmaniyah. Sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi juga membuktikan bahwa Aceh saat itu sudah mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam.

Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal-kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Selain mengganggu ekspedisi dagang, Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sebab itu, Aceh mendesak kekhalifahan Utsmaniyah agar mengirimkan armada perangnya guna mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis).[1]

Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat tahun 1566 M, Sultan Selim II yang menggantikannya mendukung petisi dari Aceh tersebut. Sultan Selim II (1566-1574 M) segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer menuju Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh.[2]

Walau berangkat dalam jumlah yang teramat besar, yang sampai di Aceh hanya sebagiannya saja. Karena di tengah perjalanan, sebagian armada perang Turki dialihkan ke Yaman untuk memadamkan pemberontakan di sana yang berakhir tahun 1571 M.[3]

Kehadiran armada kekhalifahan Turki Utsmaniyah pimpinan Laksamana Suez Kurtoglu Hizir Reis disambut dengan penuh suka cita oleh Muslim Aceh. Sebuah upacara besar diadakan guna menyambut kedatangan Laskar Islam itu di Tanah Rencong. Sultan Aceh menganugerahkan Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut.[4]

Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh secara bergelombang dari tahun 1564 hingga 1577 M berjumlah lebih kurang 500 orang. Mereka terdiri dari mujahidin yang sangat ahli mempergunakan senjata api, penembak jitu, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan balatentara Turki Ustmani ini, Kesultanan Aceh menyerang Portugis yang berkedudukan di Malaka.[5]

Turki Utsmaniyah juga berupaya mengamankan jalur pelayaran ibadah haji dari Nusantara ke Mekkah dari serangan para perompak dan gangguan armada Portugis. Turki juga mengizinkan kapal-kapal Kesultanan Aceh untuk mengibarkan bendera Turki Utsmani agar aman dari gangguan di laut. Laksamana Turki di Laut Merah bernama Selman Reis dengan cermat terus memantau setiap gerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:

“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”

4488911327_4dfc0c7703_b




Armada Salib Portugis terus meluaskan pengaruhnya dan dengan terang-terangan menyatakan bahwa salah satu misinya adalah menyebarkan salib. Raja Portugis Emanuel I dengan nada angkuh menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”[6].

Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada tahun 1537 M, ia sangat menyadari bahwa Aceh harus meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan aksi pembebasan (futuhat) ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera seperti daerah Tapanuli. Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia untuk keperluan itu.

Angkatan bersenjata Aceh saat itu diperkuat sekitar 160 orang laskar Turki dan 200 orang laskar terlatih dari Malabar. Mereka menjadi kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.

Hal ini juga diperkuat sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, yang mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan pembebasan terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi dari ukhuwah Islamiyah antar umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib di wilayah sekitar Aceh.[7]

Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, Turki Utsmani bahkan diperbolehkan membangun satu akademi militer bernama “Askeri Beytul Mukaddes” yang pengucapannya diubah menurut dialek Muslim Aceh menjadi “Askar Baitul Makdis”. Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hari melahirkan banyak pahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarah perjuangan Indonesia dicatat dalam dalam goresan tinta emas.[8]

Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul Bustanul Salathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.[9]

Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.

Menurut seorang intelektual Aceh, pengganti Al-Qahhar kedua yakni Sultan Mansyur Syah (1577-1588 M) memperbaharui hubungan politik dan militer dengan Kesultanan Turki Utsmani.[10] Hal ini dibenarkan sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 1585 M melapor kepada Lisabon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Utsmani untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap armada Portugis.

Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi samudera hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah kekhilafahan Turki Utsmani.

Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.[11] (Rizki Ridyasmara)

[1] Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca”, hal. 215-216.

[2] Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara, (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt), hal. 54.

[3] Azyumardi Azra, ibid, hal. 44

[4] Metin Innegollu, ibid, hal. 54

[5] Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 54.

[6] Dr. Yusuf ats-Tsaqafi, Mawqif Uruba min ad-Daulat al-Utsmaniyyah, hal. 37

[7] Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal. 106

[8] Metin Inegollu, ibid, hal. 53-55.

[9] Ibid, hal. 53.

[10] H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hal. 272-77; lihat juga, op.cit. hal. 44.

[11] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, ibid, hal. 257

No comments: