Wasiat Terakhir Al-Fatih

Ketahuilah bahwa para ulama itu seperti kekuatan yang tersebar dalam tubuh negaramu. Maka muliakanlah kehormatan mereka, ujar Sultan Muhammad Alfatih

Wasiat Terakhir Al-Fatih
Film Fetih 1453
Sultan Muhammad Al-Fatih (Sultan Mehmed II) memimpin shalat sebelum menyerang Konstantinopel
KISAH Panglima Muhammad Al-Fatih  (Sultan Mehmed II) seakan tidak pernah usang.  Mengulang-ngulang kisahnya hidupnya dalam lembar-lembar sejarah selalu tidak pernah membosankan. Sosok kepribadian Al-Fatih telah mengantarkan hidupnya untuk mengabdi kepada agama, menjadi sultan yang adil, amanah, Shaleh dan penyayang terhadap rakyatnya. Sebaik-baik penakluk yang pernah dipuji oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.

31 tahun menjadi sultan (855-886 H/1451-1481), adalah masa yang cukup lama. Al-Fatih dikenal sebagai pemipin yang tercerahkan, strateginya dikenal sebagai paling populer, membuat senjata baru pada masa itu bernama meriam.

Setidaknya kepribadian sang sultan selama memimpin rakyatnya dan membawa panji Islam tergambar dari wasiyat singkat tersusun rapi, dalam dan penuh makna.

Semoga dengan wasiyat Al-Fatih ini menjadi pelajaran bagi kita terutama para pemimpin dan wakil rakyat bahwa mereka harus mementingkan urusan agama diatas urusan yang lain.

Belajar dari Wasiatnya

Para pemimpin Muslim saat ini harus banyak belajar darinya. Berikut ini adalah wasiat Muhammad Al-Fatih kepada putranya saat ia menghadapi kematiannya; sebuah wasiat yang mengungkapkan bagaimana prinsipnya menjalani kehidupan, nialai-nilai dan keyakinan yang ia yakini dan ia harap dapat dijalankan oleh khalifah sesudahnya:

     “Tidak lama lagi aku akan mati. Tetapi aku tidak pernah menyesal karena telah meninggalkan calon penerus sepetimu. Jadilah orang yang adil, shaleh dan penyayang.

    Lindungilah seluruh rakyatmu tanpa membeda-bedakan, dan bekerjalah untuk menyebar agama Islam.

    Karena ini adalah kewajiban semua raja di atas muka bumi . dahulukan perhatianmu kepada agama atas urusan yang apa pun.

    Jangan berhenti untuk terus melakoninya. Jangan memilih orang yang tidak memperhatikan urusan agama… tidak menjauhi dosa-dosa besar dan tenggelam dalam ma’syiat, ajuhilah bid’ah yang merusak.

    Jauhi orang yang mengajakmu melakukan bid’ah itu. Perluaslah negerimu dengan berjihad, dan jagalah jangan sampai harta Baitul Mal itu agar tidak dihambur-hamburkan.

    Jangan mengambil harta seorang pun dari rakyatmu kecuali dengan aturan Islam. Berikan jaminan makanan bagi orang-orang lemah. Muliakanlah sebaik-baiknya orang-orang yang berhak.

    Ketahuilah bahwa para ulama itu seperti kekuatan yang tersebar dalam tubuh negaramu. Maka muliakanlah kehormatan mereka dan motivasilah mereka (dengan yang kau miliki).

    Jika engkau mendengar seorang ulama di negeri yang jauh, maka undanglah ia datang dan muliakanlah ia.

    Wasapada dan hati-hatilah, jangan sampai engkau terlena dengan harta dan pasukan yang banyak.

    Jangan sampai engkau menjauhi ulama syari’at.

    Jangan sampai engkau cenderung melakukan amalan yang menyelisihi syari’at.

    Agama adalah tujuan kita, hidayah adalah jalan hidup kita, dan dengan itulah kita akan menang.

    Ambillah pelajaran ini dariku.

    Aku datang ke negeri ini seperti seekor semut kecil. Lalu Allah memberiku semua nikmat yang besar ini.

    Karenanya ikutilah jalan dan jejakku. Bekerjalah untuk meneguhkan agama ini dan muliakanlah para pengikutnya. Jangan menggunakan uang negara untuk kemewahan dan kesia-siaan atau menggunakan lebih dari yang seharusnya, karena itu adalah penyebab terbesar kebinasaan.” [Muhammad Al-Fatih: Penakluk Konstantinopel, Syaikh Ramzi Al-Munyawi, Pustaka Al-Kautsar].

Demikianlah, setelah 31 tahun melalui pertempuran yang berkelanjutan dalam penaklukan, penguatan dan memakmurkan negerinya, sultan Muhammad Al-Fatih pun meninggal pada tanggal 4 Rabi’ul Awwal 886 H/3Mei 1481 M di Askodra, di dalam tendanya diantara prajurit-prajuritnya. Sebab tahun itu ia sedang menyiapkan misi besar yang tidak diketahu tujuannya, karena ia memang selalu menjaga untuk tidak menyingkap strategi militernya bahkan kepada orang atau panglima terdekat sekalipun.

Tentang itu, ia pernah mengatakan saat ditanya suatu ketika: “Jika saja aku memberi tahu kepada salah satu lembar jenggotku, maka pasti aku akan mencabutnya.”

Semoga Allah merahmati Sultan Muhammad Al-Fatih yang tentangnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Sungguh Konstantinopel akan ditaklukkan. Sebaik-baik pemimpin adalah penakluk dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (HR. Ahmad)

Efek Wasiyat

Dinasti Ottoman atau Turki Ustmani terdiri dari 5 priode. Al-Fatih berada pada priode yang kedua bersama 7 pemimpin (2 sebelumnya dan 5 setelahnya). Priode mengalami kemajuan ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar.

Baca: Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kemenangan Al Fatih

Setelah Muhammad Al-Fatih wafat, tercatat ada lima khalifah yang melanjutkan kepemimpinannya. Satu dari lima itu adalah Sultan Sulaiman I orang barat memberinya gelar “Solomon the Great”.

Pada masa pemerintahannya, Dinasti Utsmani mengalami puncak keemasannya saat itu, memiliki kekuatan militer yang sangat tangguh dan kuat. Berjasa besar terhadap penyebaran agama Islam di daratan Eropa seperti Balkan, Hongaria, Beograd, Austria.

Juga pada kawasan Afrika dan kawasan Teluk Persia. Dan masa ini juga berlaku undang-undang (syariat Islam) berjalan dengan baik.

Jika kita menganalisa, kekhalifahan yang  bergulir setelah Muhammad Al-Fatih dan grafik kemajuan Islam relatif meningkat, menandakan bahwa Al-Fatih telah berhasil mewariskan wasiatnya bagi para penerusnya.

Sebagaimana pada awal wasiat di atas bahwa “Tidak lama lagi aku akan mati. Tetapi aku tidak pernah menyesal karena telah meninggalkan calon penerus sepertimu. Jadilah orang yang adil, shaleh dan penyayang. Subhanallah semoga semangatnya bisa kita warisi.
Mohammad Ramli
Penulis seorang pendidik,  tinggal di Batam

No comments: